Ingwer Ludwig Nommensen dan Karya Penginjilannya di Tanah Batak

Ingwer Ludwig Nommensen dan Karya Penginjilannya di Tanah Batak

 

Nama Ingwer Ludwig Nommensen mungkin asing bagi sebagian dari kita, namun di hati orang-orang yang mengetahuinya nama itu sangat menyentuh dan berjasa besar terutama dalam pertumbuhan serta perkembangan kekristenan di Tanah Batak. Karyanya yang holistik dalam pekabaran kabar baik telah membawa Kristus kepada suku Batak yang pada masa itu belum mengenal Kristus. Atas jasa serta peran dari Nommensen, ia bahkan sering diberi gelar sebagai ‘Rasul dari tanah Batak’, jamak ditemui baahwa kata sandang Ompu dikenakan di depan namanya untuk menunjukkan posisinya sebagai yang dituakan dan dihormati dalam lingkup adat istiadat suku Batak. Kisahnya sebagai seorang misionaris barat kelahiran Jerman yang mendapat tempat di hati orang-orang Batak terus dituturkan hingga kini untuk menjaga agar generasi penerus tetap mengetahui serta menghargai karya Tuhan yang terjadi lewat pelayanan Nommensen. 

Ingwer Ludwig Nommensen lahir pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil Morch Noorstand, Jerman. Kata ‘Ingwer’ sendiri diartikan sebagai pilar/tumpuan harapan dan Nommensen adalah nama keluarganya. Nama yang adalah doa tersebut rupanya kelak dijawab Tuhan lewat karya Nommensen bagi orang-orang Batak. Nommensen menjalani masa kecil yang cukup sulit karena keluarganya merupakan keluarga yang miskin. Dalam kesulitan itulah Ibunya terus menuntun Nommensen untuk meletakkan pengharapan kepada Tuhan semata. Pondasi spiritual yang ditumbuhkan dalam keluarga tersebut rupanya berbuah manis pada afirmasi panggilan yang dihayati Nommensen untuk menjadi seorang Pendeta. Pekerjaan Tuhan yang dilakukannya kemudian menuntun Nommensen sampai di Padang pada tanggal 14 Mei 1862 dan melanjutkan perjalanan hingga ke Rura (Lembah) Silindung, saat ini masuk ke dalam daerah Tapanuli Utara. Pada saat itu ia telah membekali diri dengan Bahasa Batak dan Melayu yang cukup fasih seraya menyerap adat istiadat Batak yang dipelajarinya melalui penuturan para misionaris Barat. Maka dimulailah karya pelayanan Nommensen sebagai utusan dari lembaga pekabaran injil (zending) RMG (Rhynschen Zending in de Bataklande). 

Dalam menyentuh masyarakat Batak pada saat itu Nommensen sadar betul bahwa budaya adalah jalan masuknya. Berbeda dengan misionaris sezamannya yang cenderung antipasti terhadap budaya-budaya asli masyarakat, Nommensen justru mempelajarinya dengan baik dan memakai budaya sebagai pintu masuk untuk memberitakan Injil. Lewat mulutnya, Injil disampaikan dalam bahasa Batak. Orang-orang Batak mulai tertarik mengikutinya dan ajaran yang dibawanya. Masyarakat Batak saat itu terdiri dari suku-suku kecil dengan pemimpin atau raja masing-masing. Nommensen seringkali memulai pendekatannya pada raja-raja suku tersebut. Saat sang raja telah menerima Kristus maka hal tersebut membuka jalan bagi rakyatnya untuk turut mengikut Kristus. Perlahan-lahan ia menyatu dengan masyarakat dan terang Injil itu membawa pencerahan pada kehidupan masyarakat Batak pada saat itu melalui karya pendidikan, kesehatan, serta etika kehidupan yang baik sehari-hari. Sampai pada akhirnya berdirilah gereja Batak pertama di Desa Saitnihuta Ompu Sumurung sebagai pusat kekristenan pertama di Silindung. Kampung itu diberi nama Hutadame dan Gereja di tempat itupun mendapatkan nama yang sama. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1864. 

Satu karya lain yang menonjol adalah perannya dalam pendampingan terhadap masyarakat saat epdemi kolera melanda Tanah Batak. Saat epidemi itu melanda, angka kematian anak-anak sanggat tinggi. Beberapa kampung terasa amat mencekam bahkan ada yang ditinggalkan penghuninya. Diperkirakan, tiga perempat dari populasi anak yang dilahirkan telah meninggal sebelum usia delapat tahun. Catatan mengenai peristiwa tersebut tergambar dalam surat Nommensen tertanggal 5 Juli 1875.  Penyakit ini bahkan mendapat istilah tersendiri di tengah masyarakat pada saat itu yakni “Begu Atuk”, untuk menggambarkan betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan. Kolega Nommensen yakni Peter Henrich Johannsen bahkan melaporkan setiap hari ada 20-30 orang meninggal di Lembang Silindung. 

Krisis Kesehatan yang terjadi pada saat itu adalah akumulasi penderitaan rakyat yang sebelumnya mengalami agresi terus menerus baik itu dari pasukan Padri maupun pendudukan tentara Belanda. Ketiadaan otoritas pemerintah yang mengurus masyarakat pada akhirnya memperparah krisis kesehatan yang terjadi. Nommensen kemudian menyadari bahwa misi yang dimulainya tersebut harus turut berpartisipasi menghadapi krisis tersebut. Sekolah yang sempat didirikannya kemudian beralih fungsi sebagai Balai Kesehatan. Nommensen menggunakan terapa homeopati dalam pelayanan kesehatannya.  Metode tersebut merupakan pengobatan alternatif yang menggunakan larutan dari bahan alam untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Perawatan itu membuahkan hasil, menurut catatan Nommensen angka kematian di antara kampung Kristen lebih rendah daripada populasi Batak tradisional. Kampung Kristen di SIlindung itu kemudian hari juga menwarkan sebuah alternatif komunitas baru yang dilandaskan injil Kristus. Semua orang diperlakukan sama dan dengan penuh kasih, sangat berbeda dibandingkan komunitas lain pada saat itu yang bahkan masih mempraktekkan perbudakan. 

Sebagaimana Kristus yang menyentuh lewat pemulihan tubuh, orang-orang Batak pun banyak yang tersentuh atas pelayanan kesehatan yang diinisiasi Nommensen tersebut. Mereka memohon untuk dibaptis. Misi itupun semakin meluas, sekolah dan gereja semakin banyak menghimpun orang-orang Batak demikian halnya rumah sakit. Kristus semakin merasuk dalam sanubari orang-orang batak dan menyetuh mereka lewat pendidikan, kesehatan, dan pembaharuan kehidupan lainnya. Semua dimula dari kerelaan dan panggilan hati seorang Jerman bernama Ingwer Ludwig Nommensen. Panggilan Allah itulah yang juga sebenarnya berbisik dalam sanubari kita masing-masing untuk turut serta dalam misi Allah mewartakan Kabar Baik ke seluruh penjuru bumi. Sebagaimana LAI yang didukung para mitranya juga senantiasa bertekad untuk terus turut serta dalam misi Allah mewartakan Kabar Baik kepada semua orang. 

 

Pdt. Vince Elizabeth Nandra