Johny Nelson Simanjutak: Gereja adalah Kata Kerja!

Johny Nelson Simanjutak: Gereja adalah Kata Kerja!

 

Panggilan diakonia gereja, baik di masa kini maupun di masa depan adalah memanusiakan manusia. Mengangkat mereka yang terpinggirkan menjadi manusia yang bermartabat. Di mata aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Johny Nelson Simanjuntak, pelayanan diakonia yang ideal mestinya adalah diakonia yang transformatif. Artinya, pendampingan tidak hanya berfokus pada satu individu saja tetapi juga pada kelompok masyarakat. Dan kedua, bukan sekadar melayani manusia sebagai subjek, tapi bagaimana memampukan manusia yang dilayani agar berkembang menjadi insan yang bermanfaat bagi sesamanya. 

Kesetiaan Johny dalam membela mereka yang tertindas dan terpinggirkan mengantarnya memperoleh anugerah Yap Thiam Hien Award tahun 1992. Yap Thiam Hien Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara Indonesia keturunan Tionghoa dan pejuang hak asasi manusia. Perjuangan Johny untuk membela ketidakadilan tidak mudah. Jalan hidup pilihannya penuh risiko dan tak jarang menyerempet bahaya dan membahayakan nyawa. Namun, ia bahagia dan tidak pernah menyesali pilihannya tersebut. 

Johny lahir di Sidikalang, Ibukota dari Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Sebelum menjadi kota besar seperti sekarang, Sidikalang yang subur di awal 1900-an menjadi daerah tujuan migrasi banyak orang Batak Toba yang terdesak karena lahan pertanian di tanah asalnya semakin sempit. Mereka berinteraksi dan hidup harmonis dengan orang-orang Pakpak yang lebih awal mendiami Sidikalang. Generasi selanjutnya berkembang, dari hanya bertani mulai merambah perdagangan. Di masa inilah Johny lahir dan dibesarkan oleh orangtuanya yang hidup sebagai pedagang di Sidikalang. Prinsip hidup orang tuanya menurun kepada anak-anaknya, hidup yang penting cukup, artinya jangan sampai kelaparan namun jangan terlalu berlebihan. Seperti halnya keluarga Batak yang lain, orang tua Johny memandang pendidikan penting bagi anak-anaknya. Perubahan nasib hanya bisa diraih melalui pendidikan yang baik.  

 

Ingin menjadi pendeta atau hakim

Selain orangtuanya, Johny begitu mengagumi sosok pendetanya di masa kecil, Pendeta Rajagukguk. Orangnya ramah, tutur katanya halus, sehingga warga jemaat menyukainya. Kharisma Pdt. Rajagukguk yang luar biasa, membuat setiap beliau lewat di depan setiap orang, mereka akan menunduk hormat. Tidak terkecuali Johny. Jika pendetanya menghadiri Kelas Sekolah Minggu, ruangan yang tadinya ribut dan ramai, seketika akan hening karena terpengaruh wibawa sang pendeta. 

Selain figur pendeta ada juga figur lainnya yang dia kagumi saat masih kecil, yaitu figur hakim.  Saat mengunjungi seorang kerabat, ia terkesan dengan sebuah foto diri yang dipajang di ruang tamu kerabatnya. Rupa-rupanya sang kerabat bekerja sebagai hakim dengan toga kebesarannya yang membuat tampak berwibawa. Dalam hati Johny tumbuh cita-cita ingin menjadi seorang hakim. 

Tahun 1974 Johny lulus dari bangku SMA. Namun, karena keterbatasan ekonomi orang tua, ia tidak bisa langsung melanjutkan ke perguruan tinggi. Masa-masa kekosongan itu dia isi dengan belajar dan mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian saringam masuk di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Ujian Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU).  Johny memilih Fakultas Hukum karena cita-cita untuk menjadi hakim. Jauh sebelum masa ujian tiba, Johny telah tiba di Yogyakarta. Setengah tahun sebelum masa ujian tiba, ia semakin intensif belajar dan ditambah mengikuti kursus Bahasa Inggris gratis yang diselenggarakan oleh Gereja Baptis Anugerah, Yogyakarta. Ternyata bukan hanya Johny, banyak juga para perantau dari Batak yang mengikuti kursus gratis ini. Kerja keras Johny berbuah manis. Dirinya berhasil lulus masuk dua fakultas hukum terbaik di Indonesia, yaitu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Johny memilih berkuliah di UGM.  

