Dr. Alphinus Kambodji: Sahabat Para Penderita AIDS

Dr. Alphinus Kambodji: Sahabat Para Penderita AIDS

 

Sewaktu kecil teman-temannya memanggilnya Antek, yang merupakan akronim dari nama panjangnya, Alphinus Rantelemba Kambodji. Dokter Alphinus berasal dari Tentena, Poso di Sulawesi Tengah. Ayahnya orang Pamona, ibunya berasal dari suku Mori. Sebagian besar dari masyarakat suku Pamona beragama Kristen. Maka kegiatan gereja maupun mendengarkan kisah-kisah Alkitab sudah menjadi “makanan” Alphinus dari kecil. Ditambah kedua orang tuanya, baik ayah maupun ibunya merupakan pendeta. 

Sejak kecil di dalam dirinya sudah terpatri keinginan menjadi dokter. “Di kampung kami di Tentena, ada Rumah Sakit Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang sudah ada jauh sebelum saya lahir. Saya sering bermain di sekitar rumah sakit dan melihat bagaimana orang-orang berobat ke rumah sakit. Saya membayangkan akan baik juga jika saya menjadi dokter agar bisa menolong orang lain,”terangnya.” Pada masa itu di Poso belum ada sosok dokter yang merupakan putra asli kelahiran Poso. Semuanya pendatang,”lanjutnya. 

Alphinus tidak lama tinggal di Tentena. Selepas Sekolah Dasar, ia mengikuti ayahnya pindah ke Makassar, karena ayahnya dipercaya untuk menjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Indonesia Timur (Intim) Makassar. Sebelumnya sang ayah merupakan dosen di STT  GKST di Tentena. Maka bangku SMP dan SMA dilalui Alphinus di Makassar. 

Meski kedua orang tuanya pendeta, semasa remaja di Makassar Alphinus tidak terlalu tertarik dengan kesibukan-kesibukan kegiatan di gereja. Ia hanya mengikuti kegiatan seputar peribadahan saja. Namun, bersama-sama dengan teman-teman genk SMA nya ia lebih tertarik merintis dan mengembangkan radio amatir sebagai kegiatan keakraban dan penyaluran hobi. Ia sendiri menjadi pemimpin di radio amatir tersebut. Paling tidak Alphinus masih memiliki kegiatan penyaluran kreativitas yang positif. 

 

Kuliah di Malang dan Aktif dalam GMKI

Alphinus lulus SMA pada 1979. Setelahnya ia mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Ternyata ia diterima di dua perguruan tinggi negeri sekaligus, yaitu di Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin (Unhas) dan Fakultas Kedokteran di Universitas Brawijaya, Malang. Di sekitar 1979 tersebut, Alphinus ternyata belum merasa siap untuk tinggal di perantauan jauh dari orang tua, maka ia memilih untuk menjalani kuliah di Unhas. Tetapi impian menjadi dokter dan panggilan jiwa membuatnya memberanikan diri untuk mengikuti tes lagi di tahun berikutnya, dan ia kembali lulus masuk Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Maka ia pun berangkat ke Malang. Ia tidak mengalami kesulitan berarti dalam beradaptasi, karena sebagai anak Makassar ia sudah terbiasa denga kehidupan di kota besar dan bertemu dengan banyak manusia dari seluruh Indonesia. 

Di luar kepadatan kehidupan kuliah, Alphinus sebenarnya ingin bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Sejak masih di bangku sekolah menengah di Makassar, Alphinus sering melihat beragam kegiatan LAI, karena ia dan keluarganya tinggal di lingkungan kompleks STT Intim Makassar. Sekitar 1978, ada kongres GMKI nasional yang diselenggarakan di Makassar, bertempat di kompleks STT Intim. Alphinus remaja sudah terkesima dengan kiprah GMKI dan juga program-program yang diadakannya untuk mengkader para mahasiswa calon pemimpin bangsa. Alphinus baru bergabung dengan GMKI di Malang, ketika menginjak tingkat dua kuliah kedokteran. Di luar kegiatan kepemimpinan, GMKI juga sarat berbagai kegiatan pengembangan talenta maupun kerohanian. “Pada waktu saya kuliah di Malang sekitar tahun 80-an, di Malang ada sekitar 25 perguruan tinggi yang bergabung dengan GMKI,”tuturnya. Setelah sekitar setahun aktif dalam kegiatan GMKI di Malang, Alphinus terpilih menjadi Ketua Cabang GMKI Malang. Ia dan pengurus lain berusaha mengaktifkan kegiatan GMKI agar berimbang antara kepemimpinan dan kerohanian. Terlebih ia memiliki dasar kerohanian yang diwarisi dari kedua orang tuanya. Keaktifannya dalam GMKI membawanya untuk dekat dengan pimpinan=pimpinan gereja maupun umat beragama lain di seputar Malang dan Jawa Timur. Bahkan ikut terlibat aktif dalam forum-forum diskusi antar umat beragama yang sering diadakan di Jawa Timur. 

