Keluarga Handianto Tjokrosapoetro: Lewat Batik Keris untuk Tuhan dan Indonesia

Keluarga Handianto Tjokrosapoetro: Lewat Batik Keris untuk Tuhan dan Indonesia

 

Batik Indonesia telah dikenal secara mendunia. Bahkan, UNESCO pun mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Ada tiga alasan UNESCO mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia lisan dan non-bendawi. Pertama, ilmu batik yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Kedua, peran batik yang demikian melekat dalam kehidupan manusia Indonesia dari mulai kelahiran, sebagai alat menggendong bayi, kehidupan setiap hari, hingga kematian sebagai kain penutup jenasah.  Ketiga, batik digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai busana masyarakat Indonesia dan bahkan kini telah meluas ke berbagai negara lain.  

Berbicara soal batik, siapa yang tidak mengenal Batik Keris, salah satu perusahaan batik terbesar di Indonesia? Batik Keris telah jauh berkembang dari semula perusahaan pembuatan batik tradisional, berkembang menjadi usaha garmen, dan selanjutnya toko-toko yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain melestarikan budaya Indonesia melalui pakaian (batik, ikat, lurit, dan lainnya), Batik Keris merangkul Usaha-usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan menjadikan toko-tokonya sebagai "Pusat Kerajinan Nusantara". 

Handianto Tjokrosapoetro (alm.), sebagai generasi ketiga Tjokrosapoetro yang memimpin dari akhir tahun 90-an mengharapkan Batik Keris nantinya bukan hanya payung yang memberi kehidupan bagi banyak orang, namun juga menjadi perusahaan pelestari budaya bangsa. Misinya mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan negeri yang demikian kaya dengan beragam budaya: seni suara, tari, kerajinan, dan pakaian. Bagi Handianto, keanekaragaman bukanlah pemecah, tapi justru sebagai pemersatu Bangsa Indonesia. Batik Keris melestarikan budaya Nusantara dengan menggali dan mengembangkan berbagai seni desain dan pakaian, seni kriya, seni tari, dan bahkan seni suara dengan cara mempopulerkannya di tengah masyarakat sesuai zamannya. 

Bermula dari Usaha Batik Kecil-kecilan

Pada 1920, Kwee Tiong Djing, Kakek Handianto merintis usaha batik kecil-kecilan di Jl. Nonongan, Solo. Kwee Tiong Djing kemudian mempunya anak yang diberi nama Kwee Som Tjok. Kwee Som Tjok kemudian dikenal dengan nama Kasom Tjokrosapoetro. Tahun 1947 dianggap tonggak penting usaha batik keluarga ketika Kasom dan istrinya Gaitini mulai mendirikan usaha batik sendiri, dan membuka toko batik yang bernama “Keris” di daerah Nonongan, Solo. 

“Jadi semua dimulai dari usaha keluarga. Nama Batik Keris mungkin karena diilhami oleh filosofi budaya Jawa yang diambil dari dunia pewayangan. Selain keris yang merupakan senjata tradisional khas Jawa, ada 3 nama pewayangan yang terkenal: Semar, Arjuna dan Kresna. Itu juga menjadi nama-nama usaha Batik. Antara pemilik Batik Keris dan Batik Semar bahkan masih ada hubungan saudara dengan mertua saya,”terang Ibu Lina Tjokrosapoetro, istri Bapak Handianto(alm.), yang kini memimpin usaha Batik Keris sepeninggal suaminya.  

Karena Toko “Keris” terus berkembang, pasangan Kasom mendirikan pabrik batik kecil di daerah Kemlayan, Solo,  di belakang Toko “Keris”. Tahun 1970, usaha semakin berkembang, ketika perusahaan keluarga berubah menjadi PT. Batik Keris dan kemudian mendirikan pabrik printing di Kleco, Solo, kemudian membuka toko di Sarinah, Jakarta (1972) dan selanjutnya membuka kantor pusat dan pabrik utama di daerah Cemani, Sukoharjo, di selatan Solo. 

