HAI BANGKIT BAGI YESUS

HAI BANGKIT BAGI YESUS

Lagu Kepahlawanan Kristen

 

Pada tahun 1858, masalah perbudakan manusia masih membayangi rakyat Amerika Serikat, bagaikan awan kabut pada hari yang mendung. Di kota-kota besar seperti Philadelphia di sebelah utara negara tersebut, tidak ada budak-budak belian yang berkulit hitam. Namun, masalah sosial itu sering juga menyebabkan perselesihan di Kota Philadelphia, karena para pedagang di sana masih ingin dapat berniaga dengan pemilik-pemilik budak yang tinggal di wilayah selatan. 

Ada seorang gembvala seidang dari suatu jemaat Gereja Episkopal di kota Philadelphia itu yang bernama Dudley Tyng. Dengan semangat yang berkobar-kobar, pendeta yang masih muda itu menentang perbudakan manusia. Hal itu tidaklah menyenangkan hati beberapa anggota gereja, sehingga pada permulaan tahun 1858, Pdt. Tyng dipecat dari jabatannya. 

Rohaniwan itu pantang mundur. Pimpinannya begitu berpengaaruh sehingga banyak anggota gerejanya juga ikut keluarga bersama-sama dia. Mereka bertekad mendirikan sebuah jemaat yang baru. Dan Dudley Tyng tetap melayani mereka sebagai gembala sidang. 

Sementara itu, kota Philadelphia mengalami suatu kebangunan rohani yang luar biasa. Pdt. Tyng menjadi salah seorang pemimpinnya. Banyak sekali orang yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jam doa yang khusus untuk kaum pria mulai diadakan pada tengah hari. Banyak pedagang dan pelayan toko rela mengorbankan waktu istirahat siangnya agar dapat hadir. 

Pada suatu hari dalam bulan Maret 1858, Pdt. Dudley Tyng membawakan Firman Tuhan pada kebaktian pada tengah hari itu. Lima ribu orang telah berkumpul dalam sebuah aula yang besar. Nas khotbahnya diambil dari KItab Perjanjian Lama: “Bukan demikian, kamu boleh pergi, tetapi hanya laki-laki, dan beribadahlah kepada TUHAN, sebab itulah yang kamu kehendaki."” (Keluaran 10:11). 

Dengan perkataan yang berapi-api, Dudley Tyng menantang para pendengarnya agar membuktikan kejantanan mereka dengan jalan ikut peperangan rohani – demi Tuhan Yang Maha Kasih, dan demi sesama manusia yang masih dikongkong oleh dosa dan kejahatan. Dari antara lima ribu pria yang mendengarkan khotbah Dudley Tyng pada hari itu, paling sedikit seribu orang bertobat.

Kecelakaan yang tak terduga

Tiga hari kemudian, Pdt. Tyng sedang sibuk belajar di kamar kerjanya. Lalu, karena merasa capai, ia keluar untuk melepas lelah sebentar. Kebetulan ada petani-petani yang sedang bekerja di lumbung jagung dekat rumahnya. Seekor bagal (keturunan kuda dengan keledai) digunakan oleh mereka untuk memutar huller biji-bijian jagung itu. 

Pdt. Tyng mengulurkan tangannya untuk menepuk leher bagal yang setia bekerja itu. Tahu-tahu lengan bajunya yang panjang itu tersangkut dalam roda mesin huller! Seketika itu juga, tangannya ikut terseret ke dalam. Ia menjerit kesakitan. Sebelum ia dapat diselamatkan, sebagian besar dari lengannya yang sebelah sudah tergiling sampai habis. 

Para dokter berusaha mengobati luka-lukanya yang parah itu. Sampai tiga kali mereka memotong sebagian dari lengannya itu, dengan harapan sisanya dapat sembuh. Tetapi semuanya sia-sia belaka. Ternyata pendeta yang masih muda itu sedang menghadapi ajalnya.
Seorang sahabat membungkukkan badannya agar dapat mendengar suara Dudley Tyng, yang sudah lemah karena luka-lukanya dank arena kehilangan darah. 

“Adakah pesan terakhir untuk saudara-saudara seiman?” tanya sahabat itu. 

“Ada,”bisiknya dengan terengah-engah. “Suruh mereka. ‘Mari kita semua bangkit berdiri bagi Yesus!”’ Dengan mengucapkan kata-kata yang demikian, berpulanglah hamba Tuhan itu.

Pesan Terakhir Menjadi Lagu Pilihan

Salah seorang di antara para sahabatnya yang sedang berdiri mengelilingi tempat pembaringan Dudley Tyng pada saat ajalnya itu adalah Pdt. George Duffield, Jr. Ia menjadi gembala sidang sebuah Gereja Presbiterian di Kota Philadelphia. 

Pdt. Duffield sangat terkesan oleh pesan terakhir dari almarhum rekan sepelayanannya. Pada hari Minggu berikutnya, ia mengambil Efesus 6:14 sebagai nas khotbahnya: “Berdirilah tegap”, serta ayat-ayat selanjutnya yang menggambarkan berbagai-bagai senjata yang harus dipakai dalam peperangan rohani. Pada akhir khotbahnya, Pdt. Duffield membacakan sebuah syair yang baru. Syair yang terdiri atas enam bait itu adalah karangannya sendiri. 

Pdt. Duffield lalu memberikan sebuah salinan salinan hasil karyanya itu kepada Kepala Sekolah Minggu di gerejanya. Orang itu memperbanyaknya, agar dapat dinyanyikan oleh murid-murid Sekolah Minggu. Entah bagaimana, salah satu salinan itu jadi dimuat dalam sebuah majalah Kristen. 