Akhirnya bersama dengan beberapa tokoh, seperti: Pdt. Prof. Dr. Sri Wismoadi Wahono, Pdt. Dr. B.A Abednego, Alphinus ikut serta membentuk suatu lembaga bernama PUSTAKA (Pusat Studi Agama dan Kebudayaan). “Waktu itu Pak Abednego ketuanya dan saya sekretarisnya,” kenangnya. “Kegiatan PUSTAKA yaitu mengadakan diskusi rutin, menyelenggarakan seminar-seminar regional dan nasional. Kami juga menerbitkan jurnal namanya DIAN PUSTAKA,”lanjutnya. Menurut Alphinus kegiatan PUSTAKA beragam bukan hanya diskusi dan seminar dengan tema keagamaan atau kebudayaan yang mengawang-awang, namun juga menyentuh dimensi sosial, ekonomi dan politik yang memberi saran solusi praktis untuk perbaikan masyarakat. 

 

Lulus dan Menunggu

 Selepas lulus kuliah, Alphinus pulang ke Poso, sambil menunggu penempatan sebagai calon pegawai negeri. Di waktu itu akhirnya tercapai cita-citanya menjadi dokter bagi rumah sakit GKST di Tentena. Di tengah melayani di rumah sakit tersebut, Alphinus mendapatkan SK penempatan dari Departemen Kesehatan (kini Kementerian Kesehatan-red), dan ditempatkan di Kabupaten Toli-toli. Ia baru bersiap hendak berangkat, tiba-tiba ia memperoleh panggilan dari CDC (Centre Disease Control) sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Atlanta, Amerika Serikat. Ia diminta menjadi koordinator penelitian penyakit HIV/AIDS di Surabaya. 

Alphinus tentu saja merasa terkejut, karena sebagai dokter di sebuah rumah sakit di daerah ia bisa dikenal oleh lembaga sebesar CDC.  Ia sempat bertanya-tanya siapa yang memberikan rekomendasi kepadanya. Ternyata keaktifannya sebagai pengurus GMKI membuatnya dikenal banyak orang. Sekitar 1992 memang Surabaya dikenal tinggi dalam penyebaran penyakit HIV/AIDS. CDC bermaksud melakukan penelitian secara menyeluruh bagaimana penyebaran virus HIV di Surabaya. 

“Itulah penelitian pertama di indonesia terbesar saya kiar untuk melihat secara epidemologis secara penyebaran virus HIV dan penyakit AIDS Surabaya,”katanya. Surabaya dipilih karena beberapa faktor. Pertama, di sana waktu itu terdapat Lokalisasi Doli, salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Berikutnya perannya sebagai kota pelabuhan yang padat interaksi manusia yang datang dan pergi. 

“Pada waktu itu AIDS menjadi penyakit momok yang mematikan dan dianggap penyakit kutukan, karena orang masih asing dengan penyakit tersebut,”katanya. Alphinus berpendapat, meskipun HIV/AIDS belum ada obatnya, namun cara menghindarinya relatif bisa dilakukan setiap orang. Pertama, menghindari aktivitas seks yang berisiko, seperti gonta-ganti pasangan dan kedua menghindari kontak darah langsung dengan menghindari pemakaian jarum suntik secara bersama-sama. “Saya tidak perlu takut berinteraksi dengan penderita AIDS, karena virus masuk melalui pembuluh darah. Interaksi sosial sehari-hari dengan mereka tidak ada masalah,”katanya. 

