Jonathan L. Parapak: Profesional dan Pelayan Yang Setia

Jonathan L. Parapak: Profesional dan Pelayan Yang Setia

 

Kampung halaman Jonathan Limbong Parapak, di Rantepao, Tana Toraja pada dasawarsa 40-an hingga awal 60-an yang masih sulit dijangkau orang luar. Daerahnya yang bergunung-gunung dan situasi politik pada masa itu mempersulit pembangunan. Namun hal tersebut malah menumbuhkan tekad bagi Jonathan untuk rajin belajar. Tujuannya, agar dapat membawa Rantepao dikenal dunia luar. Beberapa tahun kemudian, ia berhasil membuktikan diri menjadi seorang profesional yang tangguh. Ia membangun Indosat menjadi sebuah perusahaan telekomunikasi Indonesia terkemuka. Ia tidak hanya membawa Rantepao, tapi seluruh Indonesia terkoneksi jaringan telepon. Namun, ia juga dengan luar biasa merintis dan membangun berdirinya Perkantas (Persekutuan Antar Universitas). Melalui Perkantas disemai bibit-bibit mahasiswa yang tinggi iman namun juga tinggi ilmu, dengan membangun kecintaan pada Alkitab yang diyakini oleh Jonathan sebagai sumber inspirasi dan kebenaran dari Tuhan. 

Jonathan Parapak lahir pada 12 Juli 1942 “Saya sebenarnya nyaris lahir di hutan. Hanya karena anugerah Tuhan saya bisa hidup seperti saat ini. Saat itu ibu saya yang sedang hamil tua pergi mengungsi dari Rongkong (Luwu Utara–Sulawesi Selatan) dan harus menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki melewati hutan. Ibu sudah kelelahan dalam perjalanan. Untunglah, karena pertolongan Tuhan, lewatlah para pencari damar di hutan. Rombongan mereka menaiki kuda. Maka, ibu dibantu menaiki kuda mereka sampai ke La’bo (Toraja Utara – Sulawesi Selatan). Di situlah saya dilahirkan,”katanya. Waktu Jonathan lahir kedua orang tuanya belum memeluk agama Kristen. Jonathan baru dibaptis pada umur 7 tahun. Waktu dibaptis ia belum memiliki Alkitab sendiri. 

Separuh dari masa remajanya ia habiskan di desa. Pada masa itu situasi politik dan keamanan tidak menentu akibat pemberontakan DI/TII. Kegiatan belajar mengajar tidak berjalan dengan baik, sekolahnya pun berlumpur, sangat minim fasilitas, bahkan Jonathan pergi ke sekolah dengan telanjang kaki, karena tidak memiliki sepatu. Setiap pulang dari sekolah ia turun ke sawah dan kemudian menggembalakan kerbau. “Saya bersyukur bahwa Tuhan mengizinkan saya melalui semua perjuangan hidup tersebut. Semua yang saya alami malah menumbuhkan motivasi saya untuk semakin rajin belajar,”katanya. 

Lulus dari SMP dengan hasil yang baik, Jonathan melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMA. Kebetulan di Rantepao pada saat itu baru dibuka SMA. Keadaan sekolahnya cukup memprihatinkan. Belum ada guru tetap, sementara ruangan kelasnya dibentuk dari aula yang dipinjam. Kelas tiga SMA, kakak iparnya mengantar Jonathan ke Makassar untuk menyelesaikan sekolah di SMA Negeri Bawakaraeng. “Di Makassar saya mulai berkenalan dengan Alkitab, walaupun belum membaca Alkitab secara regular,”katanya. 

Jonathan lulus pada tahun 1961, meskipun selama setahun tinggal di asrama yang kurang terurus, makanan yang sangat kurang dan lingkungan yang kurang mendukung untuk belajar dengan baik.  

Perjumpaan itu Mengubah Hidup

Selepas SMA, Jonathan sebenarnya diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin di Makassar. Pada waktu yang bersamaan ia mengikuti proses seleksi beasiswa Colombo Plan. Ternyata Jonathan terpilih dan ia bersama beberapa mahasiswa lainnya berangkat ke Australia, pada November 1961. Keberangkatannya ke Australia tidak pernah ia duga sebelumnya. Bekal utamanya hanya sebuah tekad kuat untuk sukses. Kemampuan Bahasa Inggrisnya pada waktu itu masih sangat terbatas. 

