Kekuatan Kata-kata

Kekuatan Kata-kata

 

Pada Perayaan Natal Umat Kristen dan Katolik tahun 1947 di Yogyakarta yang diadakan di Gereja Protestan (De Protestantse Kerk in Nederland Indie – yang kemudian menjadi Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat atau GPIB) yang terletak di sebelah Istana – Gedung Agung – Yogyakarta, Presiden Sukarno mengawali sambutannya dengan berucap, “Pada mulanya adalah KATA”. 

“Pada mulanya adalah KATA” – In den beginne was het Woord. Presiden Sukarno yang mengalami pendidikan pada jaman Belanda dan mempunyai pergaulan dengan kawan-kawan orang Belanda sangat paham dengan kutipan Injil Yohanes 1:1 dalam Bahasa Belanda. Selanjutnya Presiden Sukarno berkata “Dalam KATA terkandung gagasan” dan dilanjutkan tentang gagasan kemerdekaan Indonesia. 

Alkitab Terjemahan Baru dari Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan Yohanes 1:1 dengan: “Pada mulanya adalah Firman”. Alkitab dalam Bahasa Belanda, maupun Bahasa Inggris sama-sama menyebutkan, “Pada mulanya adalah KATA” (Eng: In the beginning was the Word).  Bisa jadi, pidato Presiden Sukarno yang berbunyi: “Dalam kata terkandung gagasan”, merujuk pada Injil Yohanes 1:1 versi Bahasa Yunani, “Pada mulanya adalah Logos”. Menurut kamus arti kata “logos” adalah: 1). Ucapan, kata, 2). Buah pikiran, akal budi, 3). Tujuan. Logos juga berarti buah pikiran atau gagasan atau yang dalam bahasa masa kini disebut ‘wacana’. Logos adalah Wacana Allah. Oleh karena itu ada beberapa universitas Kristen di negeri ini mengusung kata wacana sebagai nama mereka, seperti: Universitas Kristen Satya Wacana, Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Kristen Artha Wacana, dan lainnya.

Jika dalam kata terkandung gagasan, maka kita harus berhati-hati dalam berkata-kata. Hati-hati dengan apa yang kita ucapkan, karena tanpa disadari alam bawah sadar kita akan menyimak kata-kata itu apa adanya, bukan apa yang kamu maksudkan di baliknya atau “Apa yang kamu katakan itulah doamu” demikian pepatah/nasihat sederhana dari orangtua kita yang jika kita lakukan dapat menjadi pemicu berbagai perubahan dalam hidup kita. Ada kekuatan dalam kata-kata.

Kekuatan kata-kata mampu mengubah seseorang untuk lebih berpikiran positif tentang hidupnya. Jika apa yang kita katakan merupakan sarana perwujudan impian kita, maka kita harus belajar untuk mengatur kata-kata kita. Misalnya, kita tidak lagi menggunakan "tidak bisa" melainkan "bisa" atau mengubah kata “tidak pernah” menjadi “belum pernah”. Kata-kata yang kita pilih mampu menginisiasi perubahan dalam hidup kita. Misalnya "Tugas ini sulit, saya tidak bisa menyelesaikanya”. Jika kata-kata tersebut kita ubah menjadi "Saya bisa menyelesaikan tugas ini, walau sulit". Maka semua terjadi, bukan? Atau ketika kita ditanya “Anda pernah ke Paris?” Ketika Anda mengubah jawaban dari “Saya tidak pernah ke Paris” menjadi “Saya belum pernah ke Paris”, maka Anda sudah membuka harapan dan peluang dalam diri Anda sendiri untuk pergi ke Paris. Jadi, pilihlah kata-kata yang baik, semua itu punya kekuatan mengubah keadaan kita.

Jika sedemikian kuat kata-kata yang kita ucapkan sehingga mampu mengubah hidup kita, lalu bagaimana dengan pengaruh kata-kata yang kedengarannya begitu indah namun tidak bermakna apa-apa, atau tidak berdampak pada orang yang mendengarkannya? Kita ambil contoh, ketika pemerintah perlu menyampaikan persoalan seputar penanganan kasus COVID-19, hampir semua media massa melakukan gelar wicara dan gelar tayang terkait COVID-19.  Namun, jika kita perhatikan, sudahkah kata-kata yang keluar dari pemimpin negeri ini dipahami oleh masyarakat dan memberikan dampak yang diharapkan? Imbauan dan langkah persuasif terhadap masyarakat perlu dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Pendekatan bersisi tilik budaya diyakini lebih relevan dan efektif. Gunakan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Kita perlu selalu memilih kata dengan bijaksana. Apalagi seorang figur publik, sangat perlu menghindari pemilihan kata-kata secara sembarangan, sehingga akhirnya yang bersangkutan harus menarik “rem darurat” untuk mengoreksi pernyataan sebelumnya.

Soal pemilihan kata-kata yang tepat, Lembaga Alkitab Indonesia juga sangat hati-hati dalam menerjemahkan Alkitab. Contoh, dalam Injil Yohanes 1:1, LAI memilih kata, “Pada mulanya adalah Firman”, ini sudah sangat tepat. Firman Allah adalah perkataan Allah, sabda Allah dan sekaligus menjelaskan hierarki hubungan Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaanNya. Sebaliknya, pemilihan kata “het Woord” dalam Bahasa Belanda atau “the Word” dalam Bahasa Inggris juga tepat. Masing-masing bahasa menunjukan budaya dimana bahasa itu berkembang. Demikian juga penerjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa daerah, LAI harus memilih kata yang tepat. Jangan sampai LAI harus menarik “rem darurat” dan mengoreksi hasil terjemahan yang sudah dipublikasikan. Jika saat ini LAI sedang berproses “Pembaharuan Alkitab Terjemahan Baru” itu bukan karena LAI sedang menarik “rem darurat” karena terjadi salah penerjemahan, melainkan menyesuaikan dengan perkembangan bahasa saat ini. 

Memercayai apa yang tertulis dalam Alkitab menyadarkan kita bahwa kata-kata yang kita pilih dan ucapkan benar-benar berdampak dan membawa perubahan pada hidup kita dan orang-orang di sekitar kita. Dalam kata terkandung makna, gagasan, tujuan, dan harapan serta doa, sudah sepatutnya kita menata dan mengatur kata-kata kita. Dunia ini diciptakan dalam perkataan Allah. Segala perubahan dalam hidup kita juga berawal dari kata-kata. Mari menjadi bijak dalam berkata-kata, karena ada kekuatan dalam kata-kata.

Pdt. Sri. Yuliana. M. Th