 

Aktif di berbagai organisasi

Di bangku kuliah Johny bukan saja membangun pondasi keilmuan, namun di luar aktivitas kuliah dirinya juga belajar memperkuat landasan iman dan kepekaan sosial. Ia bergabung dan nantinya aktif dalam kepengurusan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Yogyakarta. Sebagai Ketua Departemen Aksi Partisipasi, Johny membawahi bidang pendidikan, kader kepemimpinan, dan keperempuanan. Salah satu aksi sosial GMKI Yogyakarta waktu itu adalah mendampingi anak-anak yang tinggal di Kali Code.  Berlatar belakang orang tua pemulung dan kaum masyarakat terpinggirkan lainnya, anak-anak sekitar Kali Code dulunya hanya kumpulan kaum yang pasrah pada nasib. Johny dan kawan-kawan dari GMKI menyadarkan mereka arti penting pendidikan, menemani mereka belajar, bermain dan sebagainya.

Dalam aksi ini dia terinspirasi oleh Paulo Freire pendidik dari Brazil yang memiliki gagasan pendidikan seharusnya bukan cuma penambahan ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, tetapi menjadi proses penyadaran. Inilah yang dipegang terus sampai sekarang oleh Johny dalam mengajar orang untuk berubah ke arah yang lebih baik dengan pertama dia harus menyadari potensi yang ada di dalam dirinya dan juga sadar bahwa pendidikan ini penting agar mereka pun bisa mempunyai daya saing dan nilai tawar yang baik di tengah-tengah masyarakat bukan malah menyerah kepada nasib ataupun percaya dengan mitos-mitos. 

Kota Jogja tampaknya memberi energi yang lebih bagi Johny untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di luar perkuliahan. Selain aktif di GMKI, Johny dan beberapa temannya juga merintis dan menggerakkan kelompok-kelompok Persekutuan Doa dan Pemahaman Alkitab (PA) di daerah sekitar tempat kost-nya di Kampung Kuningan dan di Karang Malang, Yogyakarta. Pesertanya oikumenis, selain mahasiswa juga warga kampung yang berlatarbelakang dari berbagai gereja. 

“Bersekutu dan mengadakan PA dengan warga kampung ada banyak sisi positifnya. Di satu sisi kita bisa bersahabat dengan warga kampung di sekitar kita, di sisi yang lain pada waktu PA itu pasti ada makannya, jadi bagi para perantau jelas menyenangkan. Ada juga teman-teman yang ikut PA sambil melirik-lirik siapa tahu sambil bersekutu ketemu jodoh orang asli Yogya atau mahasiswi lain,”terangnya sambil ketawa. 

Sebagai pemuda Batak perantau Johny juga ikut terlibat dalam Persekutuan Pemuda HKBP (NHKBP) dan turut aktif menjadi Guru Sekolah Minggu di HKBP Jalan Solo. Bersama para perantau Batak lain, Johny juga merintis pendirian Ikatan Mahasiswa Tapanuli Utara dan dipilih menjadi ketuanya. Selain itu ia juga terlibat dalam Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara. 

Johny menjadi mahasiswa ketika muncul aturan dari Menteri Pendidikan waktu itu, yang tertuang dalam Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Aturan ini menegaskan bahwa tugas mahasiswa adalah belajar dan menyelesaikan studinya, bukan terlibat dalam aksi sosial atau politik praktis. Aturan ini dianggap Johny telah memasung mahasiswa sehingga tidak tumbuh kepekaan politik dan sosialnya. Mahasiswa akhirnya kehilangan daya kritis terhadap keadaan di sekitar mereka. 

 

Seorang Kutu Buku

Di luar perkuliahan di Fakultas Hukum UGM dan berbagai organisasi kepemudaan yang diikutinya, Johny dimatangkan oleh bacaan-bacaannya. Dari sejak SMA memang Johny sudah senang membaca, kebiasaan yang tumbuh hingga hari ini. “Buku saya sekarang kira-kira sebanyak 30 ribu, tersebar di Solo dan di Jakarta,”ujarnya dalam wawancara. Nilai-nilai hidup yang dia pegang sekarang, tidak lepas dari berbagai buku yang dibacanya. Bacaan yang digemari Johnya begitu banyak, bukan hanya buku-buku tentang hukum, tetapi juga buku-buku: sejarah, kepemimpinan, politik, hingga novel.

