ALKITAB

Lembaga Alkitab Indonesia selalu mendukung kebutuhan rohani anda, termasuk di dalam pembacaan Alkitab digital maupun harian. Mari bersama menumbuhkan iman kita kepada Tuhan.

Harian Senin, 23 Mei 2022

Harian Senin, 23 Mei 2022

TUHAN Yang Menyesal

Keluaran 32:7-14,TB

Penyesalan selalu datang belakangan’ merupakan sebuah kalimat bijak yang sudah cukup banyak diketahui orang dan seringkali dilontarkan sebagai pengingat maupun teguran atas suatu tindakan. Melalui kalimat itu juga terlampir pengakuan akan ketidakmampuan manusia untuk mengetahui apalagi membuat kepastian tentang masa depannya. Itulah sebabnya, manusia sangat mungkin mengalami penyesalan, sebuah kondisi emosi yang menekan diri sendiri atas perilakunya di masa lampau yang berdampak tidak sesuai harapan di masa sekarang. Di dalam suasana penyesalan, manusia sedang berusaha atau masih mencoba untuk berharap mengubah keputusannya di masa lalu. Namun, mungkinkah penyesalan dapat dialami oleh TUHAN?

Di dalam perikop ini kita melihat sebuah momen yang sangat menarik, yakni ketika TUHAN ditampilkan mengalami sebuah penyesalan. Pada ayat 14 dituliskan bahwa, “…menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya”. Apakah ini berarti TUHAN memiliki keterbatasan sehingga Ia dapat mengalami penyesalan? Kita tidak dapat melekatkan definisi dan karakter ‘penyesalan’ yang dialami oleh manusia kepada TUHAN. Penyesalan yang dimaksud dalam teks ini lebih merujuk kepada sikap TUHAN yang memberikan pengampunan. 

Terdapat beberapa hal yang perlu kita cermati sebagai upaya untuk memahami konsep ‘TUHAN yang menyesal’ dalam teks ini sebagai bentuk pemberian pengampunan. Pertama, sejak awal TUHAN yang berinisiatif untuk mengirim Musa turun menemui bangsa Israel yang sudah mulai menjadi tidak setia kepada-Nya. Inisiatif ini perlu ktia baca sebagai wujud gerakan kasih TUHAN yang begitu menginginkan bangsa Israel untuk hidup di dalam Diri-Nya. Kedua, rencana TUHAN untuk membinasakan bangsa Israel dan menggantinya dengan generasi penerus dari Musa menjadi bentuk penegasan akan tegar-tengkuknya bangsa Israel. Ketiga, perubahan sikap TUHAN dalam bentuk pengampunan pun menjadi catatan yang semakin mempertegas perihal paradoks esensial dalam iman Yahudi, yaitu Allah yang pengampun dan pengasih, namun tidak menutup mata dari kesalahan (bdk. Kel. 34:7).

Sahabat Alkitab, di dalam perikop ini TUHAN yang menyesal adalah bentuk naratif mengenai kuasa dan kasih TUHAN yang terus berulang tanpa akhir. Meski demikian, penyesalan terbesar dalam kehendak untuk mengubah perilaku semestinya muncul pada diri setiap manusia yang berulang kali pula melakukan dosa di hadapan TUHAN.  Kiranya kasih TUHAN yang tiada akhir dapat terus kita sadari dan respons dalam kehendak untuk mengubah perilaku menjadi semakin sesuai dengan firman-Nya.