Selama empat tahun menjadi kordinator penelitian, Alphinus dan timnya dari CDC telah meneliti sampel lebih dari 7000 responden, yang terdiri dari: para pekerja seks di lokalisasi, para pekerja seks jalanan, mereka yang bekerja di panti pijat, kelompok-kelompok gay, waria, pelaut, sopir truk, dan para pekerja pelabuhan. Selain pemeriksaan kesehatan, pengambilan sampel darah dan cairan kemaluan, tim juga melakukan wawancara dengan responden untuk melihat tren perilaku sehari-hari. 

Sesudah melakukan penelitian bersama CDC, Alphinus bergabung bersama Family Health International (FHI), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) Amerika. Pekerjaannya masih mengurusi soal AIDS. FHI melakukan penelitian terstruktur yang bertujuan memberi sumbangsih pemerintah dalam menyusun strategi nasional penanggulangan AIDS di Indonesia. 

Setelah dari Family Health International, Alphinus bekerja di  di project HAPP  (HIV/AIDS Prevention Project) dan setelahnya bergabung bersama organisasi Save The Children, LSM Amerika. Tugasnya di Save The Children (STC) adalah menangani dan mendampingi anak-anak jalanan (urban street children program). Di sini kedudukan Alphinus sebagai health specialist. Karya pelayanan STC tersebar di berbagai kota besar, seperti:  Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan. 

“Jadi saya keliling memberikan informasi pelayanan kesehatan, memberikan kesempatan kepada anak-anak jalanan itu untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan  dari pemerintah daerah dan pemerintah kota, tentunya termasuk pemeriksaan HIV/AIDS. Ke manapun saya berkarya, agaknya peran sebagai komunikator HIV/AIDS terus melekat,”katanya. 

Menjelang kontrak pelayanan bersama STC selesai, Alphinus dihubungi oleh UEM (United Evangelical Mission), lembaga misi Kristen yang berpusat di Jerman. Dalam waktu berjalan itu membantu Alphinus terlibat dalam pelayanan bersama gerejanya, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) untuk melatih pendeta-pendeta membentuk kelompok-kelompok pendampingan HIV/AIDS. Bersama UEM Alphinus juga menangani HIV AIDS tapi wilayah pelayanannya lebih luas, karena ia mengkoordinir wilayah Asia, yang membawahi: Indonesia, Filipina, Srilanka, Hongkong dan Cina. Tugasnya berkeliling memberikan informasi dan membentuk kelompok-kelompok kerja pendampingan AIDS di gereja anggota UEM.

Hidup Alphinus seperti diarahkan untuk dekat dengan pelayanan terhadap penderita HIV/AIDS. Selain melakukan berbagai penelitian, ia juga berbicara dalam berbagai forum seminar lintas lembaga, lintas agama untuk menjelaskan berbagai hal tentang AIDS. Jika dilhat dari 1992, maka sampai hari ini sudah hampir 30 tahun dirinya bergelut dengan AIDS. Penelitian dan sosialisasi penyakit AIDS bahkan membuatnya lupa pada impian untuk menjadi dokter spesialis dan menjadi pegawai negeri sipil. Sejak waktu tersebut, hidupnya seperti bersandar pada tuntunan dan penyertaan Tuhan semata. Apa yang membuatnya demikian mencintai pelayanan ini?

“Makin lama saya merasa menyatu dengan penelitian dan pelayanan HIV/AIDS ini. Saya bukan hanya orang yang paham teori di atas kertas, namun saya sehari-harinya langsung berhadapan dengan para penderita dan orang-orang rentan yang berisiko tinggi. Saya berinteraksi langsung dengan para pekerja seks dan orang-orang di sekitar mereka, belajar mendalami pergumulan dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup, dan pada titik akhir saya merasa pas dengan misi untuk melayanan pelayanan dan pendampingan kepada orang-orang kecil dan termarjinalisasi seperti mereka,”tuturnya.  

