Johannes Leimena: Negarawan Sederhana Berhati Mulia

Johannes Leimena: Negarawan Sederhana Berhati Mulia

 

 Bapak Reformasi Protestan, John Calvin dalam pengajarannya sering menekankan bahwa setiap kebaikan dalam kehidupan Kristen bertumbuh dalam tanah kerendahan hati. Tanpa kerendahan hati, setiap kebajikan dan setiap anugerah menjadi layu. Kerendahan hati adalah yang pertama, yang kedua, dan ketiga dalam iman Kristen yang berhasil diamalkan dengan baik oleh Johannes Leimena sepanjang hidupnya. Andar Ismail di dalam bukunya “Selamat Berkarunia” menyatakan sangat beruntung pernah bertatap muka secara langsung dengan dengan sosok Leimena yang bersahaja, teduh dan berwibawa. Gerrit Siwabessy, mantan Menteri Kesehatan yang juga tokoh nasional dari Ambon, bahkan menyebut Leimena sebagai orang yang tidak menunjukkan pribadi Ambon yang sempit dalam tindakan dan ucapannya.

Providentia Dei (Rencana Allah)

Johannes Leimena merupakan anak kedua dari empat anak pasangan Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulilatu. Ia lahir pada 6 Maret 1905. Leimena menghabiskan 9 tahun masa kecilnya di Ambon tepatnya di desa Ema, Leitimu Selatan. Desa Ema terletak di kaki Gunung Horil, pada ketinggian 150 meter di atas permukaan laut, dua mil dari benteng ke arah Tenggara, sekitar setengah jam perjalanan dari pantai di atas sebuah gunung batu. Untuk menuju ke desa pegunungan tersebut kita harus melewati jalan naik yang sulit serta lembah-lembah yang dalam. Di sebelah utara desa dikelilingi dengan Sungai Huwai – Inau yang bermuara di Sungai Waihoka yang besar. 

Leimena menjalani pendidikan dasarnya di Ambonsche Burgerschool.  Masa-masa selanjutnya ia habiskan di Cimahi bersama pamannya, Lawalata,  yang seorang kepala sekolah. Tahun 1914 ia pindah ke Batavia untuk kemudian mengikuti pendidikan lanjutan di lingkungan yang lebih heterogen  di ELS (Europeesch Lagere School) yang isinya hanya boleh anak-anak peranakan Eropa, keturunan Timur asing dan pribumi dari tokoh-tokoh terkemuka saja. Pendidikannya di ELS  hanya beberapa bulan saja, lalu ia pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (sekolah untuk anak asli orang Belanda, kini PSKD Kwitang), dan tamat tahun 1919. 

Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, Johannes memilih sekolah campuran dari berbagai golongan, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan tamat tahun 1922. Leimena mendapatkan gelar dokter dalam bidang penyakit dalam (lever dan ginjal) setelah menamatkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang merupakan sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia. 

Sebelum memutuskan belajar di Stovia sebenarnya Leimena pernah mendaftarkan diri pada kursus In en Uitvoerrechten (Bea-Cukai), kursus Posterij (Dinas Pos), Dinas Kereta Api, dan Rechtschool (Sekolah Hakim) di Jakarta. Namun semua menolaknya dengan berbagai alasan. Setelah ditolak dimana-mana Leimena akhirnya memutuskan untuk mendaftar ke STOVIA dan diterima! Sebuah kesaksian manis bahwa ini semua adalah bagian dari rencana Tuhan atas hidupnya (Providentia Dei). Ada pemeliharaan, perlindungan, penyertaan dan intervensi (campur tangan) Tuhan dalam perjalanan hidup dan karirnya.

Johannes Leimena yang seorang Ambon menikah dengan perempuan asal Sumedang bernama  Tjitjih Wiyarsih Prawiradilaga tanggal 19 Agustus 1933 di Sukabumi. Leimena bertemu Tjitjih saat keduanya bekerja di RS Immanuel Bandung. Ketika itu Leimena bekerja sebagai dokter dan Tjitjih sebagai kepala asrama perawat. Nantinya, pada tahun 1952 Tjitjih Wiyarsih tercatat sebagai salah satu pendiri dan anggota pengurus Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang pertama. 