Untuk menunjang kebutuhan bahan baku agar tidak terganggu oleh fluktuasi pasar, maka pada tahun 1974 pemegang saham PT. Batik Keris mendirikan PT. Dan Liris. Perusahaan baru ini diarahkan untuk memproduksi benang, pertenunan, finishing pewarnaan serta usaha konfeksi (pakaian jadi). Nama Dan Liris mempunyai arti tersendiri bagi pendirinya. Dan Liris mengandung filosofi seperti air hujan rintik-rintik yang tak kunjung reda. Begitu juga harapan yang dipegang Kasoem Tjokrosaputra, PT. Dan Liris diharapkan akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang tiada henti bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Sekitar pertengahan 90-an, perusahaan dibagi-bagi di antara putra-putra keturunan Opa Kasom. Kakak-kakak Pak Handianto memperoleh usaha tekstil, sementara suami saya meneruskan usaha Batik Keris,”katanya. 

Dipimpin Handianto Tjokrosapoetro

Batik Keris dikembangkan oleh Pak Handianto bukan hanya sebagai perusahaan penjual kain dan busana batik, tetapi mengembangkannya menjadi Pusat Kerajinan Nusantara dengan menggandeng UKM-UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dari berbagai daerah. UKM-UKM tersebut dibimbing, dibina dan diberikan saluran penjualan melalui toko-toko Batik Keris. 

“Memang Bapak demikian mencintai budaya Indonesia dan bercita-cita melestarikan budaya Indonesia dengan mencintai, melestarikan dan menggali bentuk-bentuk budaya itu sendiri bersama UKM-UKM daerah. Daerah-daerah awal yang dibina oleh Pak Handianto adalah Gunung Kidul dan Wonogiri, terutama di daerah-daerah pelosoknya yang tandus dan minus,”kata Ibu Lina. 

“Dari membina UKM di dua daerah tersebut, akhirnya berkembang sampai ke Bali, Lombok dan daerah-daerah lain. Menurut Bapak almarhum, para pengrajin-pengrajin tersebut sebenarnya punya talenta hanya saja tidak ada yang membina, mendampingi dan membantu memberikan modal,”tuturnya. 

Pak Handianto dalam membantu UKM memiliki prinsip bahwa usaha kerajinan kecil perlu ditopang dan ditolong agar bisa hidup dan berkembang. Ia mengarahkan UKM dengan memberikan contoh model pesanan, dan barangnya setelah jadi dibeli lepas oleh Batik Keris. Sistem pembayaran langsung ini membuat UKM senantiasa punya modal untuk terus berkarya dan berkembang. 

“Pak Handianto selalu berpikir bagaimana kehidupan para pengusaha UKM tersebut bisa terangkat. Hubungan dengan UKM-UKM juga sudah seperti hubungan persahabatan dan persaudaraan yang menjadikan Batik Keris sebagai Pusat Kerajinan Nusantara. Puji Tuhan meskipun Bapak menggunakan sistem beli lepas dan berisiko merugi, Batik Keris senantiasa diberkati Tuhan,”kata Ibu Lina. 

“Memang situasi pandemi seperti sekarang ini membuat penjualan kerajinan mengalami kemandekan. Situasinya serba tidak mudah. Karena pembeli utama dari kerajinan yang dijual di Batik Keris adalah para turis-turis asing, sementara pandemi membatasi kunjungan wisatawan ke Indonesia. Namun saya percaya Tuhan pasti akan memberikan jalan dan membagikan berkatnya lewat Batik Keris agar menjadi saluran berkat Tuhan hingga ke daerah,”lanjutnya. 

Ditutupnya mal-mal selama masa pandemi dan kunjungan turis mancanegara yang menurun memang menyulitkan Batik Keris sebagai “Ibu Asuh” Kerajinan Nusantara. Batik Keris belakangan mulai berjuang membangun saluran penjualan dan distribusi baik produk kain, konfeksi hingga kerajinan melalui sistem penjualan online. Prinsipnya menurut Ibu Lina adalah terus berjuang, berusaha dan mengandalkan pimpinan Tuhan. 

Tiap Usaha Batik Punya Ciri Khas 

Di Kota Solo, sebagai salah satu kota pusat industri Batik di Nusantara, Batik Keris hanyalah satu di antara ratusan usaha Batik baik besar maupun kecil. Apa yang membedakan Batik Keris dari perusahaan Batik lainnya?

“Memang sekarang usaha batik berkembang demikian pesat. Bangga rasanya kalau budaya Indonesia dicintai oleh bangsanya sendiri. Penerimaan yang baik dari masyarakat membuat kita terinspirasi untuk menghasilkan karya yang lebih baik setiap hari. Tiap perusahaan batik boleh dikatakan mempunyai ciri khas motif dan warnanya masing-masing sesuai dengan filosofi dasar pemilik perusahaan tersebut. Filosofi dasar pemilik perusahaan akan tergambar dalam corak motif dan warna dari batik yang dihasilkan. Di samping warna-warna dasar Batik Jawa yang berwarna sogan (hitam dan putih), dalam perkembangannya Batik Keris sendiri diinspirasi warna-warna batik Indonesia, warna-warna cerah peranakan Cina maupun warna-warna Belanda,”tuturnya. 