“Saya senang membaca novel-novel dari Rama Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer dan juga Mochtar Lubis. Karya Mochtar Lubis misalnya, menceritakan berbagai hal seputar kemiskinan, kuli kontrak dan ini mewarnai pemikiran saya,”terangnya. 

Johny juga menyukai buku-buku teologi. Sewaktu kuliah di Yogya, Johny menggemari buku tulisan para pastor dari Pusat Kateketik Yogyakarta. Judulnya beragam seperti “Gereja adalah Kata Kerja”, “Panggilan Orang Kristen dalam Masyarakat Modern”. Buku-bukunya tidak terlalu tebal, isinya praktis dan harganya juga murah sesuai dengan kantong mahasiswa perantau. Dari tempat kost-nya Johny rela mengayuh sepeda berkilometer jaraknya demi mendapatkan buku-buku terbitan Pusat Kateketik Katolik tersebut. Kebiasaan membaca Johny tidak pernah surut bahkan hingga sekarang. Sebuah hobi yang ditularkan kepada rekan-rekan kerjanya dan juga keluarganya. Johny bahkan bermimpi, di masa mendatang ia bisa membangun sebuah rumah yang di dalamnya memiliki ruang perpustakaan yang cukup luas yang diberinya nama “Johny Library” dan sebuah ruangan untuk diskusi. Di sana diharapkan orang-orang bebas datang, membaca, belajar, berinteraksi, berdiskusi dan mengembangkan diri. 

Buku-buku yang dibaca mewarnai struktur dan cara berpikir Johny. Makin lama ia makin paham, bahwa ketidakadilan itu timbul bukan karena orang malas. Tetapi karena ada satu sistem sosial, struktur politik, dan sistem ekonomi yang membuatnya manusia menjadi demikian. Sebagai seorang aktivis dan penggerak demokrasi ia menegaskan sistem yang tidak adil inilah yang harus ditelanjangi dan dibongkar. 

 

Lulus dan menjadi aktivis

Johny lulus dari UGM dan beroleh gelar Sarjana Hukum tahun 1981. Orangtuanya berharap ia menjadi hakim seperti seorang kerabatnya. Namun visi hidup Johny yang sekarang sudah jauh berbeda dari ketika masa remaja. Pengalamannya saat berorganisasi yang sering bersinggungan dengan masalah sosial masyarakat, membuat Johny bertekad jika lulus ia tidak akan berniat untuk menjadi hakim, aparat hukum atau pegawai negeri. “Bekerja dalam lingkungan Orde Baru tidak memungkinkan kita memiliki kebebasan,”terangnya.  

Jalan hidup membawanya membawanya bergabung dengan Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS), sebuah yayasan sosial milik gereja di Solo yang yang memiliki kepedulian sosial dan misi-misi praksis pendampingan masyarakat termasuk dalam hal ini pendampingan hukum. 

“Tugas awal saya di YBKS melayani berbagai kegiatan umum, seperti menerima kunjungan konsultasi dan memberikan ceramah-ceramah tentang hukum dan sebagainya. Banyak petani atau warga pedesaan dari Sukoharjo ataupun dari Karanganyar yang datang dan ingin mendengar berbagai ceramah hukum, misal: hukum perkawinan, mengenai perjanjian, masalah tanah, dan sebagainya. Hal yang demikian tidak susah bagi kita, karena memang diajarkan di bangkus kuliah,”katanya. “Namun, yang paling menarik adalah kesempatan berinteraksi dengan masyarakat. Rasanya begitu bahagia bisa menolong banyak orang dan membuat saya terhanyut. Maka kemudian saya berpikir, inilah pekerjaan yang cocok buat saya. Yaitu mendampingi dan mendengarkan persoalan masyarakat,”lanjutnya. 

Sebagai staf YBKS, pernah ia harus mendampingi para pekerja seks komersial (PSK) di daerah Silir, Solo. Inilah awal persinggungannya dengan para PSK dan juga orang-orang yang bekerja di sekitar lokalisasi terbesar di Solo tersebut. 

