Dr. Jarot Wijanarko: Mendidik Anak dengan Hati

Dr. Jarot Wijanarko: Mendidik Anak dengan Hati

 

Waktu kecil, kalau guru bertanya tentang cita-cita saya katakana mau menjadi Presiden. Sewaktu masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak, orang tua saya pernah bertanya tentang cita-cita saya kalau sudah besar. Saya selalu katakan saya ingin menjadi Presiden, karena saya mengagumi sosok Bung Karno, Presiden pertama Indonesia. Saya mengagumi Bung Karno sebagai sosok yang pintar, karena beliau seorang insinyur. 

 

Menjadi Pelajar Teladan Kota

Kedua orang tua saya adalah berkarya sebagai guru dan pendidik. Saya melihat mereka sebagai sosok yang saya hormati, meskipun sebagai manusia tentu tidak sempurna dan banyak kesalahan. Yang terutama saya warisi dari mereka adalah keteladanan hidup. Satunya kata dengan perbuatan. Bapak dan ibu saya merupakan guru teladan di Kota Solo. Nantinya Bapak melanjutkan karir sebagai seorang penilik sekolah sementara ibu saya menjadi Kepala Sekolah SD. Dari kecil saya diajarkan bagaimana berjuang meraih prestasi (spirit of excellent). Di tangkat SMP maupun SMA saya selalu meraih juara 1 di sekolah. Hingga saya mewakili SMA saya dalam perlombaan pelajar teladan sekota Solo dan berhasil meraih juara pertama. Setelah itu saya dikirim mewakili Kota Solo dalam pertandingan pelajar teladan se-Jawa Tengah, namun di tingkat provinsi saya tidak meraih gelar juara. 

Meskipun kedua orang tua saya berprestasi dan memiliki jabatan dalam karirnya, mereka senantiasa hidup lurus. Zaman itu ada sebuah lagu terkenal dari Iwan Fals: Oemar Bakrie, yang menceritakan sosok guru yang jujur mengabdi berbekal sepeda kumbang. Karena kejujurannya sehingga tidak punya harta, rumah bahkan susu untuk anak pun tidak terbeli. Saya melihat kesederhanaan orang tua saya demikian pula. Namun, itu justru menjadi hal yang paling saya kagumi dari orang tua saya, yaitu kelurusan hidup. Di luar karya sebagai guru, bapak saya dikenal sebagai seorang penatua di Gereja. Ia menjalankan pelayanannya juga dengan penuh ketekunan. 

Lepas dari bangku SMA, saya diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur tanpa tes (Penelusuran Minat dan Kemampuan/PMDK). Sebenarnya hingga lulus SMA bahkan sampai di bangku kuliah saya tidak mengenal diri saya secara pribadi, keunikan dan bakat saya. Memang saya ingin menjadi seperti Bung Karno, tapi sekadar dalam pernyataan mulut belaka. Di IPB saya menekuni ilmu Teknologi Pangan, salah satu jurusan favorit di IPB. 

Menjelang saya lulus SMA, saya bertobat dan mengakui Kristus sebagai Juruselamat saya pribadi. Begitu masuk dan menjalani kuliah di IPB, saya pun bergabung dengan PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB dan aktif dalam pelayanan persekutuan baik di kampus IPB di Baranangsiang dan kemudian di kampus baru di daerah Dramaga. Tahun kedua saya di IPB saya sudah mulai mengajar Sekolah Minggu di gereja. 

 

Dilarang Menjadi Pendeta

Pada masa-masa awal saya masuk kuliah tersebut, sedang santer-santernya angin pengajaran tentang zaman akhir, di mana beberapa pengkhotbah menyatakan pada tahun 2000 akan ada kiamat. Ada yang bahkan memajukan perhitungan menjadi tahun 1998. Sempat saya percaya dan berpikir, jika kiamat segera datang maka sia-sia saya kuliah dengan tekun. Saya merasa lebih baik menjadi seorang pendeta dan berjuang mewartakan Kabar Baik. Akhirnya saya memutuskan belajar dan mendalami teologi. Jadi sembari berkuliah di IPB, saya belajar teologi. Keinginan saya untuk menjadi pendeta begitu kuat, sehingga saya anggap kuliah di IPB hanya sebagai sambilan dan yang penting selesai. 

