KITA MENGUASAI TEKNOLOGI [WE HAVE THE TECHNOLOGY]

KITA MENGUASAI TEKNOLOGI [WE HAVE THE TECHNOLOGY]

 

Belum lama ini beredar daftar 10 Sekolah Swasta Terbaik di negeri ini berdasarkan hasil Tes Potensi Skolastik Ujian Tulis Berbasis Komputer atau TPSUTBK tahun 2020. Hasil yang mengejutkan adalah kesepuluh sekolah tersebut adalah Sekolah-Sekolah Kristen atau Katolik. Mengapa demikian? Pendidikan dalam budaya Judeo-Kristen sudah berkembang sejak lama, mungkin bahkan lebih tua daripada kitab suci kedua agama tersebut karena kitab-kitab suci itu (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan bagian-bagianya) selain memuat Firman Tuhan juga memuat refleksi pengalaman iman yang dicatat oleh para penulisnya.

Mari kita lihat Kitab Amsal yang dibuka dengan kata-kata bijak sebagai berikut: “Amsal-amsal Salomo bin Daud, Raja Israel, untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikannya pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan kepada orang tak berpengalamanan, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda – baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan – untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak. Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” [Amsal 1:7].

Pembukaan Kitab Amsal ini mengandung visi bangsa Israel sebagai umat Allah tentang pendidikan serta etos tentang pendidikan serta dampaknya dalam bentuk kepandaian, kecerdasan, kejujuran, kebenaran serta keadilan. Oleh karena tidak mengherankan jika Gereja-Gereja Protestan dan Gereja Katolik sangat peduli dengan pendidikan. Mengapa pendidikan Kristen/Katolik unggul? Ada dua hal: disiplin dan latihan berpikir kritis serta terbuka.

Disiplin. Kehidupan penuh disiplin sangat dirasakan oleh siswa-siswa sekolah Katolik yang dikelola pater-pater dan suster. Pengalaman kehidupan biara yang tertib, rapi serta disiplin latihan rohani diwariskan ke anak didik. Ya adalah ya dan tidak adalah tidak. Mengirim WA message kepada guru agar nilainya dikatrol agar lulus tidak ada kamusnya. Seorang bintang basket yang membawa nama harum sekolah atau pengurus OSIS yang tidak naik kelas/lulus ujian tidak akan diluluskan, sekalipun harus DO. Disiplin mendorong siswa dengan sendirinya belajar mandiri. Untuk siswa jurusan IPA jangan harap bisa naik kelas tanpa rajin berlatih mengerjakan soal-soal matematika, fisika dan kimia. 

Berpikir Kritis dan Terbuka. Reformasi Gereja oleh Luther mendorong orang berpikir kritis terhadap dogma-dogma gereja yang kemudian disertai dengan pembaruan. Reformasi gereja juga menginisiasi tumbuhnya pemikiran kritis dan terbuka di Eropa yang kita kenal sebagai Aufklarung/Renaissance. Periode Aufklarung/Renaissance di Eropa mendorong lahirnya teori-teori sains baru yang terus berkembang hingga kini. 

Di sekolah-sekolah Kristen/Katolik yang menjadi unggulan tersebut, penulisan esai, diskusi/debat serta public-speaking (penyampaian gagasan) menjadi kegiatan belajar mengajar yang baku. Dengan demikian siswa dilatih berpikir jernih, teratur, logis. Tidak jarang dari sekolah-sekolah itu  lahir tulisan-tulisan berbobot bertema sosial dari siswa-siswa jurusan IPA. Hal ini menunjukan bahwa melalui pelajaran agama, PKN, serta bahasa siswa dilatih mengembangkan penalaran dan kepekaan sosial serta cinta Tanah Air. Tidak melulu berkutat pada mapel MAFIA (Matematika-Fisika-Kimia). Selain itu gambaran guru seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals sudah jarang dijumpai di sekolah-sekolah tersebut. Guru bergaya keren banyak dijumpai di sekolah-sekolah zaman sekarang. Artinya kesejahteraan guru terjamin dan mereka bisa fokus pada profesinya sebagai guru. Dan tampilan mereka dengan anak didiknya lebih cocok dilihat sebagai teman/kakak daripada guru sepuh model Umar Bakri.

Lalu bagaimana dengan masa Pandemi COVID-19 ini? Masa Pandemi COVID-19 di negeri ini ditandai dengan beralihnya kelas-kelas tatap muka menjadi kelas-kelas virtual-digital. Sekolah-sekolah Kristen/Katolik unggulan tersebut sudah lama mengadopsi proses belajar mengajar audio-visual di kelas-kelas tatap muka. Proses belajar mengajar dengan menggunakan overhead-proyektor, digital projector/Powerpoint presentation, video tutorial-instruksional, dsb. Dalam kondisi yang demikian, di mana hasil survei “Gaya Belajar Generasi Z”, menunjukan bahwa siswa menghendaki adanya: format belajar mengajar audio-visual, memanfaatkan teknologi digital-internet, menggunakan contoh-contoh konkret, memancing daya kritis siswa, guru yang memposisikan diri sebagai sahabat, memberi ruang untuk berinovasi, maka sekolah-sekolah tersebut tidak mengalami kesulitan ketika harus berpindah haluan dari sekolah tatap muka ke kelas-kelas virtual. Kekurangannya hanya ada pada praktikum Fisika, Kimia, dan Biologi.

Sambil menatap ruang kosong, merenungkan situasi dunia pendidikan saat ini, masa-masa sebelum pandemi, masa pandemi, dan kini menjelang sekolah tatap muka dibuka kembali, bagaimana wajah dunia pendidikan kita 3 hingga 5 tahun ke depan? Terlintas adegan pembuka sebuah film serial TV, sebuah film tentang dunia masa depan yang sangat mengagumkan pada masa itu setidaknya buat saya yang masih siswa sekolah dasar, film “The Six Million Dollar Man”. Terngiang narasi …, “Steve Austin, austronaut, a man barely alive . . . Gentlemen, we can rebuild him … We have the technology …”.  Pandemi telah membuat dunia pendidikan mati suri (barely alive), tapi kita mampu menghidupkannya kembali (rebuild) karena kita menguasai teknologi (we have the technology). Namun bukan itu saja, kita memiliki etos pendidikan yang diwariskan kepada kita sejak jaman Salomo yang tidak pernah pudar hingga kini. Adalah tugas kita bersama untuk tidak berhenti mencari cara/terobosan baru agar masa depan pendidikan di negeri kita hidup dan berkembang, dalam situasi dan kondisi apapun, menciptakan generasi yang disiplin dan mampu berpikir kritis, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang pernah diajarkan oleh para leluhur kita.

Pdt. Sri Yuliana