Banyak para PSK tersebut yang buta huruf, sehingga dia membenahi dengan mendidik mereka supaya bisa membaca dan juga mengubah pola pikir mereka. Setelah itu ia berharap mereka bisa keluar dan mencari pekerjaan lain. Kemudian timbul pertanyaan, jika mereka ingin keluar dari lokalisasi ke mana mereka harus pergi? Apa yang bisa mereka kerjakan? Maka Johny bukan hanya melepaskan mereka dari buta aksara namun juga lewat dana yayasan yang dikelola mendidik mereka melalui pelatihan (kursus) menjahit). “Bukan hanya dana penyelenggaraan, malah peserta kami berikan uang transportasi agar mereka tidak merasa rugi,”kata Johny. Inilah yang menurut Johny diakonia tranformatif. Jadi subjek yang dilayani tidak hanya ditolong dalam jangka pendek, namun dimampukan untuk mampu mentransformasi diri menuju kemandirian dan kehidupan yang memberi manfaat bagi manusia lainnya. 

Persinggungan lainnya adalah ketika ia harus mendampingi para buruh sebuah perusahaan swasta di Solo yang diperlakukan tidak adil dalam hal upah dan jaminan kerja. Johny memberikan pendampingan, pembelajaran hukum dan mengajarkan cara-cara agar buruh memiliki keberanian dan kemampuan untuk lepas dari bayang-bayang penindasan yang memang sudah lama terjadi sejak zaman kolonialisme ataupun feodalistik. “Para buruh terlebih di kota Solo biasanya hanya bisa pasrah atau nrimo bila ditindas oleh pemilik modal. Bahkan ada yang merasa diberi kesempatan bekerja sudah bersyukur,”terang Johny. 


Sekitar tahun 1987 Johny dilantik menjadi pengacara dan tak lama kemudian dipercaya memimpin Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) di Solo. Ia  semakin memiliki keberanian untuk berjuang mengubah  tatanan yang tidak adil, salah satunya adalah dengan memobilisasi masyarakat memprotes ketidakadilan di sekitar mereka. 

Suaranya yang vokal dalam membantu masyarakat kecil menjadikan Johny diincar oleh orang-orang yang tidak suka terhadap sepak terjangnya. Saat menjadi incaran jajaran intelejen Orde Baru, dia memiliki kiat agar tidak tercium aktivitasnya. “Caranya adalah kita harus memiliki seribu wajah,”katanya. Hari ini dia sebagai pengacara, lain waktu ia  tampil sebagai Ketua Perkumpulan Marga Simanjuntak di Solo atau pelayan gereja di HKBP. Tentara dan juga intel yang dari kalangan Batak akan melihat tidak ada yang aneh dari kegiatan Johny di perkumpulan marga maupun kegiatan gereja.  Di masyarakat dia juga memainkan peran sebagai ketua RT dan Ketua. Dalam setiap peran yang dilakoni Johny tidak ingin menonjolkan diri dan berusaha tidak perlu akrab saat ada pertemuan dengan petinggi sehingga menyamarkan segala kegiatan yang dilakukan sebagai aktivis.  “Mengahadapi rezim Orde Baru saat itu kita harus punya strategi yang bagus. Jangan menonjolkan diri, jangan tampil di publik, lalu perlihatkanlah kalau dirimu itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan Presiden Soeharto,”kata Johny. 

Meski Presiden Soeharto sudah lengser dari 1999, dan sistem yang dibangun Orde Baru ikut rubuh ternyata tidak semua hal segera pulih. Menurut Johny ada yg belum terbongkar seperti mentalitas birokrasi pengelolaan negara. Hal itu dipandang Johny karena pemerintahan Orde Baru yang berlangsung lebih dari 30 tahun telah membentuk karakter para pegawai dan birokrat Indonesia.  Yang harus disyukuri sekarang adalah suasana kebebasan berpendapat dan berorganisasi sudah berjalan baik. Meskipun menurut Johny belum sempurna, karena begitu banyak pendapat dan kritikan kepada pemerintah ataupun wakil rakyat yang masuk, namun kebijakan publik tetap saja tidak mengalami perubahan yang signifikan. 

 

Mendampingi warga Kedungombo

Johny juga terlibat aktif dalam mendampingi masyarakat Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah ketika kampung mereka mesti ditinggalkan karena dijadikan area pembangunan waduk. Yang pertama, ia mendorong dan menggerakkan warga untuk menolak pembangunan waduk, yang meskipun punya tujuan besar dalam rangka pembangunan pertanian, namun mengorbankan hak asasi dan kehidupan ribuan keluarga di sekitar Kedungombo. Ketika dirasa pembangunan waduk tidak mungkin ditolak, ia mendampingi warga untuk menuntut pemberian ganti rugi yang layak sesuai harga tanah yang normal. 