Sempat saya pulang ke Solo dan menghadap Ibu saya sambil menyatakan ingin keluar dari kuliah di IPB dan masuk sekolah pendeta. Ibu saya kaget dan menangis. Beliau menganggap keputusan saya hanya didasari emosi belaka. Ibu saya menegaskan,”Kalau setelah kamu meraih gelar insinyur ternyata masih ingin jadi pendeta, berarti itu memang panggilan.” Akhirnya saya giat menyelesaikan kuliah saya hanya untuk memberikan gelar kepada ibu saya. Ibu saya lega anaknya menyelesaikan kuliah. Setelah lulus semangat pelayanan saya tidak kendor namun malah semakin kuat untuk melayani Tuhan. 

Nah, ternyata kisah selanjutnya juga unik. Calon mertua saya kebetulan adalah gembala sidang. Begitu saya dan calon istri mulai serius dan bertunangan, mertua saya malah menyarankan agar saya tidak usah menjadi pendeta. Dalam hati saya sempat tertawa dan berkata, saya memacari anaknya agar bisa menjadi pendeta, sekarang beliau malah melarang saya menjadi pendeta. Tetapi dengan bijak beliau berkata: “Kalau memang panggilan pasti akan terjadi, Jadi kamu kerja dulu, menjadi orang sukses setelah itu kalau memang masih ingin menjadi pendeta barulah itu memang panggilan.”Wah, ternyata syaratnya bertambah. 

Maka, selepas lulus kuliah saya sempat bekerja sesuai dengan latar belakang keilmuan saya yaitu di perusahaan makanan, sebuah perusahaan Amerika yang ada di Indonesia. Ya, saya harus bersemangat, karena kalau tidak berhasil dan sukses tidak bisa menikahi calon istri. Padahal awalnya saya kerja sekadar hanya supaya bisa cukup untuk makan, di luar itu saya ingin melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Tapi jalan kehidupan saya kelihatannya kemudian ditata oleh Tuhan dan ditetapkan dengan cara yang unik selangkah demi selangkah. 

Pekerjaan di pabrik makanan sesungguhnya sesuai benar dengan yang saya pelajari selama kuliah. Tapi jujur, saya merasa tidak bahagia. Saya malah stress. Karena pekerjaan itu tidak cocok dengan kepribadian atau personality saya. Ternyata bekerja di pabrik menimbulkan kebosanan bagi saya yang bertipe sanguine. Saya merasa tidak cocok bekerja di satu tempat yang sama terus menerus. Maka saya pun pindah kerja ke PT Astra International. Di Astra bagi setiap karyawan baru diberlakukan asesmen karyawan yang lebih lengkap, baik temperamen dasar, foto karakter/ DISC, sampai tes personality. Saya kemudian ditempatkan di tempat yang menurut saya sangat tepat yaitu di Bussiness & Product Development di bagian Astra Export. 

Di Astra, setiap tahunnya saya bisa empat kali mengadakan perjalanan dinas keluar negeri. Setiap perjalanannya bisa mengunjungi 3-4 negara. Pulang dinas dari luar negeri bisa kemudian langsung berkeliling Indonesia mencari supplier di Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya. Nah, pekerjaan ini sebenarnya sangat cocok dengan kepribadian saya. Saya begitu bahagia sehingga antusias bekerja. Karena antusias saya mampu meraih prestasi maksimal. Saya belajar banyak dari Astra. Makin hari semakin banyak hal yang saya kuasai. Hingga akhirnya dengan penuh keyakinan pada 1992 saya keluar dari Astra dan kemudian merintis sebuah perusaan yang memiliki tipe dan bentuk usaha persis seperti yang saya lakukan di Astra yaitu trading untuk eksport. Obsesi awal saya waktu itu jelas meningkatkan pendapatan atau menjadi lebih kaya. Selain karena bisnis ekspor memiliki peluang yang besar, saya memiliki kebebasan waktu sebagai pemilik usaha yang bisa mengatur waktu saya sendiri. Sebagai seorang multitalent dan multitasking, kepadatan pekerjaan yang bagi orang lain sibuk bagi saya terkadang masih kurang sibuk. Saya merasa ada satu lagi sisi yang belum tereskplor dengan maksimal dari diri saya, yaitu kecerdasan sosial spiritual, yangt arti praktisnya adalah melayani Tuhan. Niat utama melayani Tuhan itulah yang sebenarnya menggerakkan saya keluar dari pekerjaan dan merintis usaha sendiri agar bisa lebih memiliki kebebasan waktu. 

