Le Sense Commun N’est Pas Si Commun

Le Sense Commun N’est Pas Si Commun

 

Beberapa waktu yang lalu beredar berita, “Hati-hati, vaksin COVID-19 mengandung magnet!” Berita ini berawal dari sebuah foto yang menjadi viral dari seorang gadis Canada yang mengunggah foto dirinya yang pada lengannya tertempel sebuah lempeng magnet dengan teks “ … a magnet experiment. No words left to describe this”. Berita ini disambut dengan heboh di dalam negeri. Bahkan isu semakin heboh dengan pemberitaan, “Hati-hati vaksin COVID-19 mengandung microchip yang bisa membuat data diri kita tersebar luas”. Lebih heboh lagi, “Microchip yang disuntikan melalui vaksin COVID-19 bisa membuka data perbankan kita”. 

Tidak hanya itu. Foto gadis Canada itupun diduplikasi dengan mengganti magnet dengan koin Rp. 1000 atau Rp. 500 serta teks yang semakin liar. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Le Sense Commun N’est Pas Si Commun”, demikian ujar Voltaire, seorang filsuf Perancis. “Common sense is not so common”, demikian terjemahan dalam bahasa Inggris atau dalam Bahasa Indonesia, “Tidak banyak orang yang berakal sehat”. Hoaks di atas yang menyebar secara viral membuktikan hal itu. Padahal jika memerhatikan foto dan teks yang dibuat oleh gadis Canada itu tidak bermakna apa-apa. Asumsi dan imajinasi yang berlebih tanpa disaring dengan akal sehat yang membuat unggahan tersebut menjadi viral.

Seorang yang berakal sehat tentu saja hanya akan tersenyum menanggapi ulah gadis Canada itu, “Ada-ada saja”. Seorang yang berakal sehat namun penasaran akan menduplikasi eksperimen tersebut dan membuktikan bahwa unggahan itu hanyalah “prank” seorang remaja.

Persoalan muncul ketika duplikasi eksperimen itu gagal, namun dipaksakan seolah-olah berhasil dan disebarkan dengan informasi yang disinformatif alias menyesatkan. Ketika informasi yang menyesatkan ini disebarkan berulang-ulang, orang banyak yang menjadi percaya. Apalagi dibubuhi dengan ayat-ayat Alkitab. Tentu ini berbahaya untuk masyarakat kita.

Apa yang sebenarnya terjadi? Orang yang berakal sehat tentu akan berpikir berapa liter bahan magnet (besi, nikel) perlu disuntikan kedalam tubuh sehingga mampu membuat lempeng magnet menempel pada tubuh? Demikian juga berapa liter besi termagnetisasi perlu disuntikan sehingga koin Rp. 1000 (nikel) dapat menempel pada tubuh? Lebih konyol lagi adalah orang yang menduplikasi eksperimen itu dengan menggunakan koin Rp. 500. Mengapa? Karena aluminium sebagai bahan dasar koin Rp. 500 tidak bersifat magnetik! Tidak bisa menempel pada magnet.

Lebih jauh lagi orang lalu mengutip bahaya tubuh manusia jika termagnetisasi. Padahal sesungguhnya tubuh manusia memang bersifat magnetik, walau lemah. Jika tidak tentu saja tidak ada alat kedokteran bernama MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang bekerja dengan cara melakuan “scan” perbedaan medan magnet pada setiap organ tubuh. Bahkan dunia kedokteran pun menggunakan bahan radioaktif untuk melakukan diagnosa dan terapi. Orang awam mungkin akan ngeyel, “Apa salahnya penggunaan bahan radioaktif untuk pengobatan?” Tapi orang itu mungkin akan kaget kalau tahu bahwa bahan radioaktif adalah bahan baku bom atom atau bom nuklir. Orang juga akan kaget kalau tahu bahwa untuk membuat corned beef secara tradisional perlu menggunakan KNO3 Kalium Nitrat atau Potasium Nitrat (Chili Salpeter) yang nota bene adalah pupuk dan juga bahan pembuat bom. Kata potasium juga mungkin mengerikan karena potasium identik dengan racun yang mematikan. Ya, potasium adalah nama lain kalium, dan KNO3 dalam jumlah terukur digunakan sejak jaman dahulu untuk mengawetkan daging dan membuat daging sapi berwarna merah menarik.

Mengenai hoaks, Alkitab berkata, “Penglihatan-penglihatan mereka palsu dan ramalan-ramalan mereka hanyalah dusta. Mereka mengaku membawa pesan dari Aku, padahal Aku tak pernah mengutus mereka. Bagaimana mungkin mengharapkan ramalan itu akan terjadi? Aku akan menghukum kamu hai nabi-nabi yang mengucapkan ramalan dusta dan mengkhayalkan penglihatan-penglihatan . . .” [Yehezkiel 13:6,9-BIMK].  Ini memang Firman Tuhan yang disampaikan kepada Yehezkiel mengenai nabi-nabi palsu, tetapi juga peringatan kepada orang-orang awam yang suka menyebarkan berita-berita bohong, dusta atau kepalsuan. Tuhan tidak suka dan pada akhirnya akan menghukum mereka.

Sudah cukup negeri kita didera bermacam-macam hoaks. Sudah saatnya semua hoaks itu dihentikan. Di satu sisi, Indonesia adalah negeri dengan 60 juta telepon pintar, sebuah jumlah yang besar. Terbesar di Asia Tenggara. Tetapi pada saat yang sama, lembaga riset juga melaporkan bahwa negara kita adalah negara yang paling tidak sopan berinternet, juga negara dengan literasi terendah, di Asia Tenggara. Marilah kita menggunakan akal sehat kita untuk menyaring semua informasi agar berguna bagi kehidupan kita dan ikut memberi sumbangan bagi pembangunan negara kita dengan tidak menyebarkan hoaks bahkan sebaliknya ikut mengedukasi masyarakat. Voltaire berkata, “Yang berakal sehat itu tidak banyak”. Mari kita buktikan bahwa pernyataan itu tidak benar, bahwa anggota komunitas pembaca Warta Sumber Hidup edisi Digital LAI ini adalah orang-orang yang berakal sehat yang tidak menyebarkan hoaks melainkan mengedukasi masyarakat.

Sebagai penutup, saya mengutip Ade Armando yang pada setiap tayangan videonya memunculkan “disclaimer” : “Tayangan ini mengandung narasi yang berusaha membuka logika dan nalar Anda. Bagi Anda yang tak mempunyai logika Anda bisa saja merasa baper dan tersinggung. Jika tidak kuat silakan tutup videonya, jika kuat selamat menyaksikan”. Marilah kita bangun negara kita ini bersama orang-orang yang berakal sehat dan mari kita bersama-sama perangi hoaks. Posting yang penting, bukan yang penting posting! 

 

Pdt. Sri Yuliana