“Seperti sebuah lukisan yang menggambarkan ciri khas masing-masing pelukisnya, demikian pula perusahaan batik punya gaya dan corak sendiri yang membedakannya dari perusahaan batik lain. Hal tersebut membuat para pengusaha batik tidak pernah berpikir untuk saling menyikut dan bersaing tidak sehat. Karena memang tiap perusahaan punya temanya sendiri-sendiri dan keragaman gaya tersebut bisa saling menginspirasi,”lanjut Ibu Lina. 

Berkaitan dengan motif, Ibu Lina menyebut meskipun era modern penuh dengan kebebasan dan kreativitas berkarya, namun untuk batik kreativitas tetap harus mengikuti pakem dan aturan dalam motif-motif dasar batik yang telah ada. Pakem dasar tidak berubah, hanya desain dan pewarnaan bisa dikembangkan mengikuti zaman dan tren pasar. 

“Misal anak-anak muda masa kini cenderung suka kemeja yang slim fit. Warna-warnanya yang disukai mereka mengikuti tren. Kalau di tahun-tahun yang lalu warna merah menjadi warna tren, belakangan anak muda seperti kembali ke selera warna dasar hitam dan putih,”katanya. 

Di perusahaan Batik Keris ada tim desainer dan tim kreatif yang bekerja senantiasa membuat tema-tema baru untuk desain batik, namun tetap di bawah arahan pemilik perusahaan. Prinsipnya adalah bagaimana menyatukan ide-ide kreatif  agar batik bisa diterima bukan saja oleh konsumen dari pulau Jawa, melainkan seluruh Indonesia bahkan dunia. Bu Lina menambahkan bahwa selera busana batik bukan hanya berdasarkan rentang usia, jender namun juga latar belakang daerah. 

“Toko-toko kita yang tersebar di seluruh Indonesia tidak selalu menjual koleksi yang sama, karena permintaan konsumen setiap daerah tak jarang berbeda. Misal, di toko-toko Batik Keris di kota Solo dan Yogya, pembelinya suka yang warna sogan, didominasi warna tanah dan hitam putih. Sementara di toko kami di Medan, para pembelinya lebih menyukai busana batik dengan warna dasar merah atau cerah. Di Bali para pembeli lebih menyukai Batik Bali, tentu kita harus pahami keinginan dan harapan konsumen,”jelasnya. 

Karyawan adalah Keluarga

Seperti halnya perusahaan keluarga yang sudah dijalankan turun-temurun, Batik Keris menjadi pohon yang memberi kehidupan bagi generasi lintas generasi turun-temurun. Banyak dari karyawan batik keris sekarang, orang tuanya dulu juga bekerja di sana. Bu Lina memandang karyawan bukan sekadar pekerja atau bawahan, melainkan bagian dari keluarga besar. 

“Setiap saya berkomunikasi dengan karyawan, saya selalu menyebut mereka adalah bagian keluarga. Keluarga kita, keluarga Batik Keris yang harus saling mendukung. Di luar pekerjaan saya luangkan waktu untuk sekadar bertemu, mengadakan santap bersama, silaturahmi dan berbagai kegiatan kebersamaan lainnya,”kata Ibu Lina. 

Bukan hanya Ibu Lina, di masa Pak Handianto masih ada, beliau suka meluangkan waktu ngobrol dengan para karyawannya. Bukan sekadar basa-basi, tapi sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Ini juga kebiasaan yang sudah turun-temurun dari keluarga perintis usaha batik ini, untuk senantiasa menjaga hubungan dengan para pekerjanya. 

Di luar keakraban sehari-hari, setiap hari Jumat, ketika karyawan muslim menjalankan shalat Jumat, karyawan Batik Keris yang beragama Kristen juga mengadakan persekutuan doa di kantor. Suasananya begitu akrab. “Hanya saja, situasi pandemi membuat pertemuan dan persekutuan langsung tidak memungkinkan. Persekutuan sekarang kami lakukan secara online. Seperti juga perusahaan lain di masa pandemi, Batik Keris juga membatasi aktivitas kantor langsung bagi para karyawannya. Aktivitas lebih banyak dilakukan lewat WFH (work from home) kecuali di unit produksi, di mana karyawan yang masuk dibatasi. 

