LOVE, DATING, SEX

LOVE, DATING, SEX

Ketiga topik ini (love, dating, dan sex) senantiasa relevan dengan kebutuhan remaja. Sebab pada usia remaja tengah terjadi pertumbuhan yang pesat. Yang sangat terlihat adalah pertumbuhan fisik. Remaja putra tampak gagah seperti laki-laki dewasa, lengkap dengan kumis tipis yang mulai tumbuh. Remaja putri tumbuh menjadi perempuan cantik yang matang, tubuhnya mulai memiliki lekuk tanda perempuan dewasa.

Pada usia itu, seorang remaja juga mengalami kematangan seksual. Inilah yang menyebabkan mengapa remaja memiliki nafsu seksual yang besar. Tanpa pendampingan untuk mengelola diri dengan bijak, seorang remaja bisa jatuh pada penyalahgunaan relasi yang terkait dengan seksualitas. Di masa inilah pornografi mulai menyergap dan memengaruhi kehidupan seorang remaja. Yang menyedihkan, di tengah keadaan semacam ini kerap orang tua justru menjadi “lawan” anak remaja. Kelabilan emosi membuat remaja kerap dianggap pemberontak. Inilah masa yang sering disebut sebagai storm period. Tak heran ketika tidak didampingi dengan baik – oleh orang tua dan komunitas – remaja menunjukkan pemberontakannya dengan cara mencari dan mencoba berbagai hal, termasuk seksualitas. Sebagai contoh, Survey Komnas Perlindungan anak tahun 2007 pada 4.500 remaja di 12 kota besar mengejutkan sekaligus menyadarkan pentingnya peran pendampingan bagi remaja. Hasil survey itu menunjukkan:
• 97% remaja SMP/SMA pernah nonton film porno
• 93,7% remaja SMP/SMA pernah ciuman, oral sex, dan petting
• 62,7% remaja SMP/SMA tidak perawan/ perjaka lagi
• 21,2% remaja SMP/SMA pernah aborsi

Pendampingan adalah proses menjadi sahabat bagi remaja di tengah proses perkembangan yang luar biasa itu. Menjadi sahabat berarti menyediakan waktu, telinga, dan seluruh keberadaan diri untuk mendampingi remaja bertumbuh dalam iman dan kesetiannya mengikut Tuhan. Dalam pendampingan itu, seorang remaja diajak untuk merefleksikan bahwa keberadaannya ada karya Tuhan yang luar biasa. Pertumbuhan cepat yang penuh pergolakan itu perlu disambut dengan rasa syukur. Remaja diajak untuk menyadari bahwa apa yang terjadi dalam dirinya secara utuh berasal dari Tuhan, termasuk cinta. Rasa cinta yang hadir dalam hidup remaja seiring perkembangannya adalah rasa yang  berasal dari Tuhan. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa hakikat Tuhan adalah cinta (lih. 1 Yoh 4:8). Persoalannya bukanlah terletak pada seorang remaja yang memiliki cinta atau menjalin relasi cinta, tapi bagaimana menghidupi cinta dengan benar. 

St. Agustinus seorang bapa gereja menyampaikan ungkapan terkenal yang berbunyi ama et fac quod vis. Ungkapan itu bermakna mulailah dengan cinta dan lakukanlah segala sesuatu. Lewat ungkapan itu kita memahami bahwa sebagaimana Allah yang memulai karya pemulihan dengan cinta, demikian relasi manusia dengan sesamanya dimulai dengan cinta. Remaja perlu belajar memulai relasi bukan karena nafsu, atau bahkan gaya hidup. Dalam relasi cinta itu remaja dibimbing untuk melihat bahwa cinta yang dikerjakan Allah adalah cinta yang membebaskan manusia. Cinta yang memberdayakan manusia. 

Semangat cinta yang membebaskan dan memberdayakan dalam arti menumbuhkan itu kerap pudar di tengah ilusi cinta. Yang dimaksud dengan ilusi cinta adalah imaginasi cinta yang tidak tepat. Sebagai contoh, ada banyak orang berpikir bahwa kalau pacaran harus berciuman, atau bahkan berhubungan seks sebagai persiapan pernikahan, dan banyak ilusi cinta lainnya. Ilusi cinta semacam ini justru merusak hakikat cinta itu sendiri. Ketika remaja bergolak dengan cinta, memulai relasi dengan cinta, maka buah-buah cinta sejati akan menghasilkan kehidupan yang menghargai sesama, yang membebaskan dan memberdayakan orang yang dicintainya. Seorang yang memiliki cinta yang benar akan melakukan segala sesuatu yang baik demi kebaikan orang yang dicintainya. 


