CINTA YANG MENGUBAH KETERMILIKAN MENJADI SALING MEMILIKI

CINTA YANG MENGUBAH KETERMILIKAN MENJADI SALING MEMILIKI

 

Ada sebuah foto menarik menjadi berita utama di media massa pada tahun 2014 menjelang Hari Raya Idul Fitri. Seorang bercelana gelap dan berkemeja putih, nampak berbaring meringkuk di bangku petugas kereta api. Sepertinya orang itu kelelahan. Orang tersebut, pada masa itu adalah orang nomor satu di PT. Kereta Api Indonesia (PT KAI), Ignasius Jonan.

Jonan pada masa itu menjadi bintang pembicaraan publik karena prestasinya di PT. KAI. Beliau berhasil mengubah citra dan kinerja PT. KAI berubah 180o. Dari transportasi publik yang kumuh seperti pasar menjadi transportasi darat sekelas pesawat terbang. Kereta komuter yang penuh sesak dan padat seperti kaleng sarden menjadi kereta komuter berkelas seperti di luar negeri. Dari jadual kedatangan/keberangkatan yang tak pernah tepat waktu menjadi moda transportasi yang dapat diandalkan/tepat waktu. Dari perusahaan yang merugi menjadi perusahaan yang mencetak laba.

“Ngomongnya cuma sepuluh menit, mewujudkanya perlu waktu dua tahun”, kata Jonan dalam sebuah wawancara di stasiun televisi, menceritakan pengalamanya melakukan transformasi di PT. KAI. Setelah mempelajari situasi dan turun ke lapangan, Jonan memaparkan bahwa PT. KAI harus berubah total. Sebuah presentasi 10 menit, yang disambung diskusi dan perdebatan yang berlanjut kerja keras selama dua tahun menghasilkan sebuah pelayanan publik berkelas dunia.

Apa kata kunci dari keberhasilan Jonan melakukan perubahan? Hanya satu kata: PEMBERDAYAAN. Pemberdayaan dalam ranah kepemimpinan adalah mendorong anggota sebuah tim kerja mengeluarkan semua kapasitas, kompetensi, energi demi keberhasilan tim. Dan yang terpenting adalah kepercayaan pemimpin kepada anggota tim bahwa mereka mampu mencapai tujuan dengan kualitas terbaik dengan disiplin/tanggung jawab yang tinggi. Seringkali seorang “BOS” (bukan pemimpin) hanya memberikan seabreg tugas kepada staf tanpa disertai wewenang dan tanggung jawab yang memadai. Hasilnya? Seperti anak kecil mempermainkan seekor tikus yang diberi sepotong ikan asin tetapi dipegangi ekornya. Frustasi total. Anak kecil ibarat bos yang menyuruh anak buah (tikus) mencapai target yang disepakati (ikan asin), tetapi tidak diberi wewenang dan tanggung jawab yang cukup (dipegangi ekornya).

Seorang Pemimpin yang baik menciptakan iklim yang baik agar seluruh anggota tim mampu mengembangkan dirinya secara maksimal guna mencapai tujuan, dan pada saat yang sama memberikan tanggung jawab kepada anggota tim sebatas kapasitas dan kewenangannya. Hal ini hanya dapat diwujudkan apabila ada CINTA dalam tim tersebut. Cinta pemimpin bagi dirinya sendiri, cinta pemimpin bagi anggota tim, cinta anggota tim kepada pemimpin, cinta seluruh tim terhadap tugas yang diberikan, cinta seluruh tim untuk mengerjakan tugas dengan baik dan cinta seluruh tim untuk mencapai tujuan tim sebaik-baiknya. 

Ada sebuah pepatah Tiongkok yang menyatakan hal ini, “Mereka yang berpengetahuan, kalah oleh mereka yang mencintai. Yang mencintai kalah oleh mereka yang menghayati atau mereka yang secara alami berbakat”. Orang yang mempunyai kapasitas dan kompetensi akan kalah bersaing dengan orang yang mencintai pekerjaannya. Orang yang mencintai pekerjaannya akan menekuni dan terus menerus mengembangkan kapasitas dan kompetensinya. Namun, orang yang mencintai pekerjaannya seringkali masih kalah bersaing dengan mereka yang menghayati pekerjaannya/berpengalaman atau mereka yang secara alami berbakat atau secara awam disebut jenius. Tetapi orang yang mencintai pekerjaannya akan selalu terus mengembangkan dirinya. Itulah kelebihan orang yang bekerja dengan cinta. 

Sebuah tim yang bekerja dengan cinta memiliki ketermilikan (sense of belonging), yakni adanya rasa persatuan, senasib-sepenangungan, ada perasaan bahwa setiap individu berkontribusi terhadap keberhasilan tim. Harus diakui bahwa kontribusi setiap anggota tidak sama, tetapi disadari bahwa setiap anggota tim berkontribusi terhadap keberhasilan tim  sesuai dengan kompetensi, kapasitas serta keunikan masing-masing. Pada tingkat yang lebih tinggi cinta menghasilkan perasaan “ikut memiliki” (sense of ownership) yang berarti bahwa seluruh tim bekerja bukan lagi demi gaji atau promosi atau insentif transaksional lainnya melainkan bahwa keberhasilan tim adalah bagian dari aktualisasi diri mereka baik secara individu maupun secara tim. 

Pada suratnya kepada jemaat di Filipi, Rasul Paulus memberi nasehat, “…dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri , dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”  [Filipi 2:4-7]. Nasihat Paulus ini sepertinya mewujud dalam karya dan tindakan Jonan. Beliaupun meneladani Sang Guru. Dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT. KAI, beliau tidak risih untuk “menjadi sama seperti para karyawan dan penumpang” kereta api demi pelayanan terbaik kepada para pelanggan yang dilayaninya. 

Kristus memberi keteladanan itu kepada kita. Menjadi setara dengan yang lain. Berjalan dan melayani bersama dalam kerendahan, mengosongkan diri-Nya dari segala kepentingan diri sendiri, dan mencapai tujuan bersama tanpa memandang rendah satu dengan yang lain. Refleksi kita atas pengalaman  ini adalah bahwa kita tidak akan mencapai keberhasilan, jika kita masih menganggap diri kita bos yang lebih tinggi dari yang lain dan merasa dunia adalah milik kita. Mari belajar dari Kristus, Guru kita dan Ignasius Jonan yang mengikuti cara-Nya, mengembangkan cinta yang mampu mengubah dari ketermilikan menjadi saling memiliki. Cinta yang menumbuhkan kolaborasi.


Pdt. Sri Yuliana