Pada 9 Februari 1966, dalam situasi negara yang masih darurat selepas G30S, Leimena menaiki helikopter dari Jakarta dan turun di tanah lapang dekat Percetakan Lembaga Alkitab di Ciluar Bogor. Ia bersama Tjitjih Leimena menghadiri peresmian percetakan Alkitab pertama di dunia yang dimiliki  Lembaga Alkitab nasional. Leimena bahkan memberikan sambutan pertama pada acara peresmian Percetakan LAI tersebut.

Pelopor di Bidang Kesehatan 

Salah satu hasil pemikiran pertama Leimena saat ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai menteri kesehatan adalah bagaimana membenahi kesehatan masyarakat Indonesia yang saat itu dalam masa transisi setelah proklamasi. Bandung Plan yang kemudian menjadi Leimena Plan adalah proyek untuk membenahi bidang kesehatan agar lebih efektif dan efisien. Upaya pengobatan yang dilakukan tidak hanya unsur kuratif (penyembuhan) dan rehabilitasi (pemulihan) saja, namun juga memasukkan unsur preventif (pencegahan). 

Untuk menghindari tumpang tindih antara beberapa instansi saat menangani kesehatan masyarakat, Leimena membuat penyatuan dalam sistem kesehatan masyarakat. Dalam buku Dr. Johannes  Leimena : Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, Fadel Muhamad menulis bahwa melalui Leimena Plan nampak upaya Leimena dalam menghubungkan keahliannya sebagai dokter dengan rasa empati serta kepekaan terhadap penderitaan rakyat kecil. Dalam masa kepemimpinan Leimena di Departemen Kesehatan embrio Puskesmas sudah terlihat wujudnya. Nantinya, peran Puskesmas akan semakin nyata setelah Gerrit Siwabessy masuk dalam pemerintahan menjadi Menteri Kesehatan di masa Presiden Soeharto.

Mengabdi di bidang Politik

Di bidang politik Leimena bersahabat dengan Natsir yang merupakah tokoh Masyumi dari Minangkabau. Kuatnya perbedaan ideologi yang mereka anut saat itu tidak membuat mereka bermusuhan. Sebagai manusia-manusia dengan keyakinan yang berbeda-beda mereka tetap saling menghormati. Leimena bersama AM Tambunan yang merupakan founding father dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) bahu membahu memajukan Indonesia melalui kabinet di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Kemampuan berorganisasinya bukanlah datang tiba-tiba tapi terasah sedari muda karena ikut bergabung dengan CSV (Christelijke Studenten Vereeniging) yang selanjutnya menjadi GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). 

Keterlibatan Umat Kristen dalam membangun Indonesia

Pendidikan yang sampai saat ini tidak merata, korupsi yang merajalela, dan budaya konsumtif selalu menjadi masalah sosial-ekonomi yang terjadi di Indonesia. Pertanyaan yang timbul ke permukaan saat ini adalah apakah kita umat percaya mampu mewujudkan Terang dan Garam percayanya di tengah orang-orang pemeluk agama lain? Sederhananya, dapatkah diubah ke arah perbaikan, menurut paham agama kita? Leimena dalam tulisannya “Kewarganegaraan Yang Bertanggung Jawab” memaparkan pemikirannya tentang bagaimana sikap gereja dan umat Kristen di tengah masyarakat Indonesia yang bergolak. Pemikiran tersebut sepertinya masih relevan di masa sekarang dan yang akan datang. Leimena berpendapat bahwa kita yang adalah sebagian kecil dari masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa, bahkan memimpinnya. Syaratnya yang utama adalah keyakinan yang teguh dan persatuan yang kokoh. Ini adalah bagian refleksi dari kecintaan, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan. 

Setiap umat Kristen menurut Leimena harus menyadari bahwa Gereja adalah lingkaran dalam dengan Yesus Kristus sebagai titik pusatnya dan negara atau masyarakat luas adalah lingkaran luarnya. Umat Kristen mempunyai tanggungjawab untuk membangun suatu tatanan masyarakat baru bersama orang Indonesia lainnya. Leimena juga menegaskan umat Kristen bukanlah suatu minoritas, dilihat dari sudut ketatanegaraan ia bukan warga negara kelas dua atau kelas tiga, ia adalah warga negara yang mempunyai sama hak dan sama kewajiban seperti warga negara lainnya.

 

Perlando Panjaitan, dari berbagai sumber