Dari Hati Yang Tergerak Oleh Belas Kasihan

Dari Hati Yang Tergerak Oleh Belas Kasihan

Belajar dari Wahana Visi Indonesia

Peperangan meski di ujungnya menghasilkan kejayaan bagi pihak yang menang, tetapi selalu menyisakan derita dan kehilangan bagi yang lemah. Demikian pula Perang Korea yang terjadi selama sekitar tiga tahun antara 1950-1953. Di tengah suasana peperangan tersebut datanglah, seorang misionaris Amerika bernama Bob Pierce. Suatu hari Bob Pierce dan rekannya Pastor Han, melihat dari dekat anak-anak berlarian di jalan. Mereka anak-anak Korea korban perang. Sebagian dari mereka terpisah atau telah kehilangan orang tuanya. Anak-anak berusia 8 atau 9 tahun berjuang di jalanan menanggung beban adik-adiknya yang lebih kecil. Banyak dari mereka telanjang dan kelaparan. Mereka hidup telantar. 

Keadaan anak-anak korban perang tersebut membangunkan visi Ps. Bob Pierce dan Ps. Han. Mereka berdua mencari kehendak Tuhan, membangun sebuah lembaga pelayanan yang memfokuskan diri pada kesejahteraan anak-anak. Maka kemudian berdirilah World Vision. Pelayanan awalnya adalah memberikan penyantunan anak asuh dan rumah singgah anak di Korea pada 1953. Selanjutnya organisasi ini mengembangkan pelayanannya ke negara-negara Asia yang lain, Amerika Latin dan Afrika. Demikian penjelasan CEO & Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Dr. Doseba T. Sinay, M.B.A atau akrab disapa Pak Ote dalam perbincangan dengan Warta Sumber Hidup LAI. 

Pak Ote lebih menjelaskan, di Indonesia pelayanan World Vision yang dikenal dengan Wahana Visi Indonesia (WVI), menjangkau 14 provinsi, dengan 59 proyek yang tersebar di 656 desa/ kelurahan, di 136 kecamatan, di 52 kota di seluruh Indonesia. Sebagai lembaga kemanusiaan Kristen yang berjuang untuk menghadirkan perubahan, WVI  mendedikasikan diri untuk bekerja sama dengan masyarakat yang paling rentan, tanpa membedakan agama, ras, etnis dan gender. Jadi pelayanan WVI tidak terkotak pada orang-orang Kristen atau suku tertentu saja, namun meliputi seluruh Indonesia tanpa kecuali. 

Sebagai lembaga sosial Kristen yang memiliki kepedulian pada kesejahteraan anak-anak, WVI memiliki empat fokus kerja, yaitu: kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan ekonomi. Dalam bidang kesehatan, WVI memiliki harapan agar anak dapat hidup sehat dan terhindar dari penyakit. Langkah-langkahnya diwujudkan melalui program: pemberian makanan bayi dan anak (PMBA), pemantauan tumbuh kembang anak (Posyandu), penyediaan akses air bersih dan pengembangan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).

Dalam bidang pendidikan, pelayanan WVI bertujuan agar anak-anak mendapatkan kemudahan akses pendidikan dan dapat memenuhi potensi mereka. Pelayanan di bidang pendidikan diwujudkan melalui berbagai program, di antaranya:  pendidikan literasi, pendidikan karakter, pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), sekolah aman bencana.  

Dalam bidang perlindungan anak, fokus pelayanan WVI adalah agar anak-anak mendapatkan kasih sayang, perlindungan dan memberikan ruang bagi anak agar dapat turut berpartisipasi. Implementasi untuk perlindungan anak, antara lain: perlindungan anak sendiri dan advokasi, pengasuhan anak dengan cinta.

Dalam bidang ekonomi, arahnya adalah anak-anak meningkat kesejahteraannya melalui pemberdayaan ekonomi keluarga. Dalam hal ekonomi keluarga ini disadari jika masyarakat dan keluarga perekonomiannya meningkat, akan semakin meningkat pula kejahteraan keluarga. Anak-anak tumbuh sehat, bisa sekolah, dan tercukupi kebutuhannya. Dalam mengimplementasikan program bidang ekonomi WVI memiliki beberapa project percontohan (model project) untuk pembangunan dan pengembangan mata pencaharian, model kelulusan, keuangan mikro dan kelompok tabungan.  