Masyarakat kecil yang tidak mempunyai tenaga dan kekuatan harus melawan preman-preman yang dibekingi pemerintah demi memuluskan proyek pembangunan. Ketika rakyat menuntut hak mereka melalui demo, berita yang disebarluaskan pemerintah adalah mereka digerakkan unsur-unsur komunis dan dianggap melakukan perbuatan subversif karena dianggap melawan negara. 

Johny dengan teguh dan berani hadir untuk melawan membela hak masyarakat Kedungombo yang tidak terpenuhi. Pendampingan hukum dilakukan secara rutin sambil memonitor setiap hasil keputusan yang diambil. Akhirnya masyarakat memperoleh ganti rugi yang layak, bahkan Johny juga memperjuangkan agar masyarakat kecil ini bisa diberi hak untuk mengelola lahan di bagian tepian waduk yang bila musim kemarau kering, sehingga bisa ditanami kacang atau tanaman palawija. 

Keberanian dan konsistensinya mendampingi masyarakat Kedungombo dinilai positif oleh para juri sehingga ia diganjar Yap Thiam Hien Award periode pertama pada 1992. “Menjelang penyerahan hadiah saya disembunyikan terlebih dahulu di rumah Gus Dur untuk menghindari pantauan aparat keamanan,”kenang Johny. 

Penghargaan ini tidak membuat Johny berpuas diri malah memacunya untuk semakin berjuang melawan ketidakadilan yang terjadi. Tidak hanya berkarya di Pulau Jawa, di Sumatera dia turut membantu mendirikan Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang salah satu tokohnya adalah Asmara Nababan. Melalui KSPPM yang berdiri di tahun 1984, masyarakat didorong dan disadarkan untuk mengurus akta kepemilikan tanah, sehingga tanahnya tidak dicaplok tanpa ada ganti rugi. Melalui lembaga ini Johny sering berkeliling ke berbagai daerah untuk membantu memberikan suatu penyadaran atau penjelasan kepada masyarakat tentang hak asasi manusia dan hukum. 

 

Gereja adalah kata kerja!

Terhadap gereja Johny memiliki harapan besar gereja-gereja di Indonesia yang tidak hanya sibuk mengurusi hal beribadah atau berkhotbah, atau sibuk berbicara soal tentang etika dan doktrin saja. Gereja harus bisa masuk dalam gelanggang pergumulan masyarakat. Banyak lembaga gereja yang bergerak di bidang sosial seperti kehabisan nafas atau mengalami mati suri. Mereka memerlukan energi besar dan energi itu mestinya bersumber dari warga gereja itu sendiri. 

Idealnya setiap warga mesti berperan mendukung kegiatan sosial gereja bukan hanya kegiatan sosial jangka pendek melainkan diakonia tranformatif. “Gereja adalah kata kerja, gereja itu berbuat!” jelas Johny. “Para teolog semestinya janganlah hanya sibuk mengelola Alkitab, tapi membuat pesan Alkitab itu menjadi nyata dan dekat dengan kehidupan kita,”ujarnya. Baginya  Johny Firman Tuhan itu bukan hanya yang tertulis, tapi juga pesan yang ada di balik tulisan tersebut. Kasihilah sesamamu manusia, itu sebuah contoh pesan tertulis dari Alkitab. Tapi di balik itu ada 1000 makna lain, seperti: pertobatan, solidaritas, pemberian diri, dan sebagainya. Itulah yang harusnya kita hayati,”ujarnya.

Memilih jalan untuk menjadi aktivis yang membela keadilan bagi sesama sudah mendarah daging di dalam diri Johny. Dalam setiap doanya kepada Tuhan: “Berikanlah saya kemampuan untuk membantu orang lain”. Lingkungannya pun turut mendukung perjuangannya, dari mulai orangtuanya, istrinya dan kedua anaknya Joel dan Ramos. Johny menjalani hidup ini dalam keyakinan penuh akan penyertaan Tuhan, baginya hidup ini seperti air yang mengalir saja. Karena memang prinsip untuk selalu merasa cukup tidak pernah berubah dari hidupnya. Teringat pesan Yesaya 11:5 “seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang", demikian Johny Simanjuntak yang setia menempuh jalan sunyi, membela mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Semoga Tuhan Yesus senantiasa menyertai Anda dan keluarga!

Pelando Panjaitan