Melayani Tuhan dengan Hati

Sebagai pemilik usaha yang memiliki karyawan ribuan dan toko yang tersebar di seluruh Nusantara bisa dipastikan kesibukan Pak Handianto dan Ibu Lina demikian tinggi. Belum lagi mereka mesti memantau dan mendampingi UKM-UKM dari berbagai daerah. Meski demikian, keluarga Handianto dikenal sebagai keluarga yang memiliki jiwa sosial tinggi. Mereka suka berbagai dan melayani, terutama untuk mendukung pekerjaan Tuhan. 

“Kami memulainya sebagai ungkapan syukur. Semua yang ada pada kami hanyalah anugerah. Dari sejak kami membangun rumah tangga, meneruskan usaha Batik Keris, mengembangkan usahaa hingga Bapak sakit sedemikian lama dan akhirnya dipanggil Tuhan, kami terus merasakan pimpinan Tuhan yang tidak pernah berhenti. Bahkan dalam keadaan sulit ketika Bapak sakit kami masih boleh melihat mujizat dari Tuhan,”tutur Ibu Lina. 

“Mujizat tersebut kalau saya boleh ceritakan dari penderitaan kanker yang Bapak alami. Bapak menjalani proses-proses penyembuhan dan pengobatan dengan berserah. Bahkan menjelang meninggal beliau tidak merasakan kesakitan, sehingga tidak membutuhkan suntikan morfin, tidak memerlukan obat tidur. Beliau hanya tertidur selama seminggu, kemudian Tuhan memanggilnya pulang,”lanjutnya. 

Awal Perjumpaan dan Tantangan Iman

Bagaimana mulanya hingga seorang Handianto Tjokrosapoetro dan Ibu Lina berjumpa? Tidak jauh-jauh, ternyata dunia perbatikan yang mempertemukan dan akhirnya menyatukan mereka. 

“Jadi awal perjumpaan kami di Pasar Klewer, Solo. (Pasar Klewer dulunya merupakan pasar tradisional batik terbesar di Indonesia). Seingat saya waktu itu saya sudah berkuliah di Semarang, di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag). Saat libur kuliah atau akhir pecan saya pasti membantu ibu saya yang memiliki kios Batik di Pasar Klewer. Saat itu Pak Handianto juga masih anak kuliah. Sebagai anak pengusaha batik, yang membantu usaha orang tuanya, dia sering survei ke kios-kios di Pasar Klewer untuk mencari ide-ide kreatif batik baru. Kebetulan salah satu kios batik yang komplit adalah kios batik ibu saya. Di kios itulah awal mula pertemuan kami,”kenang Ibu Lina. Semakin sering bertemu, ternyata komunikasi di antara mereka berlanjut, dan merasakan kecocokan. Mereka pun sepakat untuk melanjutkan hubungan ke dalam ikatan perkawinan. 

Pada saat itulah perbedaan di antara keduanya mulai muncul. Ibu Lina sedari kecil sudah teguh memegang keyakinan dan imannya terhadap Tuhan Yesus. Iman yang diperkenalkan oleh omanya kepadanya. Sementara Pak Handianto, meskipun berlatar belakang Kristen juga, karena memiliki latar belakang pendidikan dari luar negeri selalu memandang segala sesuatu secara rasional. Konsep pemikiran Pak Handianto muda pada waktu itu adalah bahwa Yesus itu sama seperti nabi-nabi yang lain. Baginya tidak mungkin Tuhan menjadi seorang manusia, bahkan mengalami kematian dan menjadi Juruselamat manusia. Konsep itu ia pegang bahkan hingga menikah. 

“Memang hal itu menjadi pergumulan saya, tapi namanya jodoh saya menerimanya dan selalu berdoa kepada Tuhan. Saya sering bertanya kepada Tuhan, kok diberikan suami yang seperti ini? Bapak bukan tidak percaya kepada Tuhan, bukan seorang ateis, tapi baginya Yesus bukan satu-satunya sumber keselamatan. Juruselamat itu menurutnya tidak hanya diperoleh melalui Yesus saja,”kata Ibu Lina. 

