KROSCEK

KROSCEK

Sabu-Sabu, Satu Bulan Satu Buku

Penahkah Saudara mengalami masa-masa meminjam buku di taman bacaan, membaca koran atau majalah atau meminjam buku di kios buku dipinggir jalan? Dengan membayar Rp. 500-1000,- kita bisa membawa pulang bahan bacaan selama seminggu, lalu dikembalikan dan meminjam lagi demikian seterusnya. Sekarang mungkin semua itu hanyalah nostalgia, kenangan nostalgik bagi mereka yang lahir di era 1980-an dan sebelumnya. Ada masa-masa remaja putri gandrung pada cergam karya Zaldi, Sim atau novel-novel Barbara Cartland, sementara remaja putera asyik masyuk bersama Hans (Panji Tengkorak) atau Ganes Th (Si Buta dari Gua Hantu) atau berkelana di Tiongkok bersama Kho Ping Hoo. Kini bahan bacaan, berita serta informasi tersedia di ujung-ujung jari kita melalui internet. Sayangnya, situasi ini tidak mendorong anak muda di negeri ini gemar membaca. Nama Indonesia jadi dikenal sebagai bangsa dengan tingkat baca yang sangat rendah di dunia.

Hal ini ditunjukan dalam laporan berjudul The World’s Most Literate Nation yang dipublikasikan pada tahun 2016.yang menyebutkan bahwa kemampuan membaca orang Indonesia, berada pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti atau hanya 1 dari 10.000 orang Indonesia yang mempunyai kegemaran membaca Hasil survey  ini diafirmasi oleh hasil Survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 diumumkan pada 3 Desember 2019 bahwa kemampuan membaca orang Indonesia berada pada peringkat 73 dari 79 negara yang diteliti.

Tanggal 8 September oleh UNESCO sejak tahun 1966 ditetapkan sebagai Hari Aksara Internasional (International Literacy Day) untuk mengingatkan bangsa-bangsa akan pentingnya melek huruf bagi setiap warganya, dan perlunya upaya intensif menuju masyarakat yang lebih melek huruf. Meski di negeri kita persentase melek huruf Latin relatif tinggi yakni 93.9%, lebih tinggi dari rata-rata literasi dunia sebesar 86.3%, namun kemampuan membaca saudara-saudara kita relatif rendah.  Mungkin jika Jakarta, Bandung, Jogja, Malang dijadikan ukuran mungkin hasilnya berbeda.  Indonesia memang sangat beragam. Di luar Jawa dan khususnya di Indonesia bagian Timur budaya membaca masih sangat rendah. Padahal, menurut Taufiq Ismail (sastrawan)  “Di AMS (SMA jaman Belanda) kami,  siswa jurusan bahasa wajib membaca 35 buku sastra selama 3 tahun, dan harus membuat tulisan/karangan setiap pekan. Hasil dari pendidikan semacam itu kita dapat kita lihat pada generasi Bung Karno, Bung Hatta, H. Agus Salim, Moch. Natsir, Syarifudin Prawiranegara – para Bapak Bangsa kita”. Namun tradisi membaca para Bapak Bangsa kita terputus, kini kita terpuruk dalam peringkat dunia kemampuan membaca.

Memasuki Abad XXI, informasi tersedia melimpah, namun informasi yang berkualitas, pada saat yang sama juga bercampur dengan informasi sampah/hoaks. Fenomena ini dengan sangat baik dilukiskan dalam film pendek berjudul TILIK yang sejak dipublikasikan melalui kanal Youtube pada 18 Agustus 2020 mampu meraih 15 juta pemirsa dalam waktu 2 pekan. Melalui ikon film ini, Bu Tejo, disampaikan kepada kita bahwa masyarakat awam merasa sudah menjadi bagian dari masyarakat modern jika mereka aktif bermedia-sosial, serta aktif pula meneruskan berita dari media sosial karena pembuat berita di media sosial mereka percayai sebagai orang yang pandai. Hanya orang yang pandai yang mampu bermedia sosial. Namun kenyataannya informasi sampah/hoaks di media sosial jauh lebih banyak daripada informasi yang berkualitas.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Ada cara yang efektif, yaitu dengan membangun literasi media dan menjembatani polarisasi itu. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang teknologi informasi harus tegas untuk membuat pelabelan situs/artikel sebagai hoaks dengan kriteria dan prosedur yang jelas. Selain itu kita juga harus melakukan kontra narasi dengan sumber-sumber yang kredibel terhadap hoaks/opini yang menyesatkan. Yang paling penting lagi adalah melalui kroscek (cross-check). Dengan kroscek masyarakat bisa mengirimkan laporan atau pertanyaan tentang kemungkinan hoaks dari situs berita dan sosial media. Semua lapisan masyarakat, dari semua golongan, perlu membiasakan diri atau membangun budaya kroscek dengan berbagai sumber daya, pengalaman, narasumber dan buku tentunya. 

Sebagai umat beriman, kita percaya bahwa Alkitab merupakan sumber kebenaran. Untuk itu Alkitab harus terjamin kebenarannya. Menjadi tugas berat para penerjemah Alkitab untuk selalu melakukan kroscek kepada sumber-sumber asli agar Alkitab terjaga kebenaranya. Alkitab juga memberi hikmat dan menuntun kita kepada keselamatan melalui iman kita kepada Tuhan. Semua tulisan dalam Alkitab bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:15-17). Dengan membaca Alkitab kita mendapatkan pengetahuan, narasi-narasi tentang kehidupan dan petunjuk arah bagi umat agar tidak tersesat di tengah hutan informasi.          

Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai lembaga penerbitan Alkitab merasa bertanggung jawab pula atas kualitas literasi bangsa kita. Oleh karena itu LAI terpanggil untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara melalui beberapa program literasi, seperti: Pembaca Baru Alkitab, Gerakan Membaca 4-9 Pasal Sehari (G-49), Gerakan Membaca Kabar Baik Untuk Anak, Hari Kunjung Pedpustakaan dan Sabu-Sabu. Satu Bulan Satu Buku. Kalau dulu bangsa kita bisa menerapkan “Sabu-Sabu”, mengapa sekarang tidak? Mari kita hidupkan kembali tradisi itu. Dengan banyak membaca, kita memiliki banyak sumber referensi untuk  melakukan kroscek atas kabar/informasi apapun yang kita terima. Tak terkecuali kotbah-kotbah yang kita dengar dari sumber-sumber lain. Intinya, apapun berita yang kita dengar, mari kita selalu kroscek sekali lagi! Kroscek dengan Buku. Kroscek dengan Alkitab juga. 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.