Batu Karang Yang Teguh?

Batu Karang Yang Teguh?

 

Kita semua tentu mengenal baik lagu “Batu Karang Yang Teguh” (KJ 37a) dengan lirik sbb:

Batu karang yang teguh, Kau tempatku berteduh Karna dosaku berat dan kuasanya menyesak Oh, bersihkan diriku oleh darah lambungMu.

“Batu Karang Yang Teguh – Rock of Ages” adalah simbolisme dari sebuah kekuatan yang mampu bertahan dari gempuran ombak. Ombak seringkali digunakan sebagai metafora kekuatan alam yang merusak, menghancurkan, meluluhlantakan apa yang diterjangnya. ”Rusak/hancur” adalah dampak  perubahan yang bermakna negatif. Ombak adalah sebuah gambaran kekuatan yang mampu membawa perubahan yang bermakna negatif. 

Saat ini kita hidup bersama dengan kekuatan perubahan yang negatif seperti itu, hoaks, disinformasi, post truth, dsb. Dalam situasi seperti ini kita bisa berperan sebagai batu karang yang teguh, namun dalam peran ini kita bisa juga dianggap sebagai representasi dari konservatisme serta tradisionalisme yang anti perubahan. Di sisi lain, sebagai antitesis dari batu karang yang teguh, kita bisa berperan sebagai peselancar yang mampu menunggangi ombak. “You can’t control the waves, but you can surf on it”, demikian kata pepatah. Sebagai peselancar kita mampu memanfaatkan energi yang luar biasa dari ombak untuk kebaikan kita. Maka alih-alih sebagai benteng konservatisme dan tradisionalisme kita justeru bisa berperan mengubah kekuatan perusak menjadi sesuatu yang bermanfaat/positif demi kebaikan diri sendiri maupun sesama dengan berperan sebagai agen perubahan/pembaruan.

Selain fenomena batu karang dan ombak, dalam keseharian, kita juga mengenal fenomena katak.  Katak adalah hewan berdarah dingin. Artinya temperatur tubuh katak mampu menyesuaikan dengan temperatur sekitarnya. Oleh karena itu katak mampu hidup di air yang dingin maupun di daratan yang lebih panas tanpa merasa kepanasan atau kedinginan. Berbeda dengan manusia yang berdarah panas, temperatur tubuh manusia harus dijaga pada 36-37 derajat Celcius dengan temperatur lingkungan pada sekitar 26-27 derajat Celcius. Jika suhu tubuh di atas 42 derajat Celcius atau dibawah 27 derajat Celcius maka orang dapat mengalami kematian. Oleh karena itu pada lingkungan dengan suhu ekstrim orang perlu memakai pakaian pelindung seperti jaket untuk mengatasi temperatur yang dingin dan pakaian pelindung panas seperti dikenakan petugas pemadam kebakaran.

Sebagai hewan berdarah dingin, jika katak dimasukan ke dalam panci berisi air dingin lalu dipanaskan di atas kompor, maka katak tidak akan menyadari perubahan lingkungan hidupnya yang berubah secara gradual, dan tahu-tahu sudah mati dalam keadaan terebus matang. Ini adalah gambaran dari seseorang yang tidak peka terhadap perubahan. Padahal kehidupan kita saat ini adalah kehidupan yang sangat dinamis dimana perubahan terjadi setiap saat, baik perubahan politik, teknologi, budaya bahkan fenomena alam. Untuk mampu hidup dalam situasi yang demikian, maka kita harus selalu siaga (be prepared) terhadap setiap kemungkinan perubahan. Tidak harus bersikap sebagai kelompok “The Preppers” yang berpendapat bahwa perang nuklir dapat terjadi kapan saja sehingga ia harus melengkapi rumahnya dengan ruang bawah tanah lengkap dengan persediaan makanan untuk setahun, serta fasilitas penunjang kehidupan lainnya, tetapi cukuplah kita mampu merespons setiap perubahan yang terjadi di sekitar dengan bijaksana.

Menyikapi perubahan yang dinamis yang terjadi dengan cepat dalam masyarakat masa kini, mari kita berefleksi dengan ayat Alkitab yang tertulis pada Kitab Ratapan 3:21-23 [TB]:” Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia  TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” Ya, setiap pagi Tuhan selalu memberikan pembaruan atau perubahan dalam kehidupan kita. Tuhan Yesus disepanjang sejarah hidup-Nya selalu melakukan pelayanan yang membawa perubahan-perubahan bagi orang lain dan dunia disekitarnya, yang berdampak pada perubahan budaya dan perubahan personal. Jadi, mengapa kita harus anti perubahan/pembaruan, jika perubahan/pembaruan berasal dari Allah dan dilakukan juga oleh Tuhan Yesus? Kita pun adalah bagian dari perubahan/pembaruan itu.

Dalam sebuah pertemuan para pegiat gereja, ada seorang peserta bertanya kepada fasilitator, “Bapak, saya sudah melayani di bidang diakonia selama 26 tahun. Apa tahapan selanjutnya yang dapat saya lakukan?” – Setelah terdiam sejenak dan berpikir fasilitator tersebut balik bertanya, “Setelah 26 tahun menjadi aktivis, perubahan apa yang Anda rasakan dalam kehidupan Anda?” Peserta itupun terdiam, tidak menjawab. Lebih lanjut fasilitator itu menambahkan, “Pengalaman melayani selama 26 tahun mestinya membuat seorang aktivis gereja lebih peka terhadap keberadaan sesamanya yang berbeda serta beraneka ragam. Mestinya semua pengalaman itu memperkaya hidup seseorang untuk lebih memahami perannya sebagai murid Kristus yang selalu peduli kepada (penderitaan) sesamanya dan ikut berbahagia karena kebahagiaan sesamanya. Menjadi “A person for others” – a living instrument of God’s peace, a dynamic centre of reconciliation. 

Perubahan-perubahan, sekecil apapun, dapat kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari menerapkan pola hidup sehat dengan berolah raga, mengkonsumsi makanan yang sehat, memelihara lingkungan kita supaya menjadi lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan fisik, mental dan spiritual keluarga kita. Perubahan lain juga dapat kita lakukan di lingkungan kerja kita dan cara pandang serta perlakuan kita terhadap orang lain yang berbeda dengan kita. Untuk itu, Alkitab dan ajaran kristiani yang kita imani, menjadi nilai-nilai hidup kita agar kita dapat belajar dan secara bijak mampu merespons setiap perubahan yang terjadi di sekitar kita. Tidak ada yang berubah selain perubahan itu sendiri!

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.