Waktu saya keluar dari Astra banyak teman maupun keluarga menyayangkan, karena menganggap karir saya waktu itu sedang melesat. Saya sampaikan kepada istri saya, demikian,”Mumpung kita belum memiliki anak, beban rumah tangga belum tinggi. Jadi saya bisa mencoba berwirausaha. Kalaupun gagal saya masih memiliki kesempatan untuk kembali mencari kerja.” Saya semakin yakin karena waktu itu gaji istri saya sudah cukup tinggi. 

Tahun 1992 saya merintis dan mengembangkan perusahaan bernama IFA (Indonesian Footware Agency).Perusahaan kami fokus 100 % untuk melayani eksport. Tuhan memberkati perusahaan kami dengan luar biasa. Tiap bulan puluhan kontainer dengan nilai milyaran kami kirimkan ke luar negeri. Tahun 1995 ketika saya merasa telah memiliki kebebasan finansial dan waktu, saya membuka usaha yang baru, yang bergerak di bidang pendidikan. 

 

Membangun Happy Holy Kids

Sebelum 1995 tersebut, kalau boleh disebutkan saya telah 12 tahun menjadi Guru Sekolah Minggu yang berani meneriakkan visi  bahwa melalui Sekolah Minggu saya membentuk karakter Kristus sejak dini. Tetapi makin lama saya merasa berpikir seperti seorang yang munafik. Saya hanya bertemu dengan anak-anak Sekolah Minggu seminggu sekali namun berani menyatakan mewarnai karakter mereka. Memang pada masa itu belum ada gadget, namun media televisi dan VCD membombardir kehidupan anak-anak Tuhan. Sebuah penelitian pada masa itu menyatakan 4-8 jam sehari anak-anak berinteraksi dengan media. Jika waktu istirahat 8 jam, 8 jam lainnya dibagi untuk berbagai kegiatan yang lainnya termasuk sekolah, pergaulan, makan, minum hingga kerohanian. Jadi siapa yang sebenarnya mewarnai kehidupan anak, Guru Sekolah Minggu ataukah media?

Sejak itu saya merasa untuk dapat mewarnai hidup anak-anak perlu ada waktu interaksi lebih setiap harinya. Akhirnya terbayang untuk membuka sebuah sekolah setingkat TK dan Play Group sebagai perintisan pelayanan. Nama sekolahnya Happy Holy Kids. Nama itu saya yang pilih. Saya ingin punya anak yang happy-happy namun juga holy. Konsep ini saya bawa ke Happy Holy Kids. Anak-anak yang bahagia dan penuh sukacita namun juga takut kepada Tuhan. Anak penuh keceriaan namun kudus. Guru-guru di Happy Holy Kids bukan sekadar mengajar namun mendidik anak dengan hati. 

Mulanya saya mengembangkan Happy Holy Kids bekerja sama dengan istri saya. Saya mengembangkan Happy Holy Kids dengan dibantu istri sekitar tiga tahun dari 1995-1998. Dari mulanya satu sekolah di Bintaro akhirnya berkembang menjadi 8 sekolah. Lalu saya berpindah mengembangkan sisi bisnis dari Happy Holy Kids, sementara istri yang melanjutkan mengembangkan sekolah. Istri saya akhirnya mantap keluar dari perusahaannya dan fokus menangani Sekolah Happy Holy Kids. 

Istri membentuk tim untuk mengembangkan kurikulum yang baku supaya 8 cabang yang sudah ada tersebut selanjutnya bisa di-sfranchise-kan. Tim pendidikan yang kita bangun boleh dikatakan cukup kuat. Ada belasan tenaga kurikulum dan pengajar yang berlatar belakang pendidikan strata 2 (magister). Ada juga anggota tim pengembangan kurikulum yang kita sekolahkan hingga jenjang doktoral, yaitu Pak Rully. Istri saya dan saya sendiri juga merupakan doktor dalam ilmu pendidikan. Anggota tim kami bahkan juga merupakan anggota tim PAUD Nasional, yang membantu Kemendikbud untuk menyusun kurikulum PAUD Nasional. 