“Awalnya saya dulu ketika bertemu para pekerja seksual di Kompleks Doli Surabaya, saya sering tekankan kepada mereka berhenti segera bertobat, jangan tenggelam di dalam dosa,”katanya. “Tapi mereka langsung menjawab kepada saya, hari ini juga saya bersedia berhenti, Pak. Asal bapak bersedia memberikan setiap hari kepada saya 250 ribu rupiah,”lanjutnya.  Alphinus pun terkejut dan mulai merenung. Ia menyadari tidak pernah ada niat dari seseorang untuk menjadi seorang pekerja seks komersial (PSK). Tapi semua orang ingin bertahan hidup. Semua orang pada dasarnya ingin hidup secara normal menurut pandangan masyarakat. “Saya pernah berhitung, di antara dua orang PSK, di belakangnya bergantung hidup 20-an orang. Dari mulai mucikari, anak, ibunya, mungkin kakek dan neneknya, pedagang makanan di sekitarnya, petugas parkir, preman, dan sebagainya. Maka untuk mengentaskan mereka tidak mudah dan perlu kesatuan hati dan kerja sama lintas bidang,”tuturnya. 

Mulai dari Surabaya kemudian Alphinus berharap untuk memberikan panduan juga bagi gereja-gereja di Indonesia tentang penyakit AIDS tersebut dan penanggulangannya. Sambil berkarya bersama UEM, sekitar tahun 2005, Alphinus bersama rekan lamanya, Pdt. Gomar Gultom dan beberapa rekan yang lain merintis pendirian Komite AIDS di PGI. Ia cukup lama berada di Komite AIDS PGI sampai kepada penyusunan policy gereja di Indonesia tentang HIV/AIDS. 

Mengapa mesti ada komite khusus AIDS di PGI? “AIDS bukan hanya persolanan kesehatan namun juga soal moral dan sosial. Gereja-gereja harus aktif terlibat untuk mencegah penyebaran penyakit AIDS dan juga harus siap ketika harus mendampingi penderita AIDS di lingkungan mereka. Untuk itu perlu kesatuan pandangan di antara gereja-gereja,”katanya. “Pimpinan gereja di tingkat sinodal kita latih, kita berikan informasi bagaimana mencegah dan menangani AIDS, bahkan kita berikan dorongan untuk membentuk komite-komite AIDS di gereja-gereja,”lanjutnya. 

Alphinus sambil tertawa menyebut kalau pada era 90-an masih ada gereja-gereja yang menganggap AIDS sebagai penyakit kutukan menjijikkan. Bahkan pernah seorang pimpinan gereja memberi Alphinus saran yang mengejutkan terkait penderita AIDS. “Pak, kita tidak perlu repot-repot mikirin mereka, kita kumpulkan saja para penderita AIDS ini kemudian kita taruh di suatu pulau biar mereka mati sendiri,”kata pemimpin gereja tersebut. Padahal AIDS bukan hanya masalah perilaku seks yang menyimpang. Ada orang-orang yang menjadi korban penularan, karena transfusi darah, ada yang karena pasangannya tidak setia dan masih banyak lagi. Setiap orang, baik sengaja maupun tidak bisa tertular. 

Alphinus dengan tidak jemu-jemu berjuang memberikan pemahaman kepada para pimpinan dan juga warga gereja awam. Gereja harus membangun kepedulian kepada mereka yang menderita AIDS. Gereja harus mengasihi mereka. Pada masa itu stigma dan diskriminasi terhadap penderita AIDS sangat tinggi, terlebih di gereja. Banyak gereja menolak mereka yang terinfeksi AIDS hadir dalam ibadah atau persekutuan. Alphinus dan tim dari PGI terus memberikan pemahaman dan advokasi agar gereja bisa menerima para penderita AIDS dalam ibadah. 

“Akhirnya banyak gereja mulai membuka diri, mereka boleh ke gereja namun tidak boleh mengikuti perjamuan kudus. Sungguh menyedihkan, ternyata demikian besar penolakan gereja kepada mereka yang harusnya diangkat harkat dan martabatnya, yang harusnya dibangun kepercayaan dirinya,”tutur Alphinus lebih lanjut. 

 

Persaudaraan Lintas Gereja, Lintas Negara dan Lintas Iman untuk AIDS

Di UEM, Alphinus berkarya sampai 2010. Namun, pada 2011 ia masih diutus UEM berangkat ke Mentawai, untuk membantu penanganan korban gema dan tsunami di sana. Pada 1 Januari 2012, Alphinus diutus untuk berkarya di Dewan Gereja Asia (Christian Conference of Asia) yang berkantor di Chiang Mai, Thailand. Di lembaga ini karya pelayanannya masih sama, tidak jauh dari penanganan HIV/AIDS. 