Menjelang menikah muncul masalah baru lagi. Pak Handianto tidak mau menerima pemberkatan di gereja. Saat diajak berdiskusi bersama, bahkan ia dengan keras menyatakan: jangan memaksa saya!

“Hati saya sedih sekali waktu itu. Saya kembali berdoa kepada Tuhan. Saya sampaikan kepada Pak Handianto bahwa saya adalah seorang Kristen taat yang dari kecil sudah mengaku percaya dan sudah menerima baptisan. Saya sampaikan bahwa dalam sebuah pernikahan harus ada berkat Tuhan. Kalau memang tidak ada pemberkatan atau berkat Tuhan melalui hamba-Nya, saya tidak bisa melakukannya. Bukan saya menyatakan hubungan diakhiri, namun saya memintanya untuk berpikir atau mengundurkan waktu. Saya ingin keyakinan dan iman saya diakui calon suami saya,”katanya. Setelah mengungkapkan isi hatinya, Lina merasakan damai sejahtera. 

Dalam prosesnya, Handianto akhirnya bersedia menerima pemberkatan, namun bukan di gedung gereja. Kali ini Ibu Lina tidak mempermasalahkan, karena baginya gereja bukan sekadar gedung atau bangunan, namun tempat kudus di mana Tuhan hadir. Mereka akhirnya menerima pemberkatan di rumah. 

Setelah menikah, keadaannya masih sama. Setiap hari Ibu Lina berdoa dan tekun dalam membaca Kitab Suci, sementara Pak Handianto sebaliknya. Setiap hari Minggu saat keluarga-keluarga lainnya berangkat ke gereja bersama, Ibu Lina berangkat dan beribadah sendiri, karena suaminya belum mau ikut ke gereja. 

Ibu Lina tidak pernah menentang pandangan suaminya secara terbuka. Namun, ia senantiasa membawa pergumulannya melalui doa kepada Tuhan. Ia berharap seluruh keluarganya nanti menjadi percaya dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Seiring berjalannya waktu doa Ibu Lina didengar oleh Tuhan. Kelahiran putri pertamanya, Elvina Tjokrosapoetro pada bulan Desember 1989 menjadi berkat dan kebahagiaan bagi keluarga, namun juga pembuka jalan Bapak Handianto untuk mengenal Yesus dengan lebih dalam. 

Titik Balik 

Suatu hari Batik Keris mengalami masa stuck yang luar biasa. Tekanan sebagai pemimpin perusahaan besar membawa rasa stress bagi Pak Handianto. Begitu sering terjadi permasalahan di pabrik, termasuk berbagai demonstrasi yang terjadi pada masa itu. Dulu kan pabrik-pabrik besar itu suka didemo oleh LSM-LSM dan serikat perburuhan. Pak Handianto pada suatu titik merasa capai. Sudah bekerja benar, tapi terus saja menerima demo dan tekanan. 

Akhirnya muncul pertanyaan dalam hatinya: sebenarnya di manakah damai sejahtera yang sejati itu? Ia punya usaha batik, punya uang tapi terasa selalu ada yang kurang. Di sisi lain ia melihat sang istri yang lebih bisa pasrah menghadapi kehidupan. Akhirnya pertanyaan-pertanyaan lama muncul kembali dalam hatinya: Benarkah Yesus itu Juruselamat? Tapi sebagai seorang rasional ia menginginkan bukti dari Tuhan. 

“Saya yakin pada saat itu Roh Kudus mulai menggerakkan hati dan pikiran Bapak untuk berpkir tentang Tuhan Yesus,”kenang Ibu Lina. 

Suatu pagi Bapak di hari Minggu, sekitar pukul empat pagi Ibu Lina melihat Bapak sudah bangun dan sudah duduk termenung. Bagi Bu Lina, Bapak terbangun dini hari dan duduk termenung sudah pemandangan sehari-hari. Karena sebagai pemimpin perusahaan yang mempekerjakan ribuan karyawan, di belakang Pak Handianto bergantung nasib ribuan keluarga, ribuan orang. Pagi-pagi ketika hari masih gelap Pak Handianto memang sering terbangun dan memikirkan berbagai ide untuk pengembangan perusahaan. 

