HIDUP YANG SIGNIFIKAN 

HIDUP YANG SIGNIFIKAN 

 

Suatu hari saya singgah di rumah seorang rekan kerja untuk kemudian berangkat bersama-sama ke sebuah pelayanan. Menunggu ia bersiap diri untuk berangkat, saya duduk di ruang tamu. Untuk mengisi keheningan, saya mulai mengamati setiap sudut ruangan dan benda-benda yang ada di sana. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah buku yang ada di meja di ruang tamu tersebut. Buku kenangan kelulusan putra rekan saya yang belum lama lulus sekolah menengah atas. Iseng-iseng saya membuka buku itu secara bebas dan mata saya tertuju pada lembar yang berisi profil siswa-siswi yang lulus pada angkatan tersebut. Sembari membolak-balik buku itu, saya memperoleh sebuah penemuan menarik. Ternyata, pada lajur isian “cita-cita”, banyak sekali yang menulis, “Menjadi orang sukses”. Saya terkejut dan mulai berpikir, “Apa sih yang ada di benak mereka tentang makna, “Menjadi orang sukses”?” Bagi saya ini absurd.

Saya merenung sembari mencoba merefleksikan kembali masa remaja saya. Pada masa itu, jika remaja ditanya cita-cita mereka, biasanya ditulis di buku diary yang diisi oleh teman-teman sekelas sebagai kenang-kenangan, pada umumnya mereka memberi jawaban salah satu profesi terkemuka, seperti: dokter, pengacara, insinyur, guru, ahli komputer, ahli ekonomi, dsb. Dan ketika kepada remaja masa kini ditanyakan hal yang sama, banyak pula yang menjawab ingin menjadi Youtuber/content creator, chef, praktisi desain komunikasi visual, dll. Sepertinya peralihan generasi menghasilkan pergeseran pilihan profesi selaras dengan perubahan tuntutan jaman. Tetapi “menjadi orang sukses”? Apakah definisi sukses? Apakah sukses berarti menjadi kaya? Apakah pilihan seorang perempuan menjadi ibu rumah tangga bukan sebuah kesuksesan? Apakah seorang aktivis sosial-kemasyarakatan yang memilih hidup ugahari namun mendapat berbagai penghargaan bukan sebuah kesuksesan? Apakah menjadi seorang fundriser di sebuah lembaga non-profit seperti LAI bukan sebuah kesuksesan? Atau hanya dianggap sebagai peminta-minta?

Saya jadi teringat sebuah buku yang terbit perdana pada tahun 1994 karya Bob Buford berjudul, “Halftime, Moving from Success to Significance”. Pada mulanya saya tertarik pada buku ini karena judul buku ini dimulai dengan kata “Halftime”, paruh waktu. Sebagai pendeta saya tertarik pada buku ini, karena saya mengira buku ini berbicara tentang “krisis paruh baya”, kasus pastoral yang sering dihadapi oleh sebagian besar orang. Namun, ternyata buku ini berbicara tentang kepemimpinan yang mengajarkan kepada pembacanya untuk menjadi pribadi yang asertif, sekaligus bermakna bagi orang lain. 

Halftime, katakanlah sebagai “separuh kehidupan seseorang” adalah sebuah jeda untuk kita merenungkan “Apa yang sudah kita lakukan selama hidup kita? Sudah sampai di mana kita?” dan “Akan kemana tujuan hidup kita?” “Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”. Yang menarik, Buford mendefinisikan sukses sebagai, “Success means using your knowledge and experience to satisfy yourself”. Wow! Ternyata menjadi orang sukses adalah sebuah tindakan yang egoistik! Lalu, apa solusi yang diberikan Bufford?  Ia berkata, “Jadilah orang yang signifikans”. “Significance means using your knowledge and experience to change the lives of others”. Berkarya untuk menggerakan perubahan pada orang-orang yang ada di sekitar kita atau yang dipertemukan dengan kita. Artinya, “Kesuksesan kita harus bermanfaat bagi orang lain”. Tidak salah menjadi orang sukses, karena itu adalah anugerah Tuhan, tetapi kesuksesan (secara materi dan kedudukan) tidaklah cukup. Kita harus menjadikan hidup kita bermanfaat bagi orang lain. Itulah arti signifikansi yang sesungguhnya.

Merenungkan hal ini, pikiran saya tertuju pada nubuatan Nabi Yesaya tentang sosok Mesias yang akan datang, “Ia mengutus aku untuk memberitakan bahwa sudah tiba saatnya TUHAN menyelamatkan; untuk menghibur semua yang berduka cita, dan membalas musuh-musuh mereka; untuk memberi kegembiraan dan sukacita kepada orang yang bersedih dan berkabung; untuk mengubah kesedihan mereka menjadi lagu pujian. Mereka akan seperti pohon yang ditanam TUHAN sendiri. Mereka akan melakukan yang baik dan benar, sehingga TUHAN diagungkan” [Yes. 61:2-3 BIMK, bdk. Luk. 4:18-19]. Kristus datang untuk membawa perubahan bagi masyarakat, mengubah keadaan melalui karya-karya-Nya. Dan karena itulah, kita mengamini bahwa Yesus sebagai Pemimpin dan Guru benar-benar menjalani hidup yang signifikan. Demikian pula hendaknya kita sebagai pengikut-Nya harus memiliki tujuan mulia itu, yaitu menjadi murid-murid Tuhan yang signifikan.

Tuhan memanggil kita untuk  melakukan sesuatu yang signifikan sesuai dengan waktu, bakat, profesi, pengalaman ketrampilan, maupun harta kita, dan kita telah dipanggil untuk melayani orang-orang di sekitar kita atau orang-orang yang Tuhan pertemukan dengan kita. Apapun profesi kita dan posisi kita, selama yang kita kerjakan memberikan manfaat dan perubahan bagi orang lain, maka kita layak disebut sebagai orang-orang yang signifikan. 

Sekali lagi, menjadi sukses bukanlah tujuan hidup atau cita-cita. Tujuan hidup yang sesungguhnya adalah menjadi hidup yang signifikan, menjadi penggerak perubahan bagi orang-orang yang ada di sekitar kita atau yang dipertemukan dengan kita.

Tuhan menciptakan setiap orang untuk suatu tujuan, dan itulah panggilan hidup kita. Oleh karena itu marilah kita merespons panggilan Tuhan buat kita semua. Seperti syair lagu ini:

Hidup ini adalah kesempatan

Hidup ini untuk melayani Tuhan

Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri

Hidup ini hanya sementara

 

Manfaatkan separuh hidup kita selanjutnya untuk menjadi signifikan.

 

Oh Tuhan, pakailah hidupku,

Selagi aku masih kuat.

Suatu saat aku tak berdaya,

Hidup ini sudah jadi berkat.



Pdt. Sri Yuliana