Sebagaimana kerinduan remaja akan kebebasan, maka kebebasan seringkali menjadi argumentasi remaja untuk membenarkan tindakannya. Tentang kebebasan yang dimiliki manusia adalah hal yang benar. Sebagai manusia yang telah menerima penebusan dari Kristus, tentu saja manusia memiliki kebebasan. Namun kebebasan harus dijalani dengan tanggung jawab. Keduanya bagai mata uang yang dua sisinya tidak dapat dipisahkan. Justru karena mengingat tanggung jawab itu, kita bisa belajar dari nasihat Paulus, “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun (1 Kor. 10:23). Berangkat dari nasihat ini, pertanyaan yang perlu diajukan untuk mereka yang tengah jatuh cinta adalah: Apa yang mendorong saya menjalin relasi lebih intim dalam bentuk berpacaran? Apakah tindakan cinta saya membangun orang yang saya cintai?

Dalam kerangka itu remaja perlu menyadari bahwa pacaran adalah persiapan awal atau penjajagan dalam rangka pernikahan. Tujuan pacaran adalah mempersiapkan diri untuk memasuki pernikahan. Lewat pacaran kita mengenal orang yang kita cintai itu. Dengan demikian pacaran adalah sesuatu yang baik dan harus, namun motifnya harus benar. Remaja perlu mengamini bahwa jodoh di tangah Tuhan, tetapi pendekatan di tangannya. Justru karena itu ia perlu melakukan pendekatan kepada orang yang membuatnya jatuh cinta. Remaja juga dituntun untuk percaya bahwa Tuhan menyediakan pasangan buat dirinya. Namun remaja harus menemukan, memelihara, dan membangunnya. Sebab relasi tanpa tindakan pemeliharaan tidak mungkin terpelihara. 


Dalam proses berpacaran itu, remaja setidaknya mulai melihat apakah memang pasangannya itu cocok dengan dirinya. Beberapa cara melihatnya dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan seperti berikut ini:
Apakah komunikasi Anda nyambung? Dalam berpacaran tentu komunikasi berjalan dengan intens. Apakah komunikasi itu berjalan dengan baik, remaja dan pasangannya saling memahami satu dengan yang lain?
Apakah di masa pacaran komitmen pengembangan diri sendiri dan pasangan terlihat dengan jelas? Adakah dorongan-dorongan dan dukungan-dukungan yang menguatkan untuk pengembangan diri? Apakah dengan berpacaran tumbuh kebiasaan baik yang dilakukan, seperti semakin rajin belajar, aktif berpelayanan, dan sejenisnya?
Apakah dalam jalinan relasi dan komunikasi, masing-masing pihak mulai terbuka menceritakan pergumulan-pergumulan dan beban-beban hidupnya? Apakah dalam berelasi dan berkomunikasi ada beban atau ketakutan? 
Apakah terlihat integritasnya, yaitu satunya kata dan tindakan?
Apakah dengan jalan bersama, Anda merasakan pertumbuhan kedewasaan? Apakah  dia melaksanakan tanggung jawabnya dengan kegembiraan?
Apakah dia memiliki citra diri yang sehat, yang ditandai dengan penerimaan dirinya dengan penuh syukur tanpa merasa dirinya paling hebat atau sebaliknya merasa diri paling buruk?
Apakah dia berpikir dan bersikap positif, memandang realitas dengan apresiatif, yang ditandai lebih seringnya memuji daripada merendahkan?
Apakah Anda memang tertarik padanya?


Pertanyaan-pertanyaan ini adalah alat bantu untuk melihat relasi berpacaran remaja. Ketika semua jawaban bermakna positif, maka pacaran perlu dilanjutkan untuk semakin mengenal dan matang sehingga makin siap memasuki kehidupan pernikahan. Atau sebaliknya, relasi berpacarannya selesai dan dilanjutkan dengan relasi persahabatan yang tidak kalah baiknya.

Lalu bagaimana dengan hubungan seksual? Sebagaimana cinta, hasrat seksual juga diciptakan oleh Tuhan. Hasrat itu ada pada manusia, apalagi remaja yang tengah menggebu-gebu. Namun, sebagaimana dikatakan Anne K. Hershberger, seksualitas bukan untuk disalah-gunakan melainkan untuk dirayakan. Untuk merayakannya diperlukan waktu yang tepat. Anda tentu tidak mau merayakan ulang tahun sebelum waktunya bukan? Demikian juga dengan hubungan seksual. Keindahannya justru karena ia dirayakan bersama dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. 

Oleh Pdt Addi Patriabara, M. Th