Di dalam kurikulum Happy Holy Kids dan TK Pemulihan kami selipkan banyak sekali program keluar kelas. Misalnya kita mau belajar soal makanan, kita ajak anak-anak pergi ke restoran atau pabrik roti. Lalu anak dibawa ke dapur melihat bagaimana mereka masak. Lalu pas temanya mengenai tema  makanan, mereka pergi ke sawah untuk menceritakan bagaimana padi itu ditanam, hingga akhirnya menjadi beras. Berbicara tema kendaraan, anak-anak kita bawa ke stasiun. Temanya kesehatan kaita bawa anak-anak ke rumah sakit. Sekolah Happy Holy Kids adalah sekolah yang memiliki banyak aktivitas luar ruangan. Bahkan di salah satu cabang, di Pondok Indah, kunjungan ke berbagai tempat itu bisa dilaksanakan dua minggu sekali. Tentu semua dilakukan sebelum masa pandemi. 

Setiap tahun tim kami juga menyelenggarakan training untuk para pengajar di Sekolah Happy Holy Kids. Namun di era pandemi seperti sekarang malah hampir setiap bulan diselenggarakan pelatihan. Bagi Sekolah-sekolah Pemulihan di pedalaman, setiap tahun diupayakan ada retret. Guru-guru Sekolah Happy Holy Kids tak jarang juga bermisi ke berbagai pelosok Nusantara, mengunjungi sekolah-sekolah pemulihan. Di sana mereka juga membantu penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Pemulihan dan menolong pengembangan Sekolah-sekolah di pedalaman. Bagaimanapun Sekolah Pemulihan di daerah menggunakan kurikulum yang mirip dengan Sekolah Happy Holy Kids dalam versi yang lebih murah. Jika di perkotaan orang tua siswa bersedia membayar lumayan untuk menyekolahkan anaknya di Happy Holy Kids, di pedalaman Sekolah Pemulihan tidak melakukan paksaan dalam biaya SPP siswa. Ada yang per bulan 5.000 atau 10.000 rupiah, namun banyak pula yang gratis. Tergantung situasi dan kondisi di desa masing-masing. 

Lima tahun belakangan ini konsentrasi dukungan kami dalam mengembangkan Sekolah Pemulihan adalah di daerah Mentawai. Khusus di Mentawai kini ada 30 cabang baru yang kita rintis, damping dan kembangkan. Dengan berkonsentrasi di suatu wilayah khusus, penyelenggaraan berbagai pelatihan dan pembinaan menjadi lebih efektif dan terkonsentrasi.  

Pendeknya, perjalanan hidup memberi saya pemikiran bahwa pertobatan dan memperkenalkan jiwa-jiwa kepada Kristus harus dimulai sejak usia dini. Kita tidak bisa memperkenalkan Kristus sambil lalu dan berharap anak memahami secara otomatis. Anak-anak mememerlukan teladan dan contoh. Mereka peka ketika kita membimbing dan mendidik mereka dengan hati dan bukan sekadar otak. 

 

Antara Iman dan Agama

Di berbagai tempat di Indonesaia, di kantong-kantong kekristenan, iman Kristen berubah menjadi sekadar agama atau budaya. Kekristenan bukan sekadar agama karena orang yang dilahirkan kembali memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Hubungan pribadi itulah yang mengubah hidupnya. Seperti di Tesalonika ketika orang-orang berubah hidupnya setelah menerima Kristus. Namun ratusan tahun kemudian, orang-orang tersebut beranak cucu dan kekristenan berkembang dalam jumlah, semakin melembaga, namun menjadi sekadar agama turun-temurun tanpa perubahan hidup, tanpa kelahiran baru. 

Pernah ada joke dari seorang teman sewaktu di Sumatra Utara “Pak Jarot, kalau orang sini mau cari tuak caranya agar tidak terlalu kentara dan biar sopan, kita tinggal bertanya gereja di mana ya? Karena di sekitarnya biasanya pasti ada orang jual tuak.

Solusinya menurut saya kita harus membawa kekristenan ini kembali kepada nilai kekristenan original. Mengikuti dan meniru cara hidup dan gaya hidup Yesus Kristus. Hal ini juga yang kami tekankan di Sekolah Happy Holy Kids. Agar sedari kecil mereka diperkenalkan dengan Penciptanya dan mengalami kelahiran baru di dalam Kristus. Intinya membentuk karakter Kristus sejak usia dini. 