Pagi harinya, suster pengasuh menitipkan Elvina, anak pertama mereka yang masih berumur satu bulan, kepada Pak Handianto. Karena sang suster mau membersihkan kamar Elvina. Sementara saya sendiri sedang ada di kamar belakang. Sedang bermain bersama Elvina, muncul sebuah pikiran dari Bapak untuk mempertanyakan kuasa Tuhan. “Jika Yesus benar-benar Tuhan, ia pasti mampu membuat Elvina tengkurap dan mengucapkan kata mami,”demikian kata Pak Handianto dalam hati. Kalau Tuhan ada berarti pembuktian harus ada. Padahal saat itu usia Elvina, putri mereka baru satu bulan dan belum waktunya untuk mampu tengkurap. 

Tiba-tiba Ibu Lina mendengar teriakan kencang Pak Handianto memanggil namanya dari dalam kamar. Ibu Lina dengan kaget bergegas menuju kamar. Ia sempat merasa cemas, takut Elvina jatuh atau mengalami sesuatu. Sesampai di kamar Bapak menunjuk ke arah Elvina yang sedang tengkurap. 

“Saya sambil menangis, memanggil suster. Karena sebagai ibu muda, saya waktu itu belum punya pengalaman melihat anak satu bulan tengkurap, saya sangat khawatir. Suster waktu itu masuk kamar dan ikut terkejut dan bahkan menyalahkan kami. Mengapa kalian main-main dengan keselamatan anak kalian? demikian kata suster tersebut. Suster menganggap kami sengaja menengkurapkan bayi kami. Saya merespon dengan melihat ke arah Bapak dengan muka marah. Tapi Bapak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya,”kenang Ibu Lina. 

Suster kemudian pelan-pelan mengangkat Elvina, dan saat Elvina dalam gendongan suster, terdengar suaranya  jelas: mami! Pak Handianto semakin kaget dan meneteskan air mata. Waktu mereka tinggal berdua di dalam kamar, Pak Handi menyampaikan kepada Ibu Lina bahwa tadi di dalam kamar ia berpikir tentang damai sejahtera dan ingin mencari bukti dari Tuhan. 

“Saya mengatakan pada beliau, itu adalahTuhan yang bekerja. Jadi jangan sembarangan lagi ngomong minta bukti. Nah, sore harinya ketika saya hendak berangkat ke gereja tiba-tiba Bapak mengatakan: Saya Ikut!” Sebuah pernyataan yang mengagetkan namun juga membahagiakan Ibu Lina. Penantian panjangnya beroleh jawaban dari Tuhan. 

Masih ia ingat di dalam gereja yang berkhotbah Pdt. Gideo dari GKI Jawa Timur. Khotbahnya mendasarkan pada kisah Injil pengakuan Thomas setelah menyaksikan langsung kebangkitan Yesus. Ayat utama perikop: Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya sangat mengetuk hati Pak Handi. Ia pun menangis di dalam gedung gereja. 

“Saya heran dan bertanya: mengapa kamu menangis, karena bagi saya ayat ini memang sudah sering sekali saya dengar. Bapak menjawab: perkataan Tuhan ini terlalu dalam. Selama ini Pak Handi hanya berpikir secara rasional dan selalu minta bukti kehadiran Tuhan. Ternyata peristiwa pagi hari di rumah dan khotbah hari itu mengena di hatinya. Tidak ada perasaan lain yang bisa saya ungkapkan selain rasa haru atas pertobatan Bapak,”kata Ibu Lina. 

Sejak saat itu Roh Kudus terus memimpin kehidupan keluarga. Pak Handi semakin tekun belajar mengenal Tuhan dan malah pada akhirnya keaktifannya dalam kegiatan dan pelayanan gereja melebihi Ibu Lina. Lebih dari itu Tuhan menggerakkan Pak Handi untuk menolong usaha-usaha kecil (UKM) agar memiliki Ibu Asuh untuk memasarkan kerajinan karya mereka. Ibu Lina yakin sekali bahwa ini juga karya Tuhan dalam hidup keluarga mereka. Karena di samping menghidupkan ekonomi di berbagai desa, juga membawa dampak kesejahteraan bagi banyak orang. 

“Sebagai contoh kerajinan di daerah Gunung Kidul. Awalnya yang diajari hanya satu dua orang kepala rumah tangga. Akhirnya usaha kerajinan topeng tradisional tersebut berkembang hingga sampai tiga desa,”demikian kata Bu Lina.  

Dari Oma menurun ke Para Cucu

Jika melihat keteguhan dan kesabaran Ibu Lina menunggu pertobatan Pak Handi mungkin kita bertanya, dari mana iman tersebut berasal? Apakah Ibu Lina sudah mengenal Yesus dari kecil? Ibu Lina menyebut yang membawanya ke gereja waktu kecil adalah omanya. 