“Anggota CCA jauh lebih luas, karena meliputi sekitar 21 negara dan 101 lembaga gereja tingkat nasional. Kita mengadopsi apa yang sudah dilakukan di PGI, memberikan sosialisasi, pemahaman tentang AIDS dan mendorong gereja untuk berkarya mencegah, menaggulangi HIV/AIDS dan memberikan pendampingan bagi mereka yang terkena AIDS. Dari tingkat CCA kami mendorong kerja sama dilanjutkan pada tataran interfaith (lintas iman). Dan di CCA kemudian terbentuk AINA (Asian Interfaith Network On Aids), Komite lintas iman untuk pendampingan AIDS, mulanya terbentuk di Thailand, India, Indonesia. Di Indonesia perwujudan AINA adalah pembentukan INTERNA (Indonesian Interfaith Network on AIDS), yang dirintis bersama Pdt. Gomar Gultom dan rekan-rekan dari NU dan Muhamadiyah. Kerja sama lintas iman untuk AIDS yang mulanya baru diinisiasi beberapa anggota CCA, kemudian berkembang ke Kamboja, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, Korea Selatan dan Singapura.

Tantangan yang dihadapi Alphinus di tingkat nasional maupun Asia pada dasarnya sama. Gereja-gereja dan masyarakat umum terbelah pandangannya tentang bagaimana menanggapi para penderita AIDS. “Dari pihak gereja, sering muncul statement: kalian orang-orang berdosa harus segera bertobat, sementara di pihak lain, bagi para penderita, aktivis kemanusiaan dan keluarga penderita: kalian tidak peduli terhadap mereka, berarti kalian yg berdosa,”tutur Alphinus. 

Maka Alphinus dan tim berusaha mempertemukan pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk duduk dalam satu meja. “Kita berhasil mempertemukan mereka duduk satu meja, memberi mereka kesempatan saling berdiskusi dan berdebat,”katanya lebih lanjut. “Baru setelah itu kita berikan penjelasan dan memberikan pemahaman. Masalah AIDS adalah masalah kita bersama, mari kita berupaya bersama-sama menanganinya.” 

 

Berkarya di Tengah Masyarakat Asmat

Selesai tugas pelayanan dari Chiang Mai, kebetulan ada tugas baru dari PGI. Ada kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Asmat, Papua. Sebagai lembaga gereja nasional, PGI harus terlibat dan mengidentifikasi bantuan pelayanan yang bisa dikerjakan di sana. Sebagai orang lapangan yang sudah terbukti setia dan penuh semangat, PGI mengutus dr. Alphinus Kambodji. 

Sebagai langkah awal, Alphinus diberikan waktu satu bulan untuk identifikasi masalah. Bukan hanya melakukan survei, di Asmat ia juga melakukan berbagai langkah intervensi dalam kapasitasnya sebagai dokter dan penyuluh. Kemudian ia pulang ke Jakarta untuk menyusun laporan. Ia kemudian menyusun konsep dan masukan apa yang bisa dilakukan dalam jangka waktu satu tahun. Sekretaris Umum PGI (waktu itu), Pdt. Gomar Gultom mengatakan: “kamu yang menyusun konsep, maka kamu yang paling tepat mengerjakannya di sana.”  Sebagai seorang pelayan yang senantiasa siap diutus Alphinus pun menyanggupinya. 

Setelah mempersiapkan diri, berangkat Alphinus kembali ke Asmat.  Sesampai di Agasts, ia melaporkan diri sebagai utusan PGI ke pihak pemerintah daerah. Kebetulan Bupati di sana adalah seniornya di GMKI. Di Kabupaten Asmat, Alphinus ditempatkan pemerintah setempat di Puskesmas Atsj, yang jaraknya kira-kira dua jam dari Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Untuk ke sana mesti ditempuh dengan alat transportasi sungai. “Saya menjadi dokter di Puskesmas tersebut, karena memang tidak ada dokter di Puskesmas tersebut. Selanjutnya saya menerapkan program-program yang telah saya susun dalam rekomendasi kepada PGI, untuk memperbaiki gizi buruk maupun pencegahan campak,”terang Alphinus. 