Dengan segera nyanyian itu menjadi populer. Kata-kata itu menjadi buah bibir di mana-mana, walau kadang-kadang diperdengarkan dengan satu lagu, kadang-kadang dengan lagu yang lain. Hanya enam tahun kemudian, pada saat Perang Saudara sedang berkecamuk di Amerika Serikat, Pdt. George Duffield sempat mengunjungi perkemahan tentara yang sedang berjuang melawan perbudakan manusia. Pada waktu itu ia juga mendengarkan para tentara itu menyanyikan syair karangannya, dengan musik yang sampai sekarang masih tetap berkumandang di seluruh dunia. 

Dua Karier yang Berbeda

George Duffield,Jr., dilahirkan pada tahun 1818, di negara bagian Pennsylvania. Baik nenek moyangnya maupun keturunannya menjadi rohaniwan-rohaniwan yang cukup ternama di kalangan mereka. Pdt. Duffield sendiri mendapat pendidikan yang baik, dan ia melayani gereja-gereja di berbagai kota sampai lanjut usianya. Ia meninggal pada tahun 1888. 

George James Webb mempunyai masa depan yang sama dengan nama kecil George Duffield; kecuali fakta itu, dan fakta bahwa kedua-duanya adalah orang Kristen yang setia, boleh dikatakan bahwa tidak ada persamaan sama sekali di antara karier kedua orang satu itu. Namun demikian, musik yang dikarang oleh “George” yang satu itu, telah dijodohkan dengan syair yang dikarang oleh “George”yang satunya lagi, sehingga menjadi “Lagu Kepahlawanan Kristen” yang sekarang terkenal di mana-mana. 

George J. Webb (1803-1887) dilahirkan di negeri Inggris. Ia dididik dan dilatih sebagai seorang musikus, dan menjadi pemain organ di sebuah gereja. Pada umur 27 tahun ia pindah ke Amerika Serikat. Walau masih muda, ia sudah biasa mengarang lagu-lagu, baik lagu rohani maupun lagu duniawi. 

Sambil naik kapal mengarungi Lautan Atlantik, Geoge Webb menyusun sebuah lagu yang baru. Not-not ciptaannya itu dimaksudkan untuk sebuah syair duniawi yang berjudul,”Fajar Merekah, Burung Menyanyi”. 

Seorang ahli sejarah musik gerejawi pernah menyisipkan sedikit humor dengan menulis: “Tidaklah terlintas pada pikiran George Webb bahwa ia sedang mengarang sebuah lagu rohani, sama seperti tidak terlintas di pikirannya  bahwa sebaiknya ia meneruskan sisa perjalanannya ke pantai benua Amerika Utara itu dengan berenang saja!” Namun, justru lagu duniawi itulah yang kemudian diterapkan pada syair karangan George Duffield. 

Pelayaran George Webb ke Amerika itu membawa untung baginya. Mula-mula ia memesan tempat pada kapal yang akan menuju ke Kota New York, tetapi ia dibujuk untuk mengubah rencananya oleh nahkoda sebuah kapal yang akan menuju ke Kota Boston. Setibanya di Boston, ia segera diundang menjadi pemain organ di sebuah gereja yang besar. 

Ia pun banyak bekerja sama dengan Dr. Lowell Mason dalam meningkatkan musik, baik musik di gereja-gereja maupun musik di sekolah-sekolah. Ia menjadi pemimpin sebuah perkumpulan besar, yang banyak jasanya demi peningkatan musik. Ia juga meredaksikan baik buku-buku maupun majalah-majalah di bidang keahliannya itu. 

Musikus yang Tunanetra

Masih ada satu orang lagi yang sebaiknya dikisahkan dalam rangka riwayat lagu pilihan ini. Di antara buku-buku kumpulan nyanyian pujian yang didaftarkan pada halaman 30, ada dua buku yang didalamnya syair George Duffield itu dijodohkan dengan musik yang bukan hasil karya George Webb. 

Adam Geibel lahir di negeri Jerman pada tahun 1885. Sebagai kanak-kanak ia dibawa ke Amerika oleh orang tuanya. Pada umur kira-kira delapan tahun, ia terkena penyakit mata, dan karena salah obat, ia pun menjadi buta. Namun, anak itu ternyata dikaruniai bakat yang begitu besar sehingga ia masih tetap diberikan kesempatan untuk belajar musik. 

Musikus yang tunanetra itu kemudian menjadi terkenal sebagai komponis, pemimpin koor dan orkes, pemain organ, dan penerbit musik. Meskipun ia sendiri meninggal pada tahun 1933, namun ada karangan-karangannya yang masih tetap terdengar, baik lagu-lagu duniawi maupun lagu-lagu gerejawi. 

Pada saat itu ia baru berumur enam belas tahun, Adam Geibel menggubah sebuah lagu baru yang bergairah hidup, seperti gerak maju bala tentara. Musik karya Geibel itulah yang terdapat bersama dengan “Lagu Kepahlawanan Kristen” dalam beberapa buku kumpulan nyanyian pujian, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain. Anehnya….karangan Adam Geibel itu pun terdapat dalam buku Dua Sahabat Lama dengan kata-kata yang lain dari syair karangan George Duffield itu.

Jadi, kata-kata yang ditulis oleh Pdt. George Duffield, Jr. itu masih merupakan panggilan berperang bagi umat Kristen, apakah kata-katanya itu dinyanyikan dengan lagu karangan George J. Webb ataukah dengan lagu karangan Adam Geibel. 

“Lagu Kepahlawanan Kristen” itu merupakan suatu kenangan seorang pendeta muda, yang benar-benar gugur sebagai pahlawan dalam peperangan rohani. Lagu itu pun merupakan suatu tantangan untuk bangkit dan berdiri tegak, dengan senantiasa berlaku setia kepada Yesus Kristus sebagai Panglima.