“Papa dan mama saya waktu itu belum percaya Tuhan Yesus, masih memeluk agama lama. Oma membawa saya ke Sekolah Minggu dekat rumah kami, di daerah Balong, Solo. Kebetulan papa dan mama juga tidak melarang. Oma setiap malam membacakan Alkitab kepada kami cucu-cucunya. Dari situlah iman kami bertumbuh. Seingat saya sewaktu SMP saya sudah memiliki Alkitab saya sendiri dan sudah mulai terlibat dalam berbagai kegiatan remaja di gereja,”kenang Ibu Lina. 

Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, papa dan mama dari Ibu Lina pun bertobat dan mengikut Kristus. Iman Ibu Lina bertumbuh seiring pertumbuhan iman keluarganya. Dan akhirnya dalam pernikahan, Ibu Lina melihat bagaimana tangan Tuhan mengokohkan rumah tangganya, menguatkannya setiap ada pergumulan. 

Semua Anugerah Tuhan

Kini mungkin orang melihat Keluarga Batik Keris sebagai keluarga yang jaya dan sukses. Apa saja yang diinginkan mungkin mudah diperoleh. Tapi Ibu Lina secara pribadi tidak pernah merasakan dirinya sebagai sosok yang istimewa. “Saya tidak pernah merasa sebagai orang yang istimewa, apalagi kalau dari saya sendiri berasal dari keluarga yang sederhana. Kalau dari keluarga Bapak sendiri mereka memang dari latar belakang keluarga pekerja keras. Rata-rata mereka sosok yang rajin bekerja. Mereka ingin terus bertumbuh, bukan karena selalu ingin lebih,  namun karena perasaan bisa melakukan hal yang lebih baik dari waktu ke waktu,”tutur Ibu Lina. 

“Bapak selalu merasa punya tanggung jawab untuk mengembangkan usaha. Karena merasa Tuhan telah memberikan anugerah yang besar, beliau merasa punya  tanggung jawab untuk memajukan dan menolong orang lainnya, maka Batik Keris kemudian bergerak membantu UKM-UKM. Jadi beliau selalu ingin mengembangkan usaha pokok batik agar dapat menutup biaya-biaya mengembangkan UKM-UKM tersebut,”terang Ibu Lina. 

Lebih lanjut Ibu Lina menjelaskan dalam mengembangkan UKM-UKM, Batik Keris sebagai Bapak atau Ibu Asuh harus siap berkorban. Karena sistem beli lepas yang Pak Handi terapkan dalam upaya menghidupkan UKM. “Batik Keris dengan demikian harus mampu menjaga kualitas barang,  siap menerima risiko barang cacat dan rusak, dan siap juga mengalami risiko barang tidak laku, seperti ketika pandemi terjadi seperti sekarang,”terang Ibu Lina lagi. 

“Pada saat pandemi Covid-19 sekarang terasa sekali bahwa kita kesulitan untuk menjual karya-karya kerajinan UKM tersebut, karena pembeli utama kami biasanya adalah wisatawan-wisatawan mancanegara. Tapi prinsip kami adalah semua ada karena anugerah Tuhan. Jadi kami yakin bahwa berkat Tuhan pasti akan datang tepat pada waktunya. 

“Saat ini boleh dikatakan iman kita diuji seperti perjalanan Musa dan bangsa Israel melintasi padang pasir menuju Kanaan. Saya hanya bisa berdoa: Tuhan pimpin saya dengan tiang awan dan tiang api. Beri kami keselamatan sampai Tanah Terjanji. Yang keluar dalam doa saya hanya ucapan itu terus-menerus. Terkadang ada rasa takut, khawatir yang muncul tapi kalau melihat bahwa hingga hari ini Tuhan masih mencukupkan kebutuhan kami, saya hanya bisa mengucap syukur,”katanya. 

Ketika Pak Handianto jatuh sakit dalam waktu yang panjang dan akhirnya dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga, Ibu Lina secara jujur menyatakan sempat mengalami kekecewaan, dan kekhawatiran. Timbul pertanyaan dalam hatinya: Kok bisa begini? Mengapa Bapak yang rajin melayani Tuhan harus mengalami sakit kanker? Mengapa ketika Bapak sedang berbuat banyak kebaikan, Tuhan malah begitu cepat memanggil? Mengapa meninggal dalam usia belum terlalu tua?

