HATI YANG BERBAGI

HATI YANG BERBAGI

Sapaan LAI

Pada bulan September dua puluh empat tahun yang lalu dunia berduka, seorang tokoh kemanusiaan telah sampai ke garis akhir dan menghadap Sang Pencipta. Dialah Bunda Teresa. Peraih Nobel Perdamaian ini meninggalkan kesan yang mendalam bukan saja untuk umat Katolik, namun seluruh umat manusia di dunia. 

Pada usia ke 36 tahun Teresa muda mengalami panggilan saat ia dalam perjalanan menuju Biara Loreto dari Kalkuta. Pada saat itu juga ia mendengar kata, “Saya haus”. Suara ini menggerakkan hatinya untuk meninggalkan kemapanan hidup membiara dan membantu mereka yang termiskin dari orang-orang miskin. Tentunya kisah panggilan ini tidak bisa dilepaskan dari didikan ibunya. Sedari kecil ia diajar untuk terus berbagi dan beramal. Nasihat ibunya senantiasa tergiang di telinganya, "Anakku, jangan pernah minum seteguk pun kecuali kamu membaginya dengan orang lain." 

Keputusan Bunda Teresa untuk mengikuti panggilannya bukanlah perjalanan hidup yang mudah. Ia mengungkapkan refleksinya dalam buku catatan harian,  “Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat berat. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, untuk mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda... Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.” Demikian sepenggal tulisannya.

Dari kalimat-kalimat ini kita dapat merasakan bagaimana Bunda Teresa tahu apa artinya sepi dan lapar. Baginya, kesepian adalah salah satu bentuk kelaparan, kelaparan akan kehangatan dan perhatian. Jenis kelaparan ini jauh lebih sulit disembuhkan ketimbang kelaparan akan makanan. Perjumpaannya dengan orang-orang yang miskin, sakit dan lapar di Kalkuta, melahirkan refleksi iman  akan kehadiran Tuhan di antara umatNya. Dan inilah yang menjadikan bunda Teresa tidak berhenti dalam memperjuangkan martabat mereka yang termiskin dari orang-orang yang miskin. Perjuangan yang terus ia lakukan selama lebih dari 45 tahun. Tindakannya begitu nyata dan membuka mata dunia bahwa setiap manusia itu berharga dan bermatabat. Diantara merekalah, Allah hadir ditengah umat-Nya.

Pengalaman iman Bunda Teresa yang lahir dari perjumpannya dengan mereka yang miskin dan terpinggirkan, mengingatkan saya pada pengalaman perjumpaan dengan seorang hamba Tuhan yang melayani di pedalaman Mamasa, Sulawesi Selatan di awal tahun 2000-an. Ia datang dengan hanya memakai sandal jepit. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya karena beratnya kehidupan yang harus ia jalani. Dapat kita bayangkan betapa besar kesetiaannya melayani  umat Tuhan di pedalaman. Kala itu wilayah pedalaman Mamasa belum terjangkau listrik. Infrastruktur terbatas. Tidak ada toko buku. Dengan perekonomian yang minim, warga jemaat kesulitan untuk bisa memiliki Alkitab dengan kekuatannya sendiri. Hamba Tuhan yang sederhana dan setia ini menggerakkan hati kita betapa Allah sudah hadir lebih dahulu di tengah mereka. Mereka juga telah menggerakkan LAI untuk datang untuk menghantar Alkitab dukungan program Satu Dalam Kasih.

Pengalaman perjumpaan dengan hamba Tuhan ini menggerakkan hati kami untuk memperlengkapi hamba Tuhan ini dengan buku-buku yang menolong mereka untuk mempersiapkan bahan khotbah dengan lebih baik. Dari sana lahirlah program Paket bagi Hamba Tuhan. Hingga kini setiap progam LAI selalu merupakan program yang  lahir dari hati yang tergerak dan terpanggil untuk mencukupkan kebutuhan umat-Nya. Seperti  catatan Bunda Teresa, setiap manusia itu berharga dan bermartabat, maka “Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya”.

Erna Yulianawati