Berikutnya adalah tantangan orang tua saat ini yang hidup di tengah perkembangan digital yang begitu pesat. Menurut saya orang tua harus melek gadget, anaknya memiliki alamat facebook atau Instagram orang tuanya sebaiknya jangan ketinggalan. Minimal nge-follow anaknya. Tidak perlu kita mengomentari status anak kita di media sosial, cukup memantaunya. Anak-anak milenial memang cerdas, namun soal nilai moral orang tua harus tegas. Soal mode atau gaya, orang tua tidak perlu terlalu keras. 

 

Menghadapi New Morality dan New Age Movement

Tantangan orang tua sekarang dalam mendidik anak-anak sesungguhnya adalah menghadapi new morality dan new age movement (Gerakan Zaman Baru). Para pengikut new age movement misalnya, mereka adalah orang-orang yang taat membayar pajak, anti korupsi, berbuat baik kepada sesama, mencintai lingkungan hidup. Namun, banyak dari mereka tidak mempercayai Tuhan. Mereka juga mencintai sesama manusia, namun memaklumi hubungan sesama jenis. Tantangan gereja ke depan adalah melawan kebaikan dengan kebaikan yang lebih besar. Dalam pandangan saya kalau gereja sebagai agen kebenaran dan kebaikan menghadapi kejahatan tentu mudah. Namun, menghadapi nilai-nilai baru dari para pendukung new age movement gereja harus memahami kebenaran firman Tuhan dengan baik. 

Nah, orangtua kalau tidak melek gadget, tidak pernah masuk ke internet dan medsos tidak akan mengerti dunia sekarang seperti apa. Kita menjadi kurang waspada kepada budaya-budaya yang mempengaruhi kehidupan anak-anak kita, dan bagaimana pengaruhnya kepada mereka. Kita tidak mungkin mengikuti kemampuan anak-anak dalam memahami teknologi, tapi paling tidak kita bisa mendapatkan informasi secara lengkap dan benar. Tanpa informasi yang benar kita bisa salah persepsi dan salah pendekatan dalam mendampingi anak-anak kita. Dengan memahami teknologi, orang tua bisa belajar menerapkan nilai-nilai firman Tuhan dengan lebih tepat. Karena batasan antara boleh dan tidak boleh, dosa dan tidak dosa hanyalah Firman Tuhan. 

Banyak orang bertanya, di manapun saya berkhotbah, membawakan seminar, ataupun dalam tulisan selalu penuh keyakinan dan sukacita. Pak Jarot tidak pernah punya masalah karena tertawa terus. Saat ini memang boleh jadi saya memiliki tempat tinggal yang luas di sebuah daerah yang cukup mahal. Namun orang mungkin tidak pernah tahu bahwa saya dan istri mulai membangun karir di akhir 80-an, dari sebuah rumah petak, berukuran 6x6 meter persegi, di dekat sebuah kuburan di Kuningan, Jakarta. Kami tinggal berdampingan dengan tukang sapu, tukang bakso dan pedagang lainnya. Pada masa itu, kalau kami ingin mengontrak rumah yang layak huni, setahun membutuhkan 15 juta rupiah. Saya dan istri memutuskan mengontrak di rumah petak yang biayanya 450 ribu rupiah per enam bulan, agar kami bisa menabung. Dalam tiga tahun tabungan bisa untuk uang muka pembelian rumah. 

Sewaktu saya keluar dari Astra dan merintis usaha saya berkongsi dengan teman-teman yang sama-sama miskin. Modal kami hanya kejujuran. Kejujuran itu membuat banyak orang mau menanamkan modal kepada kami. Kami memulai hidup dan usaha benar-benar dari bawah hingga usaha mencapai asset milyaran. Apakah segalanya mulus tanpa masalah? Tentu saja tidak pernah ada cerita seperti itu. Banyak sekali kesaksian namun ceritanya pasti akan panjang. Kami pernah mengalami banyak masalah, pernah bangkrut, pernah tertipu, pernah mengalami musibah kebakaran. 