Meskipun dari awal WVI selalu menegaskan melayani semua kelompok masyarakat tanpa membedakan agama, ras, etnis dan gender, namun program-programnya tidak selalu diterima dengan mulus oleh masyarakat. Pak Ote menyebut ada empat hambatan utama yang sering ditemui di lapangan. Pertama, adalah identitas WVI sebagai lembaga pelayanan sosial Kristen. Yang selalu didengang-dengungkan adalah isu kristenisasi. Pihak WVI berusaha menjelaskan secara transparan program layanannya, dan kemudian mengajak masyarakat melakukan cross-check langsung pelaksanaannya.  Namun, seandainya resistensi dan ketidakpercayaan dari kelompok masyarakat tetap tinggi,  tentu saja WVI akan mengalihkan program pelayanan ke daerah lain. 

Contoh nyata kemajuan yang dapat disyukuri adalah pelayanan WVI di Pulau Hiri, Ternate. Pulau Hiri terletak di Kelurahan Mado, Kecamatan Pulau Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara. “Tanpa Pulau Hiri, Ternate tidak indah.” Demikian kata sejumlah fotografer yang kerap kali memotret pemandangan alam di beberapa tempat wisata di Ternate. Sudah hampir lima belas tahun WVI melayani di pulau tersebut, dan ikut berjuang mewujudkan Pulau Hiri sebagai pulau pertama di Indonesia yang ramah anak. 

Ketika tahun lalu Pak Ote dan jajaran pengurus WVI hadir di sana, mereka bertemu dengan 6 orang Kepala Desa di Pulau Hiri. Mereka sangat berterima kasih dan menghargai kemajuan yang terjadi di daerah mereka. Misalnya, program jam belajar anak yang dipatuhi dengan sangat baik dan kekerasan terhadap anak sangat jarang terjadi. WVI bekerja sama dengan Bank Indonesia juga membangun tempat-tempat belajar anak. Kini dengan pendampingan dari WVI, Pulau Hiri menjadi daerah pariwisata dan anak-anak setempat ikut berpartisipasi sebagai penerima tamu menyambut wisatawan yang berkunjung.  Akhirnya pulau tersebut berkembang dan menjadi mandiri.

Hambatan kedua, menurut Pak Ote adalah tanggapan sosial masyarakat. Beliau menganggap ini sebagai pola pikir yang susah dipertemukan. Misal, di beberapa tempat hak-hak anak memang terpinggirkan atau susah terpenuhi. Pola pikir orang tua di tempat tersebut anak hadir untuk meringankan beban orang tua. Mereka menganggap tugas anak bukan belajar ataupun bersekolah. Tugas utama seorang anak membantu orang tua di kebun. Sekolah bukan menjadi kebutuhan yang penting. 

Di tempat lain, ada pula budaya yang memaklumi kekerasan. “Ah, saya dari kecil dipukuli, tapi akhirnya jadi orang juga!” Demikian sering kali  pola pikir yang berkembag, dan menganggap wajar kekerasan pada anak. Di tempat-tempat seperti ini WVI hadir untuk memberi edukasi bahwa anak akan tumbuh dengan lebih baik dengan kasih sayang, tanpa tekanan dan kepedulian yang baik. Bahwa anak harus dijauhkan dari budaya kekerasan.

Hambatan ketiga, tentu saja wilayah Indonesia yang sangat luas, dan keterbatasan sumber daya. Maka WVI senatiasa meyakini pentingnya kolaborasi atau kemitraan dengan berbagai pihak. WVI percaya visi besarnya tidak akan mungkin dicapai sendirian. Di manapun WVI melakukan pelayanan selalu berusaha menggandeng pemerintah daerah setempat, tokoh masyarakat, umat kristiani, gereja, lembaga-lembaga pendidikan, swasta dan sebagainya.

