Berkontemplasi Dalam Karya

Berkontemplasi Dalam Karya

 

Motto “Ora et Labora” sudah lama kita dengar dan pada umumnya secara bebas dimaknai sebagai “berdoa sambil bekerja”. Hal ini dimaksudkan apa yang kita kerjakan meraih sukses karena disertai dengan doa, yaitu supaya yang kita lakukan direstui oleh Tuhan.  Sebuah niat yang baik, namun pemahaman seperti ini dapat menggiring kita pada sudut pandang yang memisahkan antara doa dan kerja. Supaya kita tidak salah memahami, mari kita pelajari bersama sejarah dibalik motto Ora et Labora.

Ora et Labora adalah motto yang dimunculkan oleh kelompok biarawan Katolik dari tarekat Benediktin yang mengkhususkan pelayanannya dengan berdoa bagi dunia. Ora et Labora adalah berdoa dan bekerja. Di samping berdoa sebagai dedikasi utama, mereka juga bertani, beternak, mengerjakan pertukangan untuk digunakan sendiri serta menjual sebagian hasil kerja mereka untuk mencukupi kebutuhan biara. Dengan demikian berdoa dan bekerja adalah kehidupan mereka sehari-hari. Berdoa adalah pekerjaan mereka, pekerjaan mereka (pertanian, peternakan, pertukangan) adalah doa mereka. 

Doa adalah nafas hidup orang percaya, demikian ungkapan yang sering kita dengar. Hidup tanpa doa adalah hidup tanpa bernafas. Kita mati! Namun menekankan secara berlebihan pada doa atau ritual-ritual saja dan mengabaikan kerja/karya membuat hidup kita sia-sia. Begitu juga sebaliknya, menekankan pada kerja, kerja, kerja dan melupakan doa, itu juga membuat kita mati. Ada harapan yang kita panjatkan kepada Tuhan melalui doa dan berharap hal itu terwujud dalam kehidupan kita. Tentu saja terwujudnya harapan yang kita doakan tidak dapat terjadi begitu saja. Kita harus mengupayakannya melalui pekerjaan dan karya kita. Karenanya, berdoa dan bekerja tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Supaya kita tidak terjebak untuk memisahkan keduanya, ada sudut pandang spiritual yang lain, yaitu Laborare est Orare; bekerja adalah berdoa. 

Untuk lebih memahami Laborare est Orare dalam hidup keseharian umat, Santo Ignatius de Loyola, pendiri tarekat Serikat Yesus, memperkenalkan sebuah model latihan rohani yang disebut dengan Contemplativus in Actione: berkontemplasi dalam karya. Yang berarti merenung, bergumul, berdoa dalam karya. Contoh sederhananya dapat kita lihat dari sosok Romo YB Mangunwijaya, SJ. (Alm). Seorang rohaniwan yang menghidupi imannya bersama masyarakat miskin di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun, demikian beliau disapa, melihat lingkungan kumuh itu, merenungkan, menggumulinya dan mendoakannya. Setelah tinggal (live in) selama beberapa waktu di lingkungan tersebut, Romo Mangun dengan dibantu oleh mahasiswa dan penduduk setempat, mengubah perkampungan itu menjadi perkampungan yang sehat dan terberdayakan. Romo Mangun bersama kelompoknya bukan saja merenovasi bangunan rumah warga dengan desain arsitektur yang menarik serta berwarna-warni, tetapi juga membangun Balai Warga, Perpustakan serta melakukan edukasi terhadap warga untuk berubah. Sebuah transformasi lansekap, sekaligus transformasi sosial dan transformasi nilai-nilai. Itulah buah kekuatan doa-perenungan-karya. 

Contoh dalam Alkitab yang melakukan latihan rohani Contemplativus in Actione adalah Rasul Paulus.  Dia menghidupi dirinya dengan bekerja tetapi sekaligus berdoa dan mengajar jemaat-jemaat yang dikunjunginya. Apa yang dikerjakannya adalah doanya dan apa yang didoakannya mewujud dalam kerja-kerjanya. “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima" (Kis.20:35).  Pekerjaan yang dilakukan Rasul Paulus bukan hanya untuk mencukupkan keperluannya sendiri melainkan juga untuk mencukupkan keperluan kawan-kawan seperjalanannya. Bahkan dengan pekerjaan itu, mereka dapat membantu orang-orang yang lemah. Bukankah dari doa, perenungan dan karya yang dilakukan Rasul Paulus adalah satu kesatuan yang dihidupinya?

Demikian juga dalam menapaki kehidupan ini, terlebih di tengah situasi sulit pasca COVID-19 yang mengharuskan kita beradaptasi dengan kebiasaan baru, Sang Pencipta telah melengkapi kita dengan kemampuan untuk berdoa dan berkarya. Kita tidak bisa hanya hidup dalam ritual dan doa kita sembari berharap dibebaskan dari situasi sulit. Kita harus berusaha dan bekerja untuk mewujudkan harapan yang kita doakan. Kita tidak bisa bebas dari paparan virus hanya dengan doa supaya Tuhan melindungi kita. Kita juga harus mengiringi doa kita dengan upaya menekan penyebaran virus itu melalui kebiasaan hidup yang baru dan mengikuti protokol kesehatan. 

Kiranya pemahaman kita mengenai Ora et Labora, Laborare est Orare, dan Contemplativus in Actione dapat menolong kita untuk tidak lagi memisahkan antara berdoa dan bekerja, antara perenungan, doa dan karya, apalagi mereduksinya menjadi “Ora vel Labora”; berdoa atau berkarya. Kita sering mendengar ucapan, “Maaf saya tidak bisa membantu apa-apa, saya membantu dalam doa saja”. Nampaknya ucapan tersebut adalah ucapan yang rendah hati, namun jika kita melihatnya lebih dalam bukankah itu hanya sebuah bentuk penolakan halus untuk tidak bertindak apa-apa? Tindakan dan doa dilihat sebagai sebuah pilihan. Padahal dari motto, Ora et Labora, Laborare est Orare dan Contemplativus in Actione, sudah diperlihatkan kepada kita buah-buah dari doa dan karya yang menjadi satu kesatuan. Bukankah setiap hari Minggu, disadari atau tidak, kita sudah diajar melakukan latihan rohani Contemplativus in Actione? Merenungkan firman Tuhan, berdoa, dan diutus untuk berkarya. Diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, negara kita, dunia membutuhkan perenungan, doa dan karya kita. 

Selamat berkontemplasi dalam karya. Ad maiorem Dei Gloriam; demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar.

Pdt. Sri Yuliana. M. Th