Pengalaman pengasuhan anak yang mungkin bisa jadi pelajaran bersama adalah, anak saya nomor dua saat kelas satu SD pernah nyaris tidak naik kelas. Saya dipanggil oleh pihak sekolah, diberi penjelasan bahwa nilai anak saya dalam kisaran 4, 5, dan 6. Setiap diajak komunikasi dengan guru tidak menoleh, tidak ada komunikasi  mata. Sebabnya ternyata karena game addictive (Kecanduan main game). Jadi saya pernah punya pengalaman jadi bapak yang tidak baik, istri saya juga. Karena kami terlalu sibuk bekerja dan pelayanan sampai anak kami kecanduan game dan mengalami masalah konsentrasi. Terutama anak saya mengalami kesulitan belajar menulis. Tulisannya tidak jelas, susah dibaca. Di saat yang hampir sama, anak saya yang pertama dilaporkan gurunya karena menggigit temannya. 

 

Belajar Tidak Khawatir

Pada 2019 perusahaan saya merugi sekitar 140 M lebih dan pada 2021 mengalami kerugian lagi 120 M, semua saldo tabungan kami habis. Perusahaan kami kalah bersaing dengan sistem online. Dalam dua tahun ratusan milyar habis, hutang masih 17 M. Cincin emas yang dimiliki oleh istri saya habis semuanya. Mengapa sekarang saya sibuk melukis? Karena untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, karena tidak ada lagi saldo tersedia. Tapi bagi saya persoalan uang bukan persoalan yang terlalu penting, karena Tuhan pasti akan selalu memelihara kehidupan kita. 

Ketika perusahaan kami harus tutup, kami harus mem-PHK sekitar 300-an pegawai yang berada di berbagai posisi. Dibutuhkan dana lebih dari 20 M untuk memberi pesangon mereka. Saya harus memenuhi tanggung jawab saya kepada para karyawan. Jangan sampai suatu ketika saya berkhotbah di Bogor atau Bandung ada orang yang berteriak di tengah khotbah: Pak Jarot belum bayar hak saya! Karena semua saldo tabungan habis, untuk menyelesaikan kuliah anak saya yang paling kecil, saya jual mobil saya. 

Syukur kepada Tuhan, anak-anak sudah menyelesaikan pendidikan dan hidupnya diberkati Tuhan. Mereka kini menyatakan siap menopang pelayanan saya. Jadi meski perusahaan saya bangkrut, kegiatan pelayanan saya tidak pernah berhenti. Kini bahkan Tuhan sediakan berkat baru melalui lukisan-lukisan yang bisa saya jual. Yang utama kami cukup hidup dari bulan ke bulan. Kami menyadari penyertaan Tuhan tidak pernah berhenti. Tuhan Allah kita adalah Allah yang hidup. 

Jadi kita tidak perlu khawatir dengan permasalahan yang kita hadapi setiap hari. Kalau punya masalah berarti tandanya masih hidup. Di balik setiap masalah yang kita hadapi Tuhan mempersiapkan berkat-berkat yang tidak terduga kepada kita. Ada cerita, ketika saya bangkrut banyak orang bertanya apa benar Pak Jarot bisa bangkrut. Mereka masih melihat saya tertawa, penuh sukacita dan antusias. Bahkan di media sosial saya membagikan postingan membangun sekolah di pedalaman. Benar, bahwa saya memiliki masalah, usaha saya harus bangkrut. Tapi Tuhan tetap menolong pelayanan saya melalui anak-anak saya yang sekarang ikut mendukung pembangunan sekolah-sekolah di pedalaman. 

Relasi antara kami sebagai orangtua dengan anak-anak kami bagi saya adalah relasi roh. Bukan secara jasmani karena mereka lahir dari keturunan saya, tapi mereka kami lahirbarukan. Ternyata rasa hormat mereka kepada kami sebanding dengan pengertian mereka akan kekekalan. Seiring dengan pertumbuhan keyakinan mereka kepada Kristus, iman mereka semakin bertumbuh. Iman yang datang dari pendengaran akan firman. Merenungkan firman perlu diterapkan dan menjadi pengalaman hidup sehari-hari. Pengalaman tanpa firman bisa kacau dan sesat. Melalui pengalaman sehari-hari kita bisa meyakini bahwa mujizat Tuhan senantiasa ada dan menyertai kehidupan kita. 

