Marto Waerari, Tukang Berkelahi yang Menjadi Penerjemah Alkitab

Marto Waerari, Tukang Berkelahi yang Menjadi Penerjemah Alkitab

 

Cara Tuhan memilih seseorang untuk menjadi rekan sekerja-Nya sering kali susah dipahami. Ini juga yang diceritakan oleh Marto Horins Waeari. Pelayanan gereja menjadi kesehariannya. Bahkan ia merupakan salah seorang penerjemah Alkitab ke dalam Bahasa Mori, di Sulawesi Tengah. Padahal dulunya ia seorang berandalan dan tukang berkelahi.

Marto melewatkan masa kecil bersama keluarganya di daerah Tinompo, Morowali Utara. Ia senang sekali bermain di sawah dan kebun orang tuanya yang terletak di lereng gunung. Sejak umur tiga tahun, kakeknya memperkenalkan Marto dengan  berbagai cerita dalam Alkitab, seperti: Musa, Yakub, Yunus, Samuel, Abraham dan lain-lainnya. Namun, cerita-cerita tersebut hanya sekadar kisah pengantar tidur baginya. Marto sangat jarang pergi ke Sekolah Minggu. Bahkan dalam setahun bisa dihitung dengan jari.

Pada usia 14 tahun, Marto memiliki Alkitab pertamanya, pemberian seorang misionaris. Tapi Marto belum tergerak untuk mencintai firman Tuhan. Baginya isi Alkitab begitu sulit dipahami dan jalan ceritanya banyak yang membingungkan.

Di masa remaja itulah Marto tumbuh menjadi pribadi yang brutal suka memberontak. Hidupnya tidak pernah jauh dari membantah orang tua, mencuri barang-barang milik orang lain, bahkan mulai terbiasa minum minuman keras. Marto juga begitu sering terlibat perkelahian dengan remaja atau pemuda lainnya. Berulang kali orang tuanya menasihati seperti tidak mempan. Orang tuanya hanya bisa berdoa.

Suatu hari, orang tuanya menasihati Marto agar tidak terlalu banyak minum. Ia marah dan kabur dari rumah. Marto menggelandang dan tidur di kebun bahkan di dalam lubang batu. Suatu hari karena lapar ia turun ke kampung. Malam itu hujan turun begitu deras. Dan satu-satunya tempat berteduh yang terbuka adalah gedung gereja. Maka dirinya masuk ke dalam gereja dan tertidur. Kepala Desa dan Gembala jemaat akhirnya menemukan Marto yang terlelap di belakang mimbar. Hari itu entah mengapa Marto menangis dan menceritakan kisah hidupnya. Kata Bapak Gembala,”Tuhan Yesus pasti mengampunimu. Sekarang pulanglah karena orang tua sudah gelisah mencarimu ke mana-mana."

Sejak hari itu hidup Marto mulai berubah. Ia mulai tekun belajar Firman Tuhan, karena selama ini begitu banyak hal yang ia belum ketahui tentang isi Kitab Suci. Pada usia 23 tahun Marto kembali menerima pemberian sebuah Alkitab. Yang luar biasa, Alkitab tersebut adalah pemberian sahabatnya, seorang Muslim. Marto semakin rajin membaca Alkitab dan tidak malu bertanya sekiranya mengalami kesulitan memahami bacaan firman Tuhan.

Dan firman Tuhan kemudian mengubah cara pandang dan gaya hidup Marto Horins. Dari seorang peminum dan tukang kelahi, ia kemudian menyerahkan hidupnya di ladang Tuhan. Ia hingga hari ini masih terus berkarya di Kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Bagi Marto pelayanan bukanlah sekadar jabatan. Seseorang tidak harus menjadi pendeta, majelis jemaat, ataupun pengurus komisi di gereja. Seorang pelayan menurutnya adalah seseorang yang mau memberikan seluruh hidupnya di bawah kendali Tuhan Yesus melalui pimpinan Roh Kudus. Ia senang jika hidupnya bisa memberi manfaat bagi orang lain. Ada rasa tenang di hati. Marto meyakini orang yang melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh hidupnya pasti akan dicukupkan oleh Tuhan.

Tahun 2002 ada kerinduan umat Tuhan di Mori agar bisa memiliki Alkitab dalam bahasa Mori. Maka kemudian Sinode GKST mengirimkan surat kepada Lembaga Alkitab Indonesia dalam rangka kerja sama penerjamahan Alkitab dalam bahasa Mori. Sebagai seorang putra Mori, Marto diminta terlibat dalam proyek penerjemahan ini. Sejak 2004, Marto mulai terlibat dalam proyek penerjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Mori. Proses penerjemahan selesai pada tahun 2008 dan akhirnya Perjanjian Baru dalam bahasa Mori terbit pada 2010. Masyarakat Mori menyambut terbitnya Kabar Baik dalam bahasa mereka dengan penuh sukacita. Bahkan sejak saat itu ada tradisi lomba membaca Alkitab dalam bahasa Mori dan lomba khotbah dalam bahasa Mori. Terbitnya Alkitab ternyata sekaligus menjadi kebangkitan orang Mori untuk melestarikan salah satu unsur budaya mereka.

Pada 2012 Marto kembali dihubungi untuk bersiap jika diminta terlibat dalam Proyek Penerjemahan Perjanjian Lama bahasa Mori. Sebagai putra suku Mori dirinya selalu menyatakan siap. Akhirnya proyek penerjemahan Perjanjian Lama bahasa Mori dimulai pada 2014 dan masih terus berlangsung hingga sekarang.

Banyak suka duka yang dialami Marto sebagai anggota tim penerjemah Alkitab. Ia senang dan menjadi bersemangat jika membayangkan bahwa karya yang dikerjakannya bersama tim nantinya menjadi berkat bagi sukunya, yang akan dibaca orang Mori dari berbagai generasi. Namun, ada pula berbagai tantangan dan kesulitan yang sering dihadapi Marto dan kawan-kawan. Dalam menerjemahkan sering kali tidak ditemukan kata terjemahan yang tepat dalam bahasa Mori. Belum lagi jika mengingat ada 32 ragam dialek Mori. Namun, akhirnya disepakati bahwa tim menggunakan dialek anak suku Ngusumbatu.

Beberapa kali pula Marto dan tim penerjemah Mori mengalami kedukaan, saat ada anggota tim yang sakit dan kemudian dipanggil Tuhan. Hingga hari ini telah 4 anggota tim yang meninggal dunia meski proyek belum selesai.

Marto berharap pandemi Covid-19 tidak berlangsung terlalu lama. Karena tim memasang target proyek penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Mori dapat selesai pada tahun 2021. Marto memiliki keinginan, jika nantinya Alkitab bahasa Mori ini terbit, umat akan mempergunakannya dengan penuh sukacita. Ia juga berharap Alkitab Mori ini akan mendampingi kehidupan umat dalam ibadah pribadi maupun ibadah bersama di hari Minggu, ibadah sektor maupun dalam ibadah-ibadah yang dilangsungkan Rukun-rukun Mori di seluruh Indonesia.

Firman Tuhan telah mengubah jalan kehidupan Marto Waerari. Semoga demikian pula nantinya Alkitab Mori akan menjadi berkat bagi orang-orang Mori yang tersebar di berbagai pelosok negeri.