Diimpikan Namun Tak Dihidupi

Diimpikan Namun Tak Dihidupi


Keadilan akan menjadi nyata pada saat semua pengikut Kristus menggunakannya sebagai baju zirah (Efesus 6:14)

Dua puluh satu tahun yang lalu tepatnya pada 17 Juli 1998 dunia internasioanal menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma dalam sebuah konferensi diplomatik internasioanl di Roma. Acara yang dihadiri oleh 148 perwakilan negara itu menyepakati sebuah perjanjian untuk secara bersama-sama mengatasi dan membawa ke peradilan segala bentuk kejahatan internasional. Kejahatan internasional yang dimaksudkan adalah pembunuhan massal (genosida), kejahatan kemanusiaan (kejahatan yang menargetkan kelompok masyarakat tertentu, seperti perbudakan orang-orang berkulit hitam, dan kejahatan berbasis gender), kejahatan perang (pelanggaran hukum perang seperti membunuh warga sipil dan menyiksa sandera), serta kejahatan agresi (penjajahan, mobilisasi kekuatan militer tanpa alasan). Proses peradilan atas empat bentuk kejahatan internasional ini dimandatkan kepada Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk pada saat itu. (Sumber: https://pkbi.or.id/memaknai-hari-keadilan-internasional/). Sejak saat itulah setiap tanggal 17 Juli dunia internasional memperingatinya sebagai Hari Keadilan Internasional (World Day for International Justice).

Sejak dahulu, kejahatan berupa ketidakadilan sudah sering terjadi di dunia ini dan pada umumnya kejahatan ketidakadilan itu dilakukan oleh mereka yang berkuasa, yang memiliki kekuatan, serta kedudukan yang lebih tinggi, sementara korbannya sudah pasti mereka yang tidak memiliki kekuasaan, lemah, dan yang memiliki kedudukan atau derajat yang rendah dalam masyarakat. Di saat yang sama, orang-orang juga sudah sangat mendambakan keadilan terjadi di tengah-tengah mereka dan di seluruh dunia. Jadi usia ketidakadilan dan keinginan untuk menciptakan keadilan sudah sama tuanya.

Alkitab sendiri menceritakan sejarah tentang raja Daud yang dalam dirinya menginginkan keadilan namun ia sendiri melakukan ketidakadilan dalam kedudukan dan kekuasaannya sebagai raja.  

TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia datang kepada Daud dan berkata kepadanya: "Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu." Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan." Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu! (2 Samuel 12:1-7a)

Dualisme Manusia

Apa kurangnya seorang raja yang sangat berkuasa yang di dalam dirinya menginginkan keadilan untuk menciptakan keadilan itu di seluruh negerinya? Dengan sangat mudah seharusnya ia dapat mewujudkan keadilan itu tetapi kenyataannya tidak.
 
Dalam kisah raja Daud ketika Nabi Natan datang kepadanya dengan maksud memberikan teguran kepadanya, nabi Natan menggunakan sebuah cerita fiksi tentang seorang miskin yang hanya memiliki harta berupa seekor domba betina yang sangat dijaga, dirawat, dan disayanginya seperti anak perempuannya sendiri. Domba betina itu kemudian diambil dari padanya oleh seorang yang sangat kaya yang memiliki sangat banyak kambing domba, dan lembu sapi demi untuk menjamu tamunya. Mendengar cerita itu Daud menjadi sangat marah, ia berkata, “Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.”

Bagi siapa pun yang ada saat itu dan tidak tahu perihal mengapa nabi Natan mengangkat kisah itu pastilah menganggap bahwa Daud ini adalah raja yang sangat adil dan benar, ia benar-benar ingin menegakkan keadilan, ia adalah pembela bagi orang-orang yang miskin dan tertindas. Dalam dirinya pun Daud pasti merasa bahwa ia harus menegakkan keadilan bagi si miskin. Hatinya berkobar dengan penuh kemarahan mengetahui ada tindakan kejahatan seperti itu di dalam lingkungan kerajaannya. Semua menjadi berubah ketika nabi Natan berkata “Engkaulah orang itu!” Lebih jauh, nabi Natan menyampaikan pesan Tuhan kepadanya (2Sam. 12:9), “Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya? Uria, orang Het itu, kaubiarkan ditewaskan dengan pedang; isterinya kau ambil menjadi isterimu, dan dia sendiri telah kaubiarkan dibunuh oleh pedang bani Amon.”

Betapa jahatnya ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang menginginkan tegaknya keadilan. Itulah dualisme dalam diri manusia sehingga sampai kapan pun jika dualisme itu masih ada, ia tidak dapat mewujudkan keadilan baik atas dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. TUHAN menganggap perbuatan ketidakadilan itu sebagai perbuatan yang menghina diri-Nya. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil (Mzm. 5:8; 7:17; 11:7) dan Ia menginginkan umat-Nya berlaku adil dan menegakkan keadilan di bumi (Ul. 16:18; Yes. 56:1).  

Hidup dalam Keadilan

Kegagalan kita mewujudkan keadilan sudah terjadi saat kita tidak mampu menghidupi keadilan itu secara holistik dalam kehidupan kita. Apa yang dialami oleh raja Daud bukankah juga kita lakukan dalam keseharian kita? Kita begitu geram melihat orang-orang yang melakukan ketidakadilan yang begitu mencolok sementara kita sendiri pun melakukan ketidakadilan terhadap sesama kita walau hal itu tidak kasat mata, tersembunyi, dan yang kita anggap kecil. Kita tidak suka bahkan marah saat ketidakadilan itu menimpa diri kita, keluarga, sahabat, atau kelompok kita (suku, agama, ras, pilihan politik, dll), namun sekali lagi kita menutup mata jika ketidakadilan menimpa orang atau kelompok lain, atau yang mungkin kita sendirilah pelakunya. Keadaan seperti itu membuat keadilan hanya berupa impian kosong yang tidak akan pernah menjadi nyata. 

Allah kita adalah Allah yang adil, Ia mengenakan keadilan sebagai baju zirah (Yes. 59:17) dan Ia menghendaki kita juga menggunakan baju zirah keadilan itu sebagai bagian dari perlengkapan senjata Allah untuk melakukan perlawanan terhadap tipu muslihat Iblis, untuk melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap, melawan roh-roh jahat di udara (Ef. 6:11-14). Paulus menggambarkan kehidupan kekristenan itu adalah sebuah peperangan, tidak melawan manusia secara fisik, namun melawan Iblis dan kuasanya. Karena itu pertama-tama yang harus dikenakan adalah kebenaran dan keadilan. Semua orang percaya harus hidup dalam kebenaran dan keadilan sebagai perlengkapan yang paling dasar yang harus melekat pada dirinya supaya dengan begitu memiliki kepercayaan diri menghadapi dunia yang sedang berjalan dalam ketidakbenaran dan ketidakadilannya. 

Keadilan yang dicita-citakan melalui peringatan Hari Keadilan Internasional ini hanya dapat dilaksanakan apabila dalam diri diri setiap orang, dalam diri para pemimpin dan pemegang kekuasaan, dan dalam cita-cita sebuah bangsa melekat perasaan keadilan yang kuat yang dikenakan pertama-tama pada dirinya sendiri kemudian barulah mengenakannya pada orang atau pihak lain. 

Selamat mewujudkan keadilan di tengah-tengah dunia ini.