Dari sebuah organisasi kecil yang begitu bergantung pada induknya di luar negeri, WVI di Indonesia berkembang dengan begitu pesat. Apa yang menjadi kunci keberhasilannya? Pak Ote meyakini kemajuan yang diperoleh oleh WVI karena semua komponen di WVI memahami dengan baik visi dan misi organisasi. “WVI hadir untuk mendatangkan kebaikan, menghadirkan syalom, atau seperti dinyatakan Tuhan Yesus dalam Yoh. 10:10b: Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” demikian ungkap Pak Ote.  Visi yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus tersebut menjiwai WVI dalam menjalankan program-program pelayanannya. 

Selain visi dan misi, nilai-nilai organisasi senantiasa memandu seluruh staf dan keluarga besar WVI dalam berkarya. Ada 6 nilai utama WVI, yaitu: kami Kristen (artinya pelayanan WVI meneladani Kristus, mengikuti gaya hidup Kristus), kami mengasihi mereka yang miskin, kami menghargai martabat manusia, kami responsive (selalu mengutamakan keselamatan hidup dan kesejahteraan), kami bermitra dengan semua pihak, kami adalah penatalayanan (organisasi WVI adalah milik Tuhan, bukan milik perseorangan atau lembaga).

WVI Beradaptasi dengan Pandemi Covid-19

WVI sebagai organisasi besar pun tidak luput dari pengaruh pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Sejak bulan Februari, pimpinan WVI sudah rutin mengadakan pertemuan untuk mempelajari dan menyikapi keadaan. Pada 10 Maret mereka mengambil keputusan bersama untuk memulai bekerja dari rumah, dan menerapkan protokol kesehatan. Mendahului pengumuman dan keputusan resmi dari pemerintah. Setelah menetapkan beberapa arahan untuk beradaptasi dengan situasi pandemi, berikutnya pimpinan WVI melakukan langkah kedua, mengamankan semua staf. Terkait  Covid-19, seluruh staf harus dipastikan selamat dan sejahtera. Ketiga, pimpinan memberikan arahan-arahan bagaimana program yang telah direncanakan dapat berjalan aman, dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. 

Pandemi Covid-19 disikapi oleh WVI dengan serius dan menyatakannya sebagai situasi tanggap darurat.  WVI mencoba lentur dan responsif dengan mengubah beberapa metode pelayanannya karena protokol kesehatan yang harus ditaati. Ada  banyak pembatasan fisik maupun sosial, tidak bisa mengadakan pertemuan lansgung atau berkala besar.  Ada empat fokus respon yang dilakukan WVI dan mitra pelayanannya, yaitu: pencegahan dan pembatasan penyebaran penyakit, dukungan layanan kesehatan dan tenaga medis, dukungan multisektor bagi anak-anak terdampak,kolaborasi dan advokasi perlindungan anak. Jadi meskipun situasi berubah fokus pelayanan WVI ujungnya sama, tetap pada kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan anak. 

Empat fokus respon di atas dijabarkan dalam banyak implementasi di lapangan: membuat beragam materi promosi pencegahan COVID-19 bagi masyarakat, menyediakan masker bagi anak-anak, keluarga, dan masyarakat, menerbitkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) bagi masyarakat, menyediakan paket kebersihan diri bagi anak dan keluarga, membangun fasilitas cuci tangan pakai sabun(CTPS) umum, menyediakan paket alat pelindung diri(APD) bagi tenaga medis, merespon dengan cepat kebutuhan layanan kesehatan untuk penderita Covid-19, memberikan dukungan psikososial dan kesehatan mental bagi anak, memberikan dukungan dan membantu penyediaan sarana belajar dari rumah bagi anak dan keluarga, memberikan bantuan pangan bagi masyarakat, dan memberikan berbagai bantuan non-tunai bagi keluarga terdampak pandemi. 

Pendidikan Anak di Masa Pandemi 

WVI jelas menyadari bahwa Covid-19 telah berdampak dalam pendidikan anak. WVI berusaha memastikan bahwa anak-anak di wilayah dampingan tetap dapat memperoleh pendidikan yang maksimal. Terutama di wilayah Indonesia Timur, di mana sinyal telekomunikasi tidak terlalu baik dan listrik belum merata. Ada beberapa cara yang dilakukan: Belajar melalui radio, melalui mobil sahabat anak yang tersedia di 8 wilayah, selain itu di daerah yang sinyal telekomunikasi betul-betul sulit, WVI menggandeng para guru untuk melakukan pembelajaran dari rumah, artinya guru-guru tersebut dihadirkan di rumah-rumah untuk mengajar langsung sekelompok siswa di suatu rumah, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.  

