Hidup Bukan Untuk Diri Sendiri

Hidup Bukan Untuk Diri Sendiri

Lukas 4: 17-21

Teks Alkitab yang menjadi dasar renungan kita hari ini merupakan sebuah bagian dari pengajaran Kristus kepada umat yang tengah beribadah di sebuah sinagoge di Nazaret. Dalam proses pengajaran tersebut Tuhan Yesus memulainya dengan mengutip Yesaya 61:1-3, sebuah kabar pembebasan yang disampaikan Allah kepada bangsa Israel melalui mulut Nabi Yesaya. Yesaya mendapatkan mandat dari Allah untuk menginisiasi pembebasan kepada umat. Kini mari kita kembali pada perikop yang kita baca. Saat Tuhan Yesus membacakan perikop kembali kepada umat di sinagoge saat itu, bukankah kabar tersebut amat melegakan bagi bangsa yang saat itu dilanda carut marut persoalan mulai dari kemiskinan, ketidakpastian sosial dan politik, sampai kepada persoalan penindasan serta penjajahan imperium Romawi? Injil Lukas mengisahkan bahwa justru yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Mereka mempersekusi Yesus bahkan memojokkannya ke tebing kota untuk meleparkan Dia dari tebing tersebut. Apakah gerangan yang terjadi? 

Rupanya titik pemicunya adalah kalimat Yesus pada Lukas 4: 21 "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." Kata mendengar di sini merupakan ajakan aktif bagi para pendengar saat itu. Subjeknya bukan pada Yesus melainkan para pendengar saat itu. Kegenapan dari karya Roh Tuhan yang melakukan pembebasan pada umat tergenapi saat umat mendengarnya, artinya Tuhan melibatkan umat untuk melaksanakan karya pembebasan itu. Roh Tuhan berdiam pada umat dan demikian mereka diutus untuk menyampaikan kabar baik pada orang miskin, penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Umat Yahudi di Nazaret saat itu geram kenapa mereka mendapat tugas seberat itu padahal di kota sebelumnya yang disambangi Yesus yakni Kaisarea, Tuhan telah melakukan banyak mukjizat besar. Kenapa hal menakjubkan dan membahagiakan itu tidak terjadi juga di Nazaret yang notabene kota kelahiran Tuhan. 

Gugatan masyarakat Nazaret pada saat itu patut menjadi titik balik permenungan kita. Bukankah kita juga demikian? Relasi kita dengan Allah hanya berfokus pada diri kita sendiri. Pada kesejahteraan dan kenyamanan kita semata. Seringkali kita lupa bahwa anugerah Allah seharusnya kita wartakan kembali pada sesama di sekitar kita. Hidup ini sesungguhnya bukan untuk diri kita sendiri melainkan juga bagi orang lain. Bukankah kita wajib memberikan tanggapan berupa aksi konkret terhadap penindasan, ketidakadilan, penderitaan, serta kemiskinan yang masih dialami oleh saudara-saudara kita? 

James W. Fowler seorang Psikolog sekaligus Teolog asal Amerika Serikat, pernah meneliti mengenai tahap perkembangan iman pada individu. Dalam penelitiannya tersebut ia menghasilakn tahap-tahap perkembangan iman yang dimulai dari tahap intuiti-proyektif pada saat kanak-kanak hingga tahap perkembangan iman universal. Pada tahap terakhir ini jarang sekali ada orang yang mencapainya. Tahap tersebut ditandai dengan iman yang tidak melulu berbicara untuk dirinya sendiri melainkan bagi orang lain dan kemanusiaan secara utuh. Orang yang telah berada dalam tahap ini sangat peka terhadap isu-isu kemanusiaan serta tidak ragu-ragu untuk bertindak atas isu-isu tersebut. Mereka digerakkan oleh keinginan untuk “berpartisipasi dalam sebuah kekuatan yang menyatukan dan mengubah dunia”, namun tetap rendah hati, sederhana, dan manusiawi. Bukankah tahap ini mirup dengan ajakan Tuhan kepada umat Yahudi di Nazaret dalam Lukas 4: 17-21. Inilah proses iman yang harus kita upayakan bersama dan alangkah baik bila kita melihat keteladanan dari umat percaya yang telah terlebih dahulu pada tahap ini diantaranya adalah Bunda Theresa dari Kalkuta dan Martin Luther King,Jr.

Dua sosok ini menyuarakan cinta mereka pada Tuhan serta meresponnya dengan menanggapi lewat aksi kemanusiaan yang nyata seturut konteks mereka masing-masing. Bunda Theresa berjuang dan berkarya bagi orang-orang miskin, sakit, dan terpinggirkan di kalkuta. Ia tidak ragu-ragu untuk menanggalkan ego pribadinya dan menunjukkan cinta kasih yang besar bagi orang-orang yang tidak lagi dianggap oleh masyarakat. Baginya perubahan dimulai dengan melakukan hal yang kecil namun dengan cinta kasih yang besar. Sementara Martin Luther King,Jr adalah sosok aktivis kulit hitam Amerika yang dengan lantang menyuarakan kesamaan hak bagi orang-orang keturunan Afrika-Amerika.  Amerika tahun 50-60an merupakan sebuah negara yang dipengaruhi ideologi rasis dalam setiap sendi kehidupannya dengan meminggirkan warga keturunan Afrika-Amerika serta menempatkan warga kelas 2. King mengorganisasikan protes sipil besar-besaran untuk merespon situasi tersebut. Gerakan protesnya begitu terkenal karena merupakan gerakan protes tanpa kekerasan yang diilhami oleh ajaran Tuhan Yesus. Pada demo akbar gerakan protes sipil di Washington D.C. tanggal 28 Agustus 1963, King menyampaikan pidato dan menginspirasi berbagai generasi pidato berjudul "I Have a Dream." Dalam video itu King bermimpi bahwa suatu saat ada kesetaraan di Amerika. Semua orang boleh beroleh hak yang sama. 

Keduanya tokoh yang inspiratif bagi berbagai generasi bahkan pada generasi yang lahir dan hidup setelah kematian mereka. Keduanya berasal dari tradisi gereja yang berbeda namun diinspirasikan akan kekaguman yang sama atas karya dan teladan Kristus. Berbeda dengan orang Nazaret yang menolak untuk berpartisipasi dalam karya kebebasan Allah bagi dunia, Bunda Theresa dan Martin Luther King justru menyediakan dirinya sebagai wadah dari Roh Tuhan untuk mewartakan pembebasan bagi dunia. Kini bayangkan bahwa Kristus berpesan pada saudara bahawa: "Roh Tuhan ada padamu untuk membebaskan yang miskin, mengalami ketidakadilan, dan mereka yang terpinggirkan." Apa jawaban saudara atas pertanyaan Kristus tersebut? 

 Pdt. Vince Ellysabeth Nandra