“De Brevitate Vitae”: Hidup Itu Singkat.

“De Brevitate Vitae”: Hidup Itu Singkat.

 

Tahukah Saudara tentang sebuah lagu berjudul “De Brevitate Vitae” (Hidup ini Singkat)? Mungkin Saudara tidak tahu, bahkan banyak orang juga tidak tahu. Tapi apabila baris pertama lagu tersebut dinyanyikan, rasanya Saudara akan sangat mengenal lagu tersebut. Ya, “Gaudeamus Igitur, iuvenes dum sumus . . .” adalah sebuah lagu yang mengingatkan kita akan suasana khidmat saat kita diwisuda di tempat kita menuntut ilmu. Lagu yang menandai kelulusan kita dan pencapaian kita di bidang akademik. Biasanya lagu tersebut dinyanyikan dengan tempo “adagio” (pelan, khidmat) untuk mengiringi Rektor, Dekan, Majelis Wali Amanat dan Winisuda memasuki ruangan. Suasana syahdu dengan iringan paduan suara membuat banyak hadirin menitikkan air mata. Rasanya perjuangan orangtua sudah selesai menghantar anak-anak mereka hingga ke tingkat sarjana. 

Namun pahamkah kita akan arti dibalik lirik-lirik lagu yang dinyanyikan tersebut?

Gaudeamus igitur (Mari kita bersenang-senang)

Iuvenes dum sumus (Selagi kita masih muda)

Post iucundum iuventutem (Setelah masa muda yang penuh keceriaan)

Post molestam senectutem (Setelah masa tua yang penuh penderitaan)

Nos habebit humus (Hingga tanah menerimaku!)

Dengan arti seperti tersebut di atas, mestinya lagu tersebut dinyanyikan dengan tempo “moderato” (sedang, agak cepat) dan “con spirito”, penuh semangat sebagai gambaran jiwa anak-anak muda. Dalam tradisi Eropa dari mana lagu ini berasal, lagu ini telah menjadi “lagu kebangsaan” anak-anak kampus. Selain menjadi lagu yang berisi suka cita, penghargaan terhadap almamater dan cerminan patriotisme, serta kesetiakawan dan persaudaraan, namun disisi lain lagu ini juga menjadi lagu menghantar mereka mabuk-mabukan (seperti dalam syair bait ke 5), juga ungkapan kesedihan dan keputusasaan seperti pada bait 2,3,7,8.

Lalu apa hubungan antara bait-bait lagu tersebut dengan semangat masa muda yang penuh vitalitas seperti tecermin pada bait 1? Nampaknya ini soal pilihan. Mari kita cermati bait ke 4 dan 6 yang sudah menjadi tradisi kampus saat wisuda.

Vivat academia (Hidup akademi)

Vivant professores (Hidup para pengajar)

Vivat membrum quodlibet (Hidup para mahasiswa laki-laki)

Vivat membra quae libet (Hidup para mahasiswa perempuan)

Semper sint flores (Semoga hidup mereka berwarna-warni)

Vivat et res publica (Hidup negaraku)

Et qui lam regit (Hidup pemerintahku)

Vivat nostra civitas (Hidup kotaku)

Maecenatum caritas (Dengan para dermawan yang murah hati)           

Quae nos hic protegit (Yang telah melindungi kami)

Dibalik pilihan bait-bait yang dinyanyikan itu dengan jelas tersirat harapan dan doa yang dipanjatkan. Harapan dan cita-cita dari para orang tua, kekasih, para dosen tentang sosok ideal anak muda yang ceria, penuh semangat, menghargai para pengajarnya, cinta tanah air, juga para dermawan yang rela menyokong agar pendidikan bagi anak muda terwujud serta terus berkembang.

Menjadi manusia yang ceria, penuh semangat dan antusias adalah pilihan. Hidup itu singkat (De Brevitate Vitae), oleh karena itu harus bermutu. “Sekali berarti, sudah itu mati”, begitu cetusan hati Chairil Anwar dalam sajak Diponegoro (1943). Demikian juga di dalam Alkitab. Jika kita perhatikan sejak Kitab Kejadian hingga Wahyu, menunjukkan bahwa hidup manusia itu singkat. Karena hidup manusia itu singkat, maka Alkitab juga menyajikan pilihan-pilihan hidup yang kita inginkan. Apakah kita ingin menjadi Musa atau Firaun. Menjadi Yakub atau Esau. Menjadi Abraham atau Lot. Menjadi Saulus atau Paulus. Semuanya adalah pilihan. Kita diperhadapkan pada banyak pilihan, tapi jika ingin hidup, maka kita harus mengambil keputusan untuk memilih satu saja, seperti Adam diperhadapkan pada “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” atau seperti Daniel yang teguh memilih menyembah Allah dari pada para dewa. Dalam membuat keputusan, kita diperhadapkan pada pilihan yang bebas, namun juga dituntut tanggung jawab dari pilihan tersebut. Apakah keputusan tersebut berdampak baik bagi sesama dan bagi kemuliaan Tuhan atau hanya berdampak baik bagi diri kita sendiri.

Soal pilihan hidup ini, saya teringat pada Kierkegaard, seorang filsuf dari Denmark yang dalam tulisannya mengatakan: tugas seorang manusia adalah menanggapi secara konkret tawaran kebenaran moral dan religius, serta membangun relasi eksistensial dengannya, dengan membuat pilihan dan komitmen. Bagaimanapun juga, orang harus memilih bagaimana cara ia akan hidup di dunia, atau cara ia berada-dalam-dunia (his or her own way of being-in-the-world). Jadi, manusia selalu ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan dalam pergulatan hidupnya. Masalahnya adalah kita akan selalu berada dalam kecemasan dan ketakutan ketika harus mengambil keputusan penting dalam hidup. Apalagi banyaknya stereotipe negatif tentang anak muda. Karena itu, dibutuhkan keberanian anak muda untuk menjadi diri sendiri. 

De Brevitate Vitae – hidup ini singkat, juga penuh pilihan dan pengambilan keputusan. Hai anak-anak muda, apa pilihanmu, apa keputusanmu? Tunjukkanlah kepada dunia, bahwa anak-anak muda adalah anak-anak yang berani menjadi dirinya sendiri. Berani mengambil keputusan atas pilihan-pilihan dalam hidup ini dan selalu mengikuti nasihat bijak: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Tim.4:12). Sekali lagi, jangan takut membuat pilihan, karena Sang Pencipta selalu punya rencana buat anak-anak muda. So, “To be or not to be, that is the question” (Hamlet, William H. Shakespeare).

Pdt. Sri. Yuliana. M. Th