Jonathan tidak pernah hidup dalam rumah yang diterangi oleh listrik hingga ia merasakannya ketika pindah ke asrama di Makassar. Di Australia ia memberanikan diri untuk mengambil jurusan listrik arus lemah (telekomunikasi). Kuliah di Fakultas Teknik Universitas Tasmania itu dirasakan cukup berat baginya. Kuliahnya dimulai pukul Sembilan pagi hingga pukul satu siang. Setelahnya dilanjutkan dengan praktikum dari pukul dua siang sampai pukul lima sore. Tak jarang praktikum berlangsung sampai malam hari. Tekadnya untuk belajar sebaik mungkin membuat Jonathan menyelesaikan studi tepat waktu dengan hasil yang cukup baik. Ia kemudian diterima melanjutkan studi pada strata II, Program Master of Engineering Science, yang diselesaikan tepat waktu pula.

Di samping perkuliahan, selama di Australia Jonathan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Hal tersebut ikut membentuk kemampuan kepemimpinan dan melatihnya bekerja sama dengan berbagai unsur masyarakat. Ia ikut menjadi pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tasmania. Jonathan juga sempat menjadi pengurus Gereja setempat.

Di Australia inilah ketertarikan Jonathan untuk mendalami Alkitab bertumbuh. Awalnya dimulai lewat perjumpaan dengan seorang rekan kuliah di laboratorium fisika. Rekannya mengajak Jonathan untuk bertemu dalam kegiatan pendalaman Alkitab bersama. Entah mengapa Jonathan tidak menolak ajakan tersebut. Mula-mula pesertanya hanya dua, ia dan rekannya tersebut. Sesudahnya bertambah jadi empat orang, kemudian delapan, dan akhirnya berkembang menjadi persekutuan di universitas dan ia sendiri terpilih menjadi ketua persekutuan. Rekan yang mengajaknya belajar Alkitab bersama kini malah sudah menjadi Pendeta di Gereja Anglikan di Australia. 

Setelah menyelesaikan studi, Jonathan kembali ke Indonesia tahun 1969. Pada 4 Desember 1971, ia menikah dengan Anne Berniece Atkinson, rekan sepelayanan yang dipertemukan di kegiatan persekutuan doa kampus di kampusnya. Ia memulai karier awalnya sebagai staf IMC Engineer di PT Indosat pada tahun 1969, sampai akhirnya ia duduk sebagai Direktur Utama perusahaan tersebut dari 1980 hingga 1991. 

Mengabdikan Diri kepada Firman Allah 

Pengalaman persekutuan mahasiswa di Australia membuat Jonathan betul-betul menyadari bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Saat kembali ke Indonesia, ia rindu mahasiswa-mahasiswa di Indonesia juga memiliki semangat yang sama dalam membaca dan merenungkan firman Tuhan. Tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, Jonathan juga terlibat aktif menggerakkan pendalaman Alkitab di gerejanya, GKI Kwitang dan di berbagai komunitas persekutuan. Ia juga mulai menulis materi-materi untuk pemahaman Alkitab. Pekerjaan menulis bahan PA terus ia lakukan sambil mengajak orang-orang untuk melakukan PA bersama. 

Setelah beberapa lama, Jonathan dan dua sahabatnya, memiliki rencana untuk mendirikan komunitas pendalaman Alkitab seperti yang kami lakukan di Australia. Komunitas pendalaman Alkitab itu kami beri nama Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas). 

“Waktu memulai membentuk komunitas itu, beberapa orang mengira ini ajaran sesat, sampai saya dipanggil oleh majelis gereja dan beberapa warga jemaat untuk diinterogasi,”katanya. “Tapi, saya percaya bahwa orang melihat track record kita karena perkataan kita mungkin sangat terbatas dan sulit. Saya tidak pernah keluar dari gereja bahkan sangat terlibat di dalam pelayanan gereja,”lanjutnya. 

Fokus utama Perkantas tentu saja mempelajari Alkitab dan pemuridan yang dimulai dari kelompok-kelompok kecil, setelah itu mereka diutus untuk memuridkan orang lain. “Kami melakukan ini karena percaya Alkitab benar-benar satu kumpulan kebenaran dari Tuhan yang menjadi bekal kehidupan manusia dalam segala hal,”tegasnya dengan yakin. “Dulu kami memulai dengan tiga orang, saya, Soen Siregar, dan Jimmy Kuswadi, sekarang sudah ada 262 pelayan tetap Perkantas, di mana setiap tahunnya menjangkau kira-kira 100.000 mahasiswa, alumni, dan siswa. Dasar pelayanan kami adalah Alkitab.”

Jonathan memandang, ketika seseorang mahasiswa duduk di bangku kuliah, pada saat itulah ia banyak bertanya tentang arti kehidupan, tujuan hidup dan sebagainya. Alkitab menurut Jonathan adalah penuntun untuk memandu mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang kehidupan. “Saya bertumbuh melalui pendalaman Alkitab (PA) yang diawali oleh dua orang. Pertumbuhan spiritual dan keimanan bagi saya sangat ditunjang oleh peranan Alkitab. Karena itu, bagi saya orang yang mau bertumbuh dalam iman dan spiritualitas harus mendalami Alkitab dan kita harus menularkan kepada orang lain,”tuturnya. 

