Ketika Aku Lapar

Ketika Aku Lapar

Sapaan LAI

Sejak kelas satu SMP atau ketika umur saya sekitar 12 tahun, saya sudah belajar menjalani puasa Senin-Kamis, dimana tidak makan minum selama 24 jam setiap hari Senin dan Kamis. 

Saya juga belajar puasa "mutih" tiga hari (sebelum, saat hari H, dan sesudah "weton"/hari lahir dalam penanggalan Jawa) dengan hanya minum air putih, makan sedikit nasi putih tanpa lauk apapun dan kadang diselingi makan mentimun, kalau ada.

Pembelajaran saya soal puasa bukan dari ajaran orang tua, tetapi ajaran lingkungan, di mana teman-teman sebaya saya dan teman yang lebih tua saling memberi masukan: "kalau ingin berhasil dalam hidup, harus prihatin dan tahan lapar."

Beberapa kali saat liburan kuliah hampir satu bulan di rumah  yang muslim dan saat bulan puasa, saya ikut menjalani puasa ramadhan sampai lebaran. Bagi saya puasa lebaran jauh lebih ringan dibandingkan dengan puasa Senin-Kamis dan "puasa mutih".

Tradisi puasa Senin-Kamis dan puasa "mutih" saya jalani sampai tahun 1984, berakhit ketika saya "nyaris mati" karena infeksi usus buntu yang akut. Karena alasan kesehatan maka tradisi puasa Senin-Kamis dan "puasa mutih" tidak saya teruskan.

Dari pengalaman menjalani puasa, saya sungguh merasakan secara konkret bagaimana rasanya lapar yang sungguh-sungguh lapar. Tubuh jadi lemas dan susah berpikir. Dalam keadaan seperti ini, aktivitas yang paling nyaman adalah tidur, mengistirahatkan tubuh, berhibernasi. 

Di sisi lain saya belajar aspek spiritualitas dari menjalankan tradisi puasa. Saya bisa lebih sabar, mampu mengendalikan emosi, lebih sensitif terhadap belarasa, dan lebih reflektif serta sensitif terhadap "suara Tuhan".

Rasa lapar bila karena tidak ada yang dimakan dan diminum, bukan karena kesengajaan puasa, pastilah lebih sengsara penderitaannya.  Perilaku tak terkontrol bisa saja terjadi karena didorong pemenuhan kebutuhan fisik.

Tuhan Yesus dalam pelayanan-Nya sering sekali mengajak makan murid-muridnya. Dia juga memberi makan 5000 orang. Dia paham betul rasanya lapar karena pernah mengalami secara riil dalam puasa empat puluh harinya. 

Di tengah pandemi Covid-19 LAI terus berupaya "memberi makan" rohani melalui program dan produk berbasis Alkitab. Lapar rohani diekspresikan dalam keresahan, ketakutan, kekhawatiran, dan rasa putus harapan. Program harian, mingguan, dua mingguan dan even-even online LAI diarahkan untuk memberi solusi hal-hal di atas.

Salam Alkitab untuk Semua.

Dr. Sigit Triyono