 

Tuhan Selalu Ada dan Terus Bekerja

Saya percaya bahwa Tuhan ada, maka mujizat-Nya pun masih tetap ada dan bekerja dengan berbagai cara. Tidak selalu melalui hal-hal besar, namun juga melalui hal-hal yang terjadi setiap hari. Ambil contoh peristiwa berikut, usaha saya bangkrut. Suatu hari laptop istri saya rusak. Dulu hal ini bukan sesuatu yang rumit. Tetapi sekarang lain. Tak disangka seorang rekan pendeta dari Tanjung Pinang menelpon saya dan mengajak bertemu di airport. Ketika kami bertemu, dia berkata,”Mas saya digerakkan Tuhan untuk membelikan laptop buat Mas Jarot. Maaf ini bukan karena saya kasihan sama Mas Jarot.” Laptop itu ternyata adalah laptop baru yang dibelinya dari Singapura. Dan kejadiannya bertepatan dengan laptop istri saya rusak. 

Ada cerita lain lagi, seorang pengusaha kaya di Jakarta berniat membeli lukisan saya. Saya tawarkan harga 15 juta, padahal dia sudah mempersiapkan uang 100 juta. Dalam hati saya, waduh salah harga nih. Namun, ada berkat lain. Sejak hari itu sampai sekarang, sudah hampir setahun, setiap minggu pengusaha tersebut mengirim buah import, buah naga dari China yang warnanya ungu, pir dari Australia, dan buah-buahan lain. Kulkas saya tidak pernah kosong. Dia juga memberi oleh-oleh saya cat minyak dari Italia, ketika saya memerlukannya untuk bahan melukis. Jika dihitung-hitung yang dia berikan nilainya mungkin sudah melebihi 100 juta rupiah. 

Jadi mukjizat itu masih ada dalam bentuknya sendiri-sendiri. Saya sebenarnya adalah orang yang sangat mengandalkan logika, tidak mudah percaya hal-hal yang tidak logis. Tapi misal terjadi suatu hal yang saya belum bisa memercayainya saya tidak akan menentangnya. Anak-anak saya belajar beriman dari hal yang terkecil, seperti memohon hari tidak hujan, berdoa agar mendapatkan tempat parkir di mall dan sebagainya. Bagi mereka mendapatkan tempat parkir di mall, mendapatkan cuaca cerah adalah wujud jawaban Tuhan. Kami sebagai orang tua mendampingi perjalanan hidup mereka bagaikan sebuah tur pengalaman iman. 

Pengajaran dan teladan dari kecil juga penting dan akan selalu diingat anak-anak. Sejak usia dini saya ajarkan kepada anak-anak saya bahwa cium bibir itu hanya untuk suami istri. Tidak untuk anak. Tuhan ciptakan bibir untuk suami istri. Anak dan ibu tidak, ayah dan anak tidak. Jadi sejak usia dini, kalau cium ya pipi. Mereka mengenal pengajaran tersebut sedari kecil dan masuk ke alam bawah sadar mereka.  Maka waktu anak-anak kami dewasa, bersekolah di luar negeri, di mana anak-anak muda memandang wajar ciuman bibir, mereka tetap ingat dengan apa yang diajarkan ayah dan ibunya. 

Sejak kecil kita sudah merancang desain parenting anak-anak kami,  yaitu pengajaran berbasis nilai-nilai Alkitab, nilai-nilai firman Tuhan. Kami mengajarkan iman yang radikal dan mungkin termasuk standar moral yang radikal. Kalau hidup di Indonesia mungkin masih mudah. Tapi di tempat lain tidak selalu demikian. Seorang anak saya tinggal di Jerman. Bagi anak-anak muda di sana, umur 22 tahun masih perawan menjadi bahan ledekan. Dianggap frigid (tidak memiliki nafsu). Pada titik ini kami bersyukur. Meski kita hidup di era kebebasan tanpa batas, ketika pornografi, seks bebas dan LGBT demikian marak, kita melihat anak-anak kami tetap bertahan hidup kudus. Karena iman mereka telah bertumbuh sedari kecil, semakin lama bertumbuh, mengakar dan berbuah lebat. Dalam setiap permasalahan, meski mereka jauh dari kami orang tuanya mereka yakin bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu hidup. Dan iman mereka semakin diteguhkan melalui pengalaman dan pendengaran akan firman Tuhan. 

Meskipun harta benda kami bisa tiada dan lenyap begitu saja, kami tetap bisa bersyukur saat melihat dalam diri anak-anak kami tercermin rasa hormat dan takut akan Tuhan. Kami meyakini benar kebenaran firman Tuhan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya,”Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.” (Mazmur 23:6). Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada janji kekekalan bahwa kita semua akan tinggal di dalam rumah Tuhan sepanjang masa.