LECTIO DIVINA

LECTIO DIVINA

 

Beberapa di antara kita tentu pernah mendengar cerita pengalaman dari mereka yang menempuh studi lanjut di luar negeri. Keluhan mereka hampir sama: “Mabok membaca!” Studi lanjut di luar negeri menuntut mahasiswa banyak membaca supaya dapat berdiskusi/bertukar pikiran dengan dosen pembimbing. Studi lanjut di luar negeri, khususnya untuk program S-3 (post graduate), menganggap mahasiswanya sebagai orang sudah selesai studi (graduate). Jadi, dosen pembimbing murni membimbing, bukan lagi mengajar, dan tugas mahasiswa adalah belajar mandiri, menggali ilmu melalui membaca dan/atau riset. Dalam hal ini dosen hanyalah fasilitator atau mentor. Untuk mengatasi hal ini tidak jarang mahasiswa S-3 asal Indonesia harus mengikuti kursus atau program remedial mengenai cara “Membaca Cepat Serta Efektif” (Speed and Effective Reading).

Tradisi membaca di Barat memang sudah berakar dan berkembang sejak lama. Berbeda dengan tradisi di Timur - termasuk Indonesia - tradisi pendidikan adalah tradisi lisan, tradisi mendengarkan, yang berkembang dari tradisi “nyantrik”. Ada siswa yang tinggal dan hidup bersama guru, melayani guru serta belajar ilmu dari guru berdasarkan wejangan sang guru. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah “menghafal” apa kata guru. Budaya membaca dan mengeksplorasi pengetahuan adalah suatu hal yang asing bagi dunia pendidikan di negeri ini. Demikian juga sebagian besar guru masih suka “baper” jika didebat atau pendapatnya disanggah oleh siswa. Siswa lebih pandai dari guru adalah tabu. Oleh karena itu beberapa lembaga pendidikan swasta di negeri ini yang berkiblat pada pemikiran Barat menjadi lembaga pendidikan yang selangkah lebih maju dibanding lembaga pendidikan pada umumnya. Hal ini – lagi-lagi – disebabkan guru-guru pada lembaga pendidikan tersebut mendorong siswanya aktif membaca buku, tidak alergi didebat, bahkan mendorong budaya diskusi/bertukar pikiran. Siswa mendapat banyak tugas serta karya tulis yang harus dikerjakan dan guru menilai dengan kritis. 

Mari kita menengok sejenak pada pengalaman Yesus dalam Lukas 4:21. Ketika Yesus berada di Sinagoga dan diminta membacakan salah satu dari Kitab Musa serta menyampaikan pandangan-Nya di muka umum, apa reaksi mereka? Orang-orang di Sinagoga itu justeru menjadi sangat marah. Mereka membawa Yesus keluar dari kota itu, yang terletak di atas gunung, menarik Dia ke tepi jurang dan berusaha mendorong-Nya. Tapi, Yesus berhasil kabur dan pergi dari kota itu. Yesus selangkah lebih maju dalam pemikiran-Nya, bukan? Namun para pengajar di Sinagoga itu nampaknya tidak suka dikritik dan belum siap menerima kenyataan bahwa ada orang muda yang lebih pintar dari mereka.

Tradisi pendidikan nusantara lebih monologis, yaitu dari guru ke murid, sementara tradisi pendidikan barat adalah dialogis, yaitu guru dan murid bersama-sama belajar mengeksplorasi ilmu yang mereka pelajari bersama. Adakah penelitian yang mengkaji kebiasaan umat Kristiani di Indonesia dalam membaca Alkitab? Rasanya belum atau tidak ada. Tetapi jika secara umum kecenderungan membaca di negeri ini rendah, bukan tidak mungkin minat membaca Alkitab juga rendah. Walau banyak orang suka berdebat tentang Alkitab di media-media sosial, belum tentu mereka suka membaca Alkitab. Lalu, adakah cara untuk membaca Alkitab secara cepat dan efektif? Mungkin ada, tapi sepertinya kurang dianjurkan, sebaliknya ada satu metode kuna membaca Alkitab secara efektif namun masih up to date dan relevan bagi generasi masa kini, yaitu metode LECTIO DIVINA yang terbagi atas 6 langkah:

  1. INVOCA: Berniat. Hening. Fokus. Berdoalah untuk memohon terang Allah agar kita mampu memahami teks yang kita baca. 
  2. LECTIO: Membaca. Biarkan teks yang kita baca berbicara apa adanya kepada kita.
  3. MEDITATIO: Merenungkan. Biarkan teks-teks tersebut menyampaikan kepada kita lebih dari apa yang kita baca. Biarkan teks-teks tersebut berbicara lebih lanjut kepada kita.
  4. ORATIO: Berdoa. Sampaikan kepada Tuhan apa yang kita dapat dari membaca (lectio) dan merenungkan (meditatio). Sampaikan kepada Tuhan pemahaman yang kita dapatkan dari membaca teks tersebut.
  5. CONTEMPLATIO: Perubahan/pembaruan apa yang kita alami setelah membaca, merenungkan dan berdoa kepada Tuhan? Wawasan baru apa yang kita dapatkan? Hayatilah itu, dan…
  6. ACTIO: Implementasikan, wujudkan pemahaman baru, wawasan baru itu dalam tindakan, dalam hidup keseharian Anda. Maka Anda akan menjadi duta-duta Injil seperti yang diharapkan Tuhan (2 Korintus 3:2-3).

Jadi, membaca Alkitab tidaklah berakhir pada knowledge atau pengetahuan saja, melainkan menghasilkan pembaruan yang mewujud pada tindakan. Jika membaca Alkitab hanya sekadar sebagai keharusan – seperti cara belajar jaman dulu yang berfokus pada menghafal hingga khatam – maka hal itu tidak membawa dampak apa-apa selain sebagai kegiatan yang menjenuhkan. Berkaitan dengan ini, LAI terus-menerus berupaya menghadirkan Alkitab dalam berbagai edisi, supaya orang tidak jenuh membaca Alkitab sekaligus menjadikan Alkitab tetap relevan dengan tuntutan jaman. Tentu hal ini hanya salah satu dari sekian cara agar orang tetap suka membaca Alkitab. Membaca Alkitab tidak akan menjenuhkan apabila didasari pada suatu manfaat (purpose). Ada sesuatu yang hendak dicapai, ada perubahan. Bisa berupa perubahan gaya hidup, pengertian tentang Allah, mengalami keintiman dengan Allah dan sesama, perubahan dalam cara berpikir, berbicara dan bertingkah laku, dsb. Membaca Alkitab menjadi lebih menyenangkan, jika ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul di benak kita lalu kita mendiskusikannya secara dewasa. Dengan membaca Alkitab kita laksana busur yang melesat menuju tingkat kedewasaan iman.


Pdt. Sri. Yuliana. M. Th