Kerja dan Pelayanan: Semua untuk Pemberitaan Firman

Sebagai seorang insinyur atau scientis, Jonathan didorong untuk memahami kebenaran yang mendalam. Apakah kebenaran yang hakiki itu? “Alkitab memang bukan ilmu science, tapi kalau kita bertanya terus secara mendalam, maka Alkitablah yang dapat memberikan jawaban dan kebenaran yang hakiki,”terangnya.

Sebagai seorang dengan dasar pendidikan Teknik Elektro, sudah tentu Jonathan belajar dan membaca banyak buku elektro, tetapi ia mengakui lebih banyak membaca buku teologi. “Mungkin karena itulah saya banyak dipanggil untuk berkhotbah. Dulu, waktu pulang dari Australia, ada teman yang mangusulkan kepada saya untuk menjadi pelayan Tuhan full time saja. Saya secara khusus berdoa untuk itu dan jawabannya adalah saya mau keduanya. Menjadi pelayan di Perkantas dan juga bekerja sebagai profesional,”katanya.  

Jonathan meyakini bahwa semua yang ia peroleh saat ini adalah berkat pemberian Tuhan. “Saya tidak pernah terpikir kalau akan menjadi Direktur Utama Indosat (1980-1991), Sekretaris Jenderal Departemen Pariwisata Seni dan Budaya (1998-1999), Komisaris di berbagai perusahaan maupun Rektor Universitas Pelita Harapan (UPH), tapi itu semua itu berkat dan jalan Tuhan sendiri. Saya juga tidak pernah bercita-cita menjadi Direktur Utama di salah satu perusahaan Amerika, tapi ternyata bisa. Semua hanya anugerah Tuhan,”tuturnya. 

Sejak menjadi mahasiswa, Jonathan sudah terbiasa menyampaikan khotbah. Hal itu berlanjut bahkan hingga saat ini. Ketika bekerja di berbagai tempat dan profesi, ia selalu mendorong adanya ibadah Kristen. Tujuannya adalah agar firman Tuhan terus diberitakan dan dihayati. Begitupun dalam lingkup keluarga besarnya, Jonathan memprakarsai diadakannya ibadah setiap sebulan sekali untuk pendalaman Alkitab dan itu berlangsung sampai saat ini. Jonathan juga baru saja menerbitkan buku kecil mengenai seri PA bagi keluarga yang diterbitkan oleh Divisi Literatur Perkantas. “Dalam pemikiran saya, orang yang tidak mendalami Alkitab dengan tekun sulit untuk berkata bahwa kehidupan spiritualnya kaya. Untuk bisa bertumbuh dan berbuah kita harus hidup dalam firman Tuhan,”tegasnya. 

Sebagai rektor UPH, Jonathan memiliki visi untuk mengembangkan pendidikan yang berpusat pada Kristus. “Statement kami yaitu, Alkitab adalah firman Tuhan. Karena itu, kepada para staf dan dosen baru saya selalu menekankan Alkitab adalah firman Tuhan. Kalau mau masuk UPH harus percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Setiap materi yang mereka ajarkan harus dihubungkan dengan wawasan kristiani. Karena itu, kami tidak segan mengeluarkan dosen yang mengajar di luar prinsip Alkitab. Jadi, sebelum mereka masuk, mereka harus menandatangani perjanjian dan komitmen tersebut,”terangnya.  

“Bagi saya, Alkitab sangat penting dan tentu juga bagi semua orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang mengatakan bahwa mereka perlu Alkitab, saya sangat tersentuh dan tergerak untuk membelikannya. Jadi, saya sering membeli Alkitab dalam jumlah ribuan untuk dikirim ke teman-teman atau kepada mereka yang berada di daerah sulit. Persoalan utamanya adalah kalau Alkitab jarang dibaca dan tidak didalami, tidak melekat dan tidak menjadi bagian dari kehidupan,”lanjutnya.  

Jonathan tidak pernah lelah untuk mendorong umat tekun membaca Alkitab. Bukan hanya di Jakarta, Jonathan juga mempromosikan Gerakan Cinta Alkitab kepada rekan-rekannya di Gereja Toraja. Ia bahkan menjadi ketua panitia 100 tahun Injil masuk Toraja. Belakangan, ia juga merintis berdirinya sebuah kelompok yang diberi nama LIFE (Lembaga Integrated Family Endrichment). Anggotanya terdiri dari dua puluh pasang suami-istri yang peduli dengan keluarga di Indonesia untuk mengembalikan kehidupan keluarga berdasarkan Alkitab. 

