3 KATA MANTRA AJAIB

3 KATA MANTRA AJAIB

 

Dalam ranah pengasuhan anak (parenting), khususnya di bagian dunia yang berbahasa Inggris dikenal ada 3 kata mantra ajaib (three magic words) yakni, “thank you, please, I’m sorry”. Sejak dini, di bagian dunia tersebut anak-anak telah diperkenalkan dengan 3 kata ini dan penggunaannya. Sejak anak mulai bisa berbicara mereka telah diperkenalkan dengan kata “thank you” apabila mereka menerima sesuatu. Sebaliknya mereka harus selalu menyertakan kata “please” jika mereka memohon sesuatu. Dan sejak awal pula mereka diajarkan menyampaikan “I’m sorry”, jika mereka kedapatan berbohong atau berkata tidak jujur atau melakukan kesalahan. Jika anak lupa mengucapkannya, orang tua mengingatkan, “Say the  magic word first, please.” 

Orang tua mana yang tidak berbinar-binar matanya saat mendengar sang anak berkata, “Thank you, Mommy” ketika mendapatkan sesuatu dari orang tuanya. Juga orang tua mana yang tidak luluh hatinya ketika sang buah hati berkata, “Please, Mommy” ketika memohon sesuatu. Juga siapa yang tidak segera reda kemarahannya ketika sang anak berkata, “I’m sorry Mommy” sambil terisak mengakui kesalahanya. Tapi entah mengapa, remaja-remaja di negeri ini sering menutup sebuah percakapan dengan kata, “Pliiiisssss deh” dengan nada yang misterius, ambigu dan tidak jelas maksudnya.

Linda dan Richard Eyre, pasangan suami isteri yang sukses membesarkan 9 anak, dalam buku yang mereka tulis yang berjudul, “Teaching Your Children Values” (1994), mengajukan pertanyaan kepada para pembaca buku tersebut, “Apakah hutang terbesar orang tua kepada anak-anaknya?”. Menurut pasangan suami isteri tersebut, hutang terbesar orang tua kepada anak-anak adalah mengajarkan nilai-nilai hidup bermasyarakat. 

Kebudayaan dibentuk dari kumpulan nilai-nilai, demikian teori sosiologi. Jadi kebudayaan sebuah bangsa dimulai dari nilai-nilai yang dibentuk dari keluarga. Dalam konteks ini, menarik sekali untuk mengkaji kebudayaan Jepang, khususnya pada dekade 1980 hingga 1990. Dua dekade itu ditandai dengan keunggulan teknologi Jepang melalui Walkman, Compo, Laptop Computer hingga dunia otomotif. Di sisi lain nilai-nilai tradisional keluarga Jepang, seperti menghargai orang yang lebih tua (kakak, orang tua, atasan), tanggung jawab/menuntaskan pekerjaan dengan baik, malu melakukan tindakan tercela, bangga mengnenakan busana nasional, dll sangat dominan. Teknologi tinggi sebagai simbol nilai-nilai modern dan nilai tradisional berjalan seiring dengan harmonis.

Kebudayaan Jepang dibentuk melalui keluarga dan melalui pendidikan dasar di sekolah. Sungguh kontras dengan kurikulum di sini. Kurikulum di sekolah dasar selama 6 tahun sangat mementingkan pengajaran tentang kehidupan keseharian serta menekankan sopan santun/etika, disamping kesenian: musik, seni lukis, drama, serta olah raga. Bukan saja teori, melainkan praktik. Penekanannya pada pendidikan “life skills”. Pendidikan matematika, IPA, IPS baru mulai ditekankan sejak SMP. Sungguh kontras dengan para orang tua di negeri ini yang sangat bangga dengan balita yang sudah sanggup menghitung perkalian 3 digit angka akibat kursus sempoa, namun belum paham konsep matematika/sistem desimal. Bangga pula anaknya mampu cas cis cus berbahasa Inggris, tapi berantakan dalam bertatabahasa Indonesia, apalagi berbahasa daerah. Padahal, dalam bahasa daerah terkandung tata bahasa yang terkait nilai-nilai budaya, serta idiom-idiom yang mengajarkan nilai-nilai luhur kearifan budaya nenek-moyang. 

Pengajaran nilai-nilai dalam keluarga juga menyangkut assertiveness (kepercayaan diri) serta kejujuran. Hal ini ditekankan oleh Herbert Fensterheim dalam buku berjudul “Don’t Say Yes When You Want to Say No” (1975). Kita perlu meredam kecenderungan orang masa kini yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang semakin transaksional (meraih keuntungan sebesar mungkin dari pihak lain) yang manipulatif serta agresif, yakni upaya  mendominasi-memanipulasi orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Kita perlu kembali ke nilai-nilai dasar yang benar. 

Dalam bingkai tema Bulan Keluarga serta Adaptasi Kebiasaan Baru perlu kita renungkan kembali nilai-nilai keluarga. Apa yang patut dan seharusnya kita wariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu kita? Sudah lama kita menyerahkan pendidikan nilai-nilai keluarga kepada pendidikan formal di sekolah, media sosial, Mr. Google and his friends, serta – maaf – asisten rumah tangga. Untuk hal ini, Alkitab memberikan pesan melalui Paulus yang mengingatkan Timotius: “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.“ [2 Timotius 3:14-17]. 

Pesan teks Alkitab ini sangat jelas. Bercermin pada kehidupan Timotius, si anak muda, betapa ia memperoleh pengajaran nilai-nilai yang bersumber dari Alkitab dari keluarga. Nilai-nilai itu disebutkan bermanfaat untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran, sehingga setiap orang diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan demi kebaikan seluruh umat manusia. Untuk ini Lembaga Alkitab Indonesia telah menyediakan Alkitab edisi Parenting dimana ayat-ayat bertemakan pengasuhan anak dan tema-tema keluarga dicetak dalam warna yang berbeda. 

So, katakan good bye tawuran, good bye membolos, good bye “plisssss deh” dan semua tindakan agresif-manipulatif-koruptif demi kehidupan yang lebih baik di planet bumi yang kecil nan rentan ini. Dan itu semua dimulai dari 3 Kata Mantra Ajaib yang diajarkan oleh orang tua kita.

 

Pdt. Sri Yuliana