Yang utama dilakukan Alphinus di Atjs adalah memotivasi dan mendorong masyarakat agar memiliki healthy behaviour (kebiasaan kesehatan) yang baik. Banyak orang di sana belum memiliki kesadaran tinggi tentang pemeriksaan kesehatan maupun gaya hidup sehat. “Banyak orang baru ke Puskesmas kalau sudah benar-benar parah,”katanya. “Ada pula praktik tradisional yang secara nalar sebenarnya susah dibenarkan, tapi masih dipercaya masyarakat. Misal, jika seseorang sakit kepala, maka pada dahi mereka toreh dengan pisau, kemudian ditutup dengan ramuan. Ini dilakukan bukan hanya pada orang dewasa, namun juga sampai bayi. Ketika tidak sembuh juga baru mereka ke dokter.”

Setelah jangka waktu satu Pemda Asmat meminta kepada PGI agar masa pelayanan dr. Alphinus Kambodji diperpanjang. PGI menanggapi dengan mempersilakan Pemda berkomunikasi dengan dr. Kambodji, namun biaya hidup ditanggung oleh Pemda. Alphinus sendiri tidak berkeberatan. “Saya berprinsip di manapun Tuhan tempatkan kita harus melayani-Nya dengan baik,”katanya. Alphinus tidak pernah mempermasalahkan fasilitas yang diterimanya ketika melayani. “Meskipun saya seorang dokter, saya tidak pernah  menganggap sebagai masalah penempatan di pedalaman. Karena masa kecil saya toh juga di kampung. Ketika berkarya di CCA saya juga sering meninjau program-program CCA di desa-desa di berbagai negara,”tuturnya. 

Yang unik, sepanjang karya pelayanan Alphinus Kambodji, ia belum pernah bekerja sekota dengan tempat tinggalnya. Dari mulai menikah hingga hari ini, istri dan anak-anaknya tetap di Malang. Sedari awal, istrinya, yang merupakan yuniornya di GMKI Malang, sudah siap mendukung pilihan pelayanan Alphinus Kambodji. Meskipun berjauhan kota, setiap hari Alphinus menyempatkan diri untuk menelpon dan menghubungi keluarganya. “Jika ada waktu yang cocok, kami sering mengadakan liburan bersama, bertemu di suatu kota, sesudah itu di bandara berpisah kembali ke tempat masing-masing, “katanya. 


Semestinya Alphinus Kambodji menjalani pelayanan di Asmat hingga bulan Maret 2020. Namun pada 17 Januari 2020 ia dihubungi Ketua Yayasan RS PGI Cikini dan Ketua Umum PGI untuk pulang ke Jakarta. Ia diminta membantu pelayanan di RS PGI Cikini. Mula-mula sebagai Pelaksana Tugas Direktur RS PGI Cikini. Padahal sebelumnya ia belum pernah berkarya di rumah sakit tersebut. Jadilah dari dokter Puskesmas di pedalaman Papua, Alphinus beradaptasi cepat menjadi pimpinan Rumah Sakit besar di Ibukota. 

“Kalau dikatakan perasaan terkejut pasti ada, saya tidak pernah bermimpi untuk melayani di sini. Namun semua pasti ada proses, saya berusaha belajar menyesuaikan diri dan menganalisa prioritas-prioritas pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya bersyukur bahwa segenap civitas rumah sakit, yayasan hingga PGI mendukung pelayanan saya dan itu menjadi modal yang baik untuk kami berjalan bersama dan saling menopang,”tuturnya. 

Bagi Alphinus kuncinya dalam memimpin adalah semangat  melayani. “ Kita jangan membedakan-bedakan orang, saya tidak memandang diri saya sebagai pimpinan, tapi saya memposisikan diri sebagai sesama rekan sekerja. Saya berkomunikasi dan menyapa setiap orang dan mencoba mencari tahu apa inti persoalannya dan mencari solusi bersama-sama,”terangnya lebih lanjut. 