Saya Seorang Yang Berutang

Jika ada orang yang bertanya, mengapa Jonathan yang adalah ahli kelistrikan dan komunikasi bersedia terjun ke dalam dunia pendidikan, maka jawabannya adalah untuk membayar utang. Sewaktu ia pulang dari Australia, Jonathan merasa harus membayar utang beasiswa yang telah ia terima selama ini. Jadi, saat dirinya bekerja di Indosat dan saat ada kesempatan, ia mengajukan diri untuk menjadi dosen di Universitas Indonesia. Tentu juga karena ada misi lainnya, yaitu memasukkan dan mengembangkan persekutuan mahasiswa Kristen melalui Perkantas di sana. “Untuk melakukan hal tersebut harus dikerjakan oleh orang dalam, jadi saya masuk sebagai dosen elektro. Tuhan mengizinkan kita memakai jalur-jalur yang baik dan diterima untuk menyampaikan firman Tuhan dengan cara-cara yang baik,”katanya. 

Sebagai orang yang berasal dari kalangan tidak berada, Jonathan menyadari bahwa oleh pertolongan Tuhan ia dapat bersekolah hingga tinggi bahkan sampai jenjang pascasarjana. Maka, sewaktu kembali dari Australia, ia mempunyai tiga komitmen, yaitu profesional, pelayanan, dan pendidikan. Bukan hanya di tingkat universitas, Jonathan juga merintis pendidikan untuk tingkat menengah. Ia merintis berdirinya SMA Kristen Barana di Tana Toraja. “Sekolah tersebut lahir di rumah saya sendiri,”katanya.  

“Bagi saya ini adalah panggilan dan jalan Tuhan. Saya sungguh menikmati berada di dunia pendidikan dan pelayanan, sama seperti saya menikmati dunia profesional. Ini adalah rentetan dari karunia Tuhan yang membuat hidup ini sangat berarti,”katanya lagi. 

Pada umur yang menjelang 80 tahun seperti saat ini, hampir semua orang mengatakan “tidak usah repot-repot”. Sudah waktunya menikmati hidup. Tapi bagi Jonathan, pelayanan dan karya tidak mengenal pensiun. “Kembali lagi kepada Alkitab, di situ tidak ada istilah pensiun. Selagi Tuhan masih memberikan kekuatan dan kesehatan, kita harus setia sampai akhir untuk melayani di mana pun Tuhan tempatkan. Saat ini saya mengetuai banyak yayasan pendidikan seperti yayasan penelitian, yayasan pendidikan papua, yayasan pendidikan di Palembang, dan yayasan universitas sekaligus sebagai rektor UPH. Saya menjalani semuanya dengan sukacita,”terangnya. 

Firman Tuhan Mempertemukan dan Menginspirasi

Jonathan sangat bersyukur memiliki istri yang mendukungnya penuh dalam pelayanan. “Saya dan istri, Anne Berniece Atkinson, dipertemukan dalam persekutuan dan pelayanan bersama saat di Australia. Sudah 47 tahun usia pernikahan kami. Dia selalu mendampingi dan menjadi penerjemah ketika saya berkhotbah dan sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Suatu kebahagiaan menikah dengan wanita yang goldly lady, dan betul-betul terpanggil dalam satu visi pelayanan,”katanya bahagia. 

Setiap pagi Jonathan dan istrinya memulai hari dengan membaca Alkitab bersama. Meski ia banyak membaca buku teologi, Jonathan membaca setiap renungan yang dikirimkan oleh teman-teman melalui grup WhatsApp. Karena ia sering berkhotbah, Jonathan juga memiliki jadwal khusus untuk melakukan pendalaman Alkitab pribadi. “Dahulu waktu saya masih tinggal di Jakarta, setiap hari saya mendengarkan Alkitab audio, sehingga perjalanan dari Jakarta ke Karawaci yang cukup memakan waktu itu tidak terbuang percuma,”katanya. Baik dalam karya profesional maupun dalam pelayanan Jonathan menjalaninya dengan tekun dan setia. 

Alkitab menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering dalam hidup Jonathan, yang memberi tuntunan baginya dalam karya maupun pelayanan yang demikian padat. “Saya terinspirasi pada tokoh Yusuf dan Daniel karena konsistensi dan integritas mereka tidak perlu diragukan lagi. Namun, saya juga tertarik pada Nehemia karena ia peduli dengan kondisi masyarakat yang terpuruk. Saya diinspirasi oleh Yeremia, seorang muda yang merasa tidak sanggup, namun dipakai oleh Tuhan dengan luar biasa. Saya diinspirasi juga oleh Petrus yang mengalami jatuh bangun, namun dipulihkan dalam perjumpaan dengan Yesus, juga oleh Paulus dalam semangatnya. Tentu saja, pemberi inspirasi nomor satu adalah Tuhan Yesus,”terangnya mengakhiri percakapan.