Setelah kepergian Bapak, sempat Ibu Lina tidak pergi ke gereja hampir tiga bulan. Hatinya merasa belum cukup kuat untuk hadir di rumah Tuhan. Karena setiap hadir di gereja ia selalu ingin menangis. Ajakan dari beberapa teman belum mampu meluluhkannya untuk beribadah di rumah Tuhan.  Akhirnya setelah cukup lelah menjauh dari gereja, sebuah perenungan dalam batinnya membawanya kembali. Ia teringat kepada Juruselamat sejatinya, yaitu Tuhan Yesus. Yesus yang Anak Allah sejati pun harus menjalani cawan pahit kehidupan. Yesus pun mesti mati muda, namun tidak kecewa kepada Bapa-Nya. Karena setiap hal di dalam hidup-Nya tidak pernah lepas dari melakukan kehendak Sang Bapa. Umur Yesus ketika mesti menjalani penyaliban juga baru 33 tahun. Ia menjadi sadar kembali bahwa setiap hal dalam kehidupan tidak lepas dari rencana Bapa di Sorga. Tugas setiap manusia adalah menjalankan hidup-Nya sesuai rencana Bapa. 

Hidup untuk Melayani Tuhan 

Ibu Lina pun teringat pengalaman lama bahwa sesungguhnya usia Pak Handi sudah Tuhan perpanjang cukup lama untuk menyelesaikan berbagai pelayanan di dunia. Pada usia 40 tahun Pak Handi menderita penyumbatan jantung dan harus menjalani operasi. Secara mendadak dari hasil pemeriksaan kedua sumbatan di jantung Pak Handi lepas dan plong. Operasi dibatalkan. Ternyata Tuhan masih punya rencana untuk Pak Handi. 

“Kalau saya hitung-hitung Bapak sudah diberi anugerah pertambahan usia melebihi Raja Hizkia dalam Alkitab. Bapak meninggal pada usia 56 menjelang 57 tahun. Tuhan sudah memberikan tambahan usia lebih dari 15 tahun. Pelayanan Bapak di dunia sudah usai, rumah di sorga untuk beliau sudah tersedia dan Tuhan memerlukannya untuk pelayanan di sorga,”kata Bu Lina.  

Belakangan ini Ibu Lina melihat kembali kegiatan-kegiatan sosial yang Pak Handi lakukan semasa beliau masih hidup. Banyak bantuan-bantuan sosial di luar gereja yang secara rutin diberikan tanpa Pak Handi harus menceritakan kepada keluarganya. Semuanya dilakukan dalam tenang dan diam, namun banyak orang yang tahu betapa murah hatinya beliau. Semisal bantuan untuk River Heal untuk pendirian Sekolah Alkitab di daerah Tawangmangu Solo, maupun bantuan rutinnya untuk Lembaga Alkitab Indonesia, terutama dalam membantu penyediaan Alkitab Edisi Studi bagi hamba-hamba Tuhan yang tinggal di pedalaman Nusantara. Bantuan itu secara rutin diberikannya sepanjang bertahun-tahun tanpa keinginan untuk dieskpose. Bahkan tetap dilakukannya ketika beliau sakit.

Sebagai penerus Batik Keris, maka tidak ada jalan lain bagi Ibu Lina dan anak-anaknya kecuali melanjutkan cita-cita almarhum Handianto untuk menjadikan Batik Keris sebagai Pusat Budaya Nusantara. Melaluinya banyak UKM-UKM bisa tertolong, banyak usaha-usaha rumahan berjalanan dan banyak kehidupan bisa tertopang. Secara khusus Ibu Lina berharap bahwa melalui kehidupan keluarga mereka nama Tuhan dimuliakan. Saat Bapak sudah menderita sakit pun, beliau tak jarang mengingatkan keluarganya untuk tidak melupakan panggilan pelayanan dari Tuhan buat gereja dan sesama. 

“Dulu para pengusaha di daerah melihat sosok Bapak sebagai sosok yang hidupnya digerakkan oleh Tuhan Yesus. Mereka tahu Bapak adalah orang Kristen. Dan melalui pelayanan Bapak bisa membantu banyak orang. Kami selalu meyakini bahwa hidup dan semua yang ada semata anugerah Tuhan. Semua berasal dari Tuhan. Semoga kami bisa menerusan harapan Bapak, memuliakan nama Tuhan melalui apa yang Tuhan berikan,”pungkas Ibu Lina menutup perbincangan.