Pada kondisi yang sedikit ekstrem seperti di Papua dan Kalimantan, bahkan pada era sebelum pandemi Covid-19  tim WVI di sana beradaptasi dengan kondisi  geografis yang bergunung-gunung dan berawa-rawa dengan mengembangkan program Pustaka Apung dan Motor Sahabat Anak. Kedua program tersebut mendistribukan buku-buku bacaan ke berbagai sekolah di tempat sangat terpencil. 

Begitu luas ladan pelayanan WVI, tak mengherankan jika WVI diperkuat oleh  650 orang staf yang tersebar di seluruh Indonesia. Kalau melihat informasi yang diberikan oleh website World Vision International, wvi.org,  kita akan melihat jumlah yang lebih luar biasa. Ada 37.000 staf WVI yang melayani di 100 negara. 

Sebagai Direktur Nasional WVI, Pak Ote memandang pelayanannya di WVI sejak 2014, sebagai masa yang paling sukses dan membahagiakan dalam hidupnya. “Di WVI saya merasakan bagaimana Tuhan berkarya dalam hidup saya. Kalau di swasta keberhasilan dan kesuksesan senantiasa saya pandang sebagai prestasi pribadi, di WVI saya merasakannya sebagai bukti penyertaan Tuhan,”terangnya. Sedari awal bergabung, misi WVI sudah membuatnya tersentuh. Organisasi ini memiliki misi meneladani Tuhan Yesus Kristus, melayani yang miskin dan tertindas. Menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah dunia. 

Selama berkarya di WVI, ia diajar Tuhan untuk merendahkan diri, belajar menantikan waktu, jalan, kehendak Tuhan. “Saya begitu bersyukur Tuhan memberi kesempatan saya berkarya di lembaga ini,”tegasnya.  

Saat ditanya sosok yang menginspirasi hidup dan pelayanannya, Pak Ote menyebut dua nama. Yang pertama Tuhan Yesus yang merupakan panutan utamanya. “Saya senantiasa terkesan dengan kehidupannya, teladan-Nya, kesederhanaan-Nya. Termasuk ketakutan-Nya ketika harus memikul tanggung jawab yang demikian besar, katanya. Yang kedua, sosok ayah yang mengajarkan nilai-nilai positif. Pertama, kewajiban untuk mengembangkan talenta yang dimiliki. Kedua ayahnya mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan. Ketiga, ketekunan. Ia meyakini nasihat ayahnya, bahwa semua orang memiliki keterbatasan, tapi ketekunanlah yang akan menjadi pembeda dalam menunjukkan hasil. 

Lebih lanjut, Pak Ote mengaku belajar banyak dari berbagai tokoh gereja dan sejarah. Namun, semua tokoh tersebut adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Di lubuk hatinya yang terdalam Tuhan Yesus adalah segalanya. Keyakinan tersebut semakin nyata ketika berkarya di WVI. Ada satu petikan Alkitab yang selalu Pak Ote ingat: “Tergeraklah Ia oleh belas kasihan.” Seluruh karya pelayanan Tuhan Yesus senantiasa didasari oleh belas kasihan. Dari hati yang tergerak oleh rasa iba dan kepedulian. 

Bagi Pak Ote pribadi, keberhasilan sebuah pelayanan bukan sekadar dilihat dari pencapaian angka-angka. Yang paling utama, apakah mereka merasakan kasih Kristus melalui apa yang kita lakukan? Kasih yang Kristus gambarkan melalui perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati. Kasih yang tidak membeda-bedakan, yang mengatasi semua perbedaan. Karena tugas setiap orang Kristen pada hakikatnya adalah menghadirkan kasih Kristus di tengah-tengah dunia. Kasih Kristus yang terbit dari hati yang selalu tergerak oleh belas kasihan.