Mana yang Benar: Paskah atau Paska?

Mana yang Benar: Paskah atau Paska?

Beberapa pembaca Alkitab pernah menanyakan kepada LAI: Mengapa LAI menggunakan “Paskah” sebagai padanan kata Ibrani PÉSAkH? Bukankah “Paska” lebih tepat? 

Tentu saja, yang terpenting di balik perayaan itu adalah karya Tuhan yang membebaskan umat-Nya dari perhambaan. Namun, untuk memperoleh kejelasan dalam hal ini, ada baiknya kita meninjaunya secara singkat terutama dalam kaitan dengan penyesuaian bunyi yang lazim dilakukan dalam penerjemahan. 

1) Mari kita mulai dengan sebuah contoh terkenal, yakni nama Yosua dalam bahasa Ibrani (Kel. 17:9; Yos. 1:1). Dalam teks Ibrani nama itu ditulis sebagai  YEHOShU‘A. Ketika para penerjemah Yahudi mengalihkannya ke dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta, tiga abad SM), nama itu mereka tulis sebagai IESOUS (Ἰησοῦς = Yesus). Ternyata, transliterasi Yunani inilah yang diambil alih untuk nama Yesus (Ἰησοῦς, Mat. 1:16). Dalam teks Yunani Perjanjian Baru, nama Yosua pun ditulis identik dengan nama Yesus (Ἰησοῦς, Ibr. 4:8). Penyesuaian ejaan untuk nama sepenting Yesus mengingatkan kita betapa luwesnya transliterasi lintas-bahasa. Ada yang dikurangi, ada ditambah, ada yang diubah seperlunya: YEHO menjadi IE; ShU‘A menjadi SOUS. 

2) Kembali kepada istilah PÉSAkH, mari kita mencatat terlebih dahulu bahwa teks Ibrani kuno awalnya hanya memuat huruf-huruf konsonan saja tanpa tanda vokal. Sistem huruf dan tanda vokal baru dikembangkan jauh kemudian. PÉSAkH sebenarnya hanya terdiri dari tiga konsonan, yakni פ (P), ס (S), ח (kH). Bila mengikuti sistem penulisan Ibrani dari kiri ke kanan, maka tertulis פסח. Yang jelas, huruf ח tidak mungkin diuraikan menjadi “K” dan “H”. Tanpa menggunakan istilah linguistik yang terlalu teknis, perlu diakui ketidakpastian dalam pelafalannya menurut bahasa Ibrani kuno; kira-kira antara bunyi “h” dan “k” di area tenggorokan. 

3) Dalam Septuaginta, פסח (P-S-kH) disalin sebagai PASKhA (πασχα) dalam bahasa Yunani. Jelaslah, para penerjemah kuno itu telah mengupayakan penyesuaian seperlunya ketika mengalihkannya ke dalam bahasa sasaran. Mereka memindahkan konsonan akhir ke posisi tengah. Tentu, posisi konsonan kH bisa saja diletakkan di akhir sehingga transliterasinya menjadi PASAKh (πασaχ). Akan tetapi, bunyi Kh (χ) di akhir tidak lazim dalam bahasa Yunani. Contoh lain:  nama Nuh (Ibrani, NOAkH) dalam Septuaginta ditulis sebagai NÔÊ. Selain penyesuaian bunyi vokal, konsonan di akhirnya dihilangkan sama sekali! 

4) Kata PASKhA (πασχα) versi Septuaginta itulah yang diambil alih dalam Perjanjian Baru. Dalam proses pengalihan lintas-bahasa, terjemahan-terjemahan dalam berbagai bahasa di seluruh dunia terbukti menunjukkan keluwesan yang serupa. Adaptasi seperlunya dilakukan dengan menambah, mengurangi, atau memindahkan konsonan dan vokal tertentu, antara lain: “Passah” (NeueLuther Bibel, 2009), “Passa” (Zürcher Bibel, 2008); “Pesach” (Nieuwe Bijbelvertaling, 2004); “Pasqua” (Nouvissima Versione della Bibbia, San Paulo, 1996); “Pascha” (Einheitsübersetzun, 1980; Nova Vulgata, 1979); “La Pâque” (Bible de Jérusalem, 1973). 

5) Dalam Alkitab Terjemahan Lama (gabungan terjemahan Klinkert dan Bode; LAI, 1958) menggunakan transliterasi “Pasah” dalam Perjanjian Lama versi Kinkert maupun Perjanjian Baru versi Bode. Para penerjemah yang mempersiapkan Alkitab Terjemahan Baru (terbit 1974) tentu memperhitungkan terjemahan sebelumnya dan mempertimbangkan pula pengalihan dari פסח (P-S-kH) menjadi PASKhA (πασχα). Istilah “Paskah” rupanya memadukan unsur bunyi Ibrani dan unsur Yunani yang menjadi padanannya. Jika posisi akhir “kH” tidak lazim dalam bahasa Yunani (butir 3), sebaliknya dalam sistem fonetik bahasa Indonesia posisi akhir “h” sangat umum sehingga dapat merepresentasi ח (kH) di posisi akhir dalam פסח (P-S-kH). Bentuk hibrid “Paskah” inilah yang sudah dikenal luas oleh gereja-gereja dan umat pembaca Alkitab Terjemahan Baru sejak terbit 1974. 

6) Apakah istilah yang sudah mentradisi ini perlu diganti? Kita sudah melihat bahwa transliterasi Yunani pun merupakan penyesuaian yang luwes. Meski demikian, transliterasi tersebut  tidak dapat dinilai sebagai keputusan yang keliru. Begitu pula, ada keragaman yang sangat besar di antara terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa di dunia. Usul untuk mengganti “Paskah” dengan “Paska” tidak didasarkan pada kajian yang memperhitungkan proses perubahan dari sistem Ibrani ke Yunani dan seterusnya ke bahasa-bahasa lain. Dapat ditegaskan: “Paska” tidak lebih tepat daripada “Paskah”. Kalau begitu, pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apa urgensinya untuk diganti? 


(Pdt. Anwar Tjen, Ph.D., Kepala Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia)