BEKERJA DAN BERSEKOLAH BIKIN STRES?

BEKERJA DAN BERSEKOLAH BIKIN STRES?

 

Penggalan berita yang dirilis oleh CNN Indonesia pada 2018 menyebutkan, “Sebuah studi yang diinisiasi oleh perusahaan asuransi CIGNA menemukan fakta bahwa hanya ‘75%’ partisipan asal Indonesia yang mengatakan bahwa mereka merasa stres. Angka ini jauh lebih rendah dibanding dengan hasil yang didapat dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Singapura yang memiliki tingkat stres diatas rata-rata, yakni di kiasaran 91%”. Keuangan dan pekerjaan merupakan sumber utama stres, demikian dikatakan dalam laporan tersebut. Orang Singapura bisa saja menyangkal laporan tersebut, karena dalam laporan semacam itu metodologi serta daftar pertanyaan yang digunakan bisa menghasilkan hasil yang berbeda.

Namun, menurut seorang penulis Singapura, kehidupan remaja di Singapura, khususnya remaja laki-laki memang penuh stres dan persaingan. Sejak sekolah menengah setingkat SMP, lingkungan masyarakat Singapura sudah menuntut seseorang berprestasi studi yang tinggi agar kelak diterima di perguruan tinggi terbaik, demi karir yang baik dan kehidupan yang baik. Selain itu sebelum menempuh pendidikan tinggi seorang remaja laki-laki harus menjalani NS (National Service) wajib militer selama 2 tahun. Setelah itu baru ia dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi serta mendapat status sebagai tentara cadangan (reservist).

Di satu sisi, NS menjadikan Singapura sebagai salah satu negara teraman di dunia dan memiliki warga negara yang berdisiplin tinggi serta memiliki semangat pantang menyerah atau etos kerja yang tinggi. Namun di sisi lain, hal ini juga menghasilkan stres yang tinggi karena setiap warga negara hidup dalam tuntutan yang tinggi untuk terus menerus mengejar prestasi menjadi yang terbaik.

Selesai studi dan mendapat pekerjaan yang baik stres berikutnya menyusul. Mendapatkan apartemen yang baik dan menikah! Warga negara Singapura pada umumnya tinggal di apartemen. Hanya orang kaya yang mampu membeli rumah. Pada umumnya warga negara tinggal di apartemen standar yang dibangun dan disewakan oleh pemerintah dengan fasilitas standar. Seorang calon menantu idaman tentu saja tidak tinggal di apartemen pemerintah, padahal lahan yang tersedia untuk apartemen makin terbatas. Tidak jarang seorang manajer muda harus tinggal di luar negeri, yakni di Johor, Malaysia guna mendapatkan apartemen yang berkelas dengan harga terjangkau. Demikian sekilas kehidupan anak muda Singapura yang “stressful”. Seakan-akan sekolah, bekerja menjadi sebuah rutinas dan keharusan yang penuh beban. 

Bagaimana dengan kita? Mungkin beberapa diantara kita mengalami hal seperti itu, sebagian lagi tidak, dan yang mengalaminya tidak sebanyak orang di Singapura. Bagi yang mengalaminya, adakah jalan keluar supaya sekolah dan bekerja tidak menjadi beban? Ada! kita harus mengubah paradigma bahwa sekolah dan bekerja bukanlah beban, melainkan berkat. Ada ayat yang menasehati kita soal hal ini: “Sebab itu aku menyadari bahwa tidak ada hal yang baik lagi bagi manusia daripada menikmati hasil kerjanya. Selain itu tak ada yang dapat dilakukannya. Tak mungkin ia mengetahui apa yang terjadi setelah mati” [Pengkhotbah 3:22 - BIMK]. 

Jadikan sebagai paradigma hidup Saudara bahwa bekerja itu sebuah proses, bukan tuntutan, dan hasil kerja adalah hasil dari sebuah proses, sebuah keberhasilan, sebuah pencapaian. Bukan sesuatu yang akan dievaluasi oleh atasan, melainkan sebuah rekor bagi diri kita sendiri bahwa kita mampu mencapai hasil tersebut, apapun kata atasan Saudara. Semua kita lakukan demi diri kita sendiri, bukan demi orang lain, karena evaluasi yang dibuat oleh atasan selain ada unsur obyektif, selalu ada unsur subyektifnya. 

Demikian juga bersekolah. Sekolah akan jadi membosankan dan merupakan beban jika kita berpikir bahwa sekolah hanya untuk menghafal rumus dan lulus ujian. Sekolah akan menjadi menarik jika ia mampu menolong kita berpikir, menganalisis dan menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Menjawab soal yang langsung menerapkan rumus sungguh membosankan. Coba perhatikan soal ini:

“Seekor burung merpati putih sedang terbang di ketinggian, terbang di atas jalur kereta rel. Tiba-tiba ia melihat ada dua kereta dari arah berlawanan sedang melaju cepat. Akan segera terjadi tabrakan. Sebagai sebuah simbol perdamaian, merpati itu tidak tega melihat akan segera terjadi tabrakan. Maka iapun terbang bolak balik antara dua kereta yang sedang melaju kencang itu, tapi apa daya, ia tidak dapat berkata-kata dalam bahasa manusia. Ia hanya bisa terbang bolak balik diantara ke dua kereta itu. Panik tanpa bisa berbuat lebih jauh lagi. Ada hambatan komunikasi. Jarak ke dua kereta itu 12 km. Kereta yang satu melaju dengan kecepatan tetap 90km/jam, kereta yang satu lagi melaju dengan kecepatan tetap 70km/jam. Tabrakan tak terhindarkan. Merpati putih pun gugur dalam upaya menjalankan misinya. Petanyaannya: Selama terbang bolak balik antara kereta yang satu dan kereta yang lain, berapa km yang sudah ditempuh oleh merpati putih itu, jika merpati itu terbang dengan kecepatan tetap 84 km/jam?”

Nah, menarik dan menantang kan? Alangkah membosankannya jika kita harus menjawab soal, hitung jarak yang ditempuh merpati jika ia terbang selama 2 menit dengan kecepatan 70 km/jam? Langsung masukan rumus, hitung, ketemu jawabnya tanpa harus berpikir, apalagi menganalisis. Cukup menghafalkan rumus.

Penasaran kan, berapa km merpati putih itu sudah terbang sebelum gugur dalam upaya menjalankan misinya? 

Kirimkan jawaban Saudara ke alamat email LAI: info@alkitab.or.id.

Lima (5) orang dari yang menjawab benar akan memperoleh kenang-kenangan dari kami. Jawaban ditunggu hingga Jumat, 7 Mei 2021, jam 24.00 WIB. Selamat menjawab.

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.