Tidak lama menjabat datang tantangan yang baru. Maret 2020, pandemi Covid-19 mulai muncul di Indonesia. “ Tanggal 3 Maret 2020  sudah mulai ada pasien yang dirawat di sini. Tapi sebenernya persiapan untuk menghadapi pandemi ini sudah dilakukan jauh sejak bulan Januari, setelah ada sosialisasi dari Kementerian Kesehatan mengenai penyakit Corona dan bagaimana langkah awal menghadapinya. “Meski kita sudah menyiapkan tim, jika pandemi menyebar, awalnya kita belum tahu secara lengkap penyakit apakah ini. Semua orang asing dengan pandemi baru in. Tapi semua orang pelan-pelan harus belajar.”

Sebagai orang yang pernah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan berbagai lembaga pelayanan, Alphinus termasuk orang yang senang membaca. Salah satu bacaan favoritnya adalah Alkitab. Baginya Alkitab adalah pedoman hidup yang paling utama. Meskipun kedua orang tuanya pendeta, Alphinus lebih banyak mengingat berbagai kisah-kisah menarik Alkitab dari Sekolah Minggu. “Saya sangat menghargai guru-guru Sekolah Minggu yang mengajar kita untuk mencintai Alkitab, salah satunya dulu melalui ayat-ayat hafalan. Banyak dari ayat hafalan itu yang masih melekat di ingatan saya,”katanya. Yang unik, sebagai orang yang pernah berkeliling ke berbagai negara, Alphinus mengoleksi Alkitab dari berbagai negara yang dikunjunginya. Tapi salah satu miliknya yang dianggapnya paling berharga adalah Alkitab Bahasa Pamona (1931) yang ia dapatkan dari kakeknya, yang juga merupakan seorang pendeta. 

Di luar kegiatan sebagai Direktur Rumah Sakit PGI, Alphinus sekarang masih aktif dan dipercaya PGI sebagai Ketua Kelompok Kerja HIV/AIDS dan Disabilitas. Ia memandang gereja-gereja sering kali mengajak orang peduli disabilitas tapi tanpa aksi nyata dan hanya berhenti pada khotbah. Alphinus juga masih menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional YMCA Indonesia. Dan yang terkini, terlibat di dalam KOMPAK: Komunitas Masyarakat Peduli Adat dan Kebudayaan, bersama rekan-rekannya sesama orang Mori. Salah satu rencana terdekatnya adalah menerjemahkan Kidung Jemaat secara resmi ke dalam bahasa Mori. Nantinya jika penerjemahan tersebut sudah selesai, rencananya akan digabungkan dan diterbitkan bersama Alkitab Bahasa Mori yang sudah selesai diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Alkitab Bahasa Mori yang dikoordinir LAI. 

Jika masih ada “sedikit” penyesalan di hatinya adalah ia tidak sempat mengambil pendidikan spesialis dokter ketika kesempatan berkali-kali terbuka untuknya. Waktu itu ia memang terfokus dalam penelitian dan pencegahan bersama AIDS baik di Surabaya maupun tingkat nasional. Namun, setiap mengingat bahwa ia memiliki keluarga yang berbahagia dan tidak berkekurangan penyesalan itu pupus dengan sendirinya. 

Perjalan hidup mengajarkannya banyak hal. Ia mengajak setiap orang percaya untuk menjalani hidup dengan penuh syukur sesuai dengan berkat Tuhan yang diberikan kepada kita masing-masing. Ia meyakini kalau kita sudah memberikan pelayanan yang terbaik kepada Tuhan, maka Tuhan tidak akan pernah menelantarkannya. Meskipun ia tidak pernah menjadi mahasiswa teologi di STT Indonesia Timur, di Makassar, sebagai anak dosen dan tinggal di komplek STT tersebut ia hafal benar lagu himne perguruan tinggi tersebut. Di telinganya senantiasa terngiang: di mana tuhan panggil, aku di sana di hadiratNya.

Maka kalau diberikan umur panjang, Alphinus Kambodji tetap ingin mengabdi untuk kemanusiaan dan berharap menjadi teladan dalam hidup dan pelayanan bagi generasi yang lebih muda. “Kita tidak akan mewariskan harta atau dana, tapi nilai-nilai kebaikan.” Terngingang ucapan Kristus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40). Alphinus Kambodji telah memberikan contoh persembahan terbaiknya bagi Tuhan. Apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan?