JANGAN BIARKAN DAMAI INI PERGI

JANGAN BIARKAN DAMAI INI PERGI

 

Ada sebuah lagu yang populer sejak 2019 yang lalu, berjudul “Damai Itu Indah” dinyanyikan oleh Tian Storm, Ever SLKR, Erick Mantiri, dengan lirik sebagai berikut:

Mari jo torang samua baku pegang tangan, jangan baku simpang rasa dendam.

Mari bersama maju ke depan, damai itu indah, mari maju bersama.

Tunjukan kita bisa saling menopang, tak ada persaingan.

Jangan karena bisikan membuat kita murka. Bersama kita jaya.

Satu dalam irama lebih baik bersama.

Kita semakin kuat, buat mereka bangga dengan karya.

Kedamaian yang indah yang dilukiskan dalam lagu itu sepertinya sangat mudah dicapai dan sangat sederhana. Kedamaian seperti itu dapat dicapai dengan saling bertenggang rasa dan menciptakan keseragaman (satu dalam irama, lebih baik bersama). Pemikiran ini lebih mencerminkan pandangan filsafat ketimuran yang mengedepankan harmoni.

Slogan “Damai itu Indah” tentu saja akan dengan mudah diaminkan oleh mereka yang hidup di negara damai yang tidak pernah mengalami peperangan, konflik antar kelompok atau rawan bencana alam. Katakanlah kehidupan masyarakat di negara-negara Skandinavia, Singapura atau Selandia Baru. Di Singapura, misalnya, seorang wanita lajang merasa aman-aman saja berjalan kaki pulang ke apartemen dari stasiun MRT di malam hari. Namun tidaklah demikian bagi orang-orang yang pernah memiliki pengalaman traumatik berkaitan dengan kedamaian atau hidup damai. Trauma akibat konflik seperti di Poso, Papua, atau bencana alam di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya dirasakan oleh pihak yang bersengketa saja, tetapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat yang terdampak. Adakah damai dirasakan oleh orangtua Trinity, gadis kecil penyintas peledakan bom di gereja di Samarinda beberapa tahun yg lalu yang kini sebelah lengannya cacat akibat luka bakar yang parah? Adakah damai bagi Ibu Made yang kehilangan segalanya kecuali baju yg dikenakannya ketika banjir bandang melanda NTT? Benarkah damai itu indah? Damai buat siapa?

Kita kembali ke lagu. Ada sebuah lagu yang lain, dengan lirik sebagai berikut:

Seindah dalam kata, seindah dalam cinta

Bilakah segala-galanya bersatu?

Tetapi kenyataan, hidupnya pengorbanan

Tinggal penghabisan lamunan berlalu

Semua kehidupan dia, berkhayal tinggal yang ada

Rindu sayangi sesama. Hidupmu sebentar saja

Ini sebuah lagu fenomenal. Lagu ini berjudul “Damai tapi Gersang” berhasil meraih penghargaan “Outstanding Song Award” pada World Popular Song Contest di Jepang pada tahun 1977. Apakah lagu ini berkisah tentang pengalaman hidup penciptanya? Entahlah. Lagu ini digubah oleh Adjie Bandi. Meninggal pada tahun 1992 pada usia 45 tahun.  Miris, seorang Adjie Bandi, musisi/pencipta lagu berbakat yang menguasai piano, biola, gitar, berakhir hidupnya dalam keadaan lara, papa, sendiri di rumah kontrakan yang sederhana, terlupakan. Apakah lagu “Damai Tapi Gersang” sebuah sasmita/tanda-tanda akan terjadi sesuatu di masa depan? Entah juga. Yang jelas ada kerinduan tentang kedamaian dibalik syair lagu yang diciptakannya.

Soal kedamaian juga dibicarakan oleh Rasul Paulus dalam Roma pasal 14:17-19, sebagai berikut: “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran dan damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Karena barangsiapa melayani Kristus dengan cara ini, ia berkenan kepada Allah dan dihormati manusia. Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” Damai, kedamaian, perdamaian adalah sesuatu yang harus kita upayakan, kita kerjakan dan kita perjuangkan, sesuatu yang terjadi dalam sebuah proses dinamika yang terus menerus. Damai bisa terwujud dalam harmoni dan keindahan namun dapat juga dirasakan dalam keheningan, kesendirian, kegersangan yang segera berubah pula. Dinamis. Selalu bergerak.

Jika kedamaian merupakan sesuatu yang harus diupayakan, seyogyanya “Damai itu Indah” bukan hanya slogan. Menghadapi rasisme, diskriminasi, xenophobia, radikalisme dan memperjuangkan keadilan adalah dan harus menjadi kontribusi kita sebagai umat kristiani terlebih bagi kita yang hidup di negara pluralis. Sebagaimana, rasisme (dan diskriminasi, xenophobia, radikalisme) telah menjadi perhatian utama gerakan oikumenis gereja-gereja sedunia sejak persidangan WCC perdana pada tahun 1948 di Amsterdam yang mengakui bahwa "prasangka berdasarkan ras atau warna kulit" dan "praktik diskriminasi dan segregasi" sebagai "penyangkalan terhadap keadilan dan martabat manusia." Karenanya, gerakan menciptakan keadilan dan perdamaian menjadi isu penting yang membutuhkan kesadaran dan keberanian umat kristiani untuk bergerak bersama, sehingga “Damai itu Indah” benar-benar terwujud sebagaimana adanya dan kita dapat mempertahankannya selama kita hidup di dunia.

Sayup-sayup terdengar lantunan suara Chrisye, sahabat Adjie Bandi di Gipsy Band:

Aku termenung di bawah mentari. Di antara megahnya alam ini

Menikmati indahnya Kasih-Mu. Kurasakan damainya hatiku

Sabda-Mu bagai air yang mengalir. Basahi panas terik di hatiku

Menerangi semua jalanku. Kurasakan tenteramnya hatiku

Jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu

Hanya pada-Mu, Tuhan. Tempatku berteduh

Dari semua kepalsuan dunia.

Damai, dengan segala dinamikanya, hanya akan terwujud apabila kita bersama dekat dan terhubung dengan Tuhan, semesta dan sesama. Bagaikan Sabda Allah yang mengalir dan membasahi panas di hati. Yang menerangi jalan kita dan tempat kita berteduh dari segala kepalsuan dunia. Mari kita wujudkan kedamaian itu mulai dari diri sendiri, bergandengan tangan, tidak saling menyimpan rasa dendam. Mari bersama maju ke depan, damai itu indah.Tunjukan kelembutan hati kita, hindari persaingan. Jangan karena bisikan membuat kita murka. Damai itu indah jika kita memperjuangkannya bersama-sama.


Pdt. Sri Yuliana