Menghadirkan Surga di Tengah Wabah

Menghadirkan Surga di Tengah Wabah

 

Ketika kita dihadapkan pada kata “surga”, pada umumnya,  yang langsung terlintas di pikiran kita adalah sebuah “dunia yang indah” yang akan kita huni setelah kita mati. Tetapi, sadarkah bahwa sekurang-kurang seminggu sekali kita mengucapkan kata-kata doa, “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga.” Frasa “di bumi seperti di surga”, setidaknya mengubah pemahaman kita bahwa surga sesungguhnya ada di bumi ini. Surga adalah suasana penuh kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan di mana Allah sendiri menjadi Raja kita. Jadi sekalipun kita masih hidup di bumi ini, kita sudah dapat merasakan surga. 

Seorang filsuf pernah ditanya oleh seseorang, bagaimana caranya memperoleh kebahagiaan? Filsuf itu menjawab, “Hidup adalah pilihan. Jika kepada 10 orang diberikan bahan-bahan yang sama untuk membuat sup, maka akan tercipta 10 macam rasa dan variasi sup. Adalah keputusan kita untuk membuat sup yang enak, sup yang istimewa atau sup yang amburadul rasanya. Itulah pilihannya. Dengan segala apa yang kita miliki, kita dapat membuat sup kehidupan yang istimewa atau sup penderitaan. Lebih lanjut filsuf itu mengatakan, kebahagiaan adalah landasan untuk sukses dalam hidup, bukan sebaliknya, setelah kita sukses maka kebahagiaan datang menghampiri kita.

Hal kebahagiaan ternyata dapat juga dijelaskan secara medikal. Jika kita bahagia, maka tubuh kita akan mengeluarkan hormon dopamin. Hormon ini berfungsi mendorong kita bersikap dan berpikir positif serta menghasilkan karya-karya yang baik. Sebaliknya kekurangan hormon ini akan menghasilkan suasana hati yang buruk, bahkan dapat mengakibatkan depresi. Di sisi yang lain, ada juga hormon kortisol yang juga disebut sebagai hormon stres. Saat kita menglami stres, maka kadar hormon ini dalam darah akan meningkat, akibatnya  jantung kita akan berdetak lebih cepat, napas sesak, pencernaan terganggu, otot tegang dan sakit kepala. Tentu saja kita tidak menginginkan hal ini terjadi pada diri kita, lebih-lebih dalam menghadapi situasi yang sulit akibat wabah yang melanda bangsa ini. 

Saat ini, tidak sedikit orang yang mengalami stres bahkan depresi. Bagaimana tidak? Pandemi virus COVID-19 yang semakin meluas dan menjangkit hampir di seluruh negara di dunia telah menimbulkan kecemasan babi masyarakat. Anjuran untuk tetap di rumah serta penerapan kebijakan physical distancing juga memiliki pengaruh emosional, akibat tidak adanya interaksi sosial, yang menimbulkan rasa bosan. Semakin tinggi tekanan yang dirasakan saat pandemi akan semakin buruk pula kesehatan mental masyarakat.

Baru-baru ini, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), melakukan survei mengenai kesehatan jiwa masyarakat. Hasilnya, dari 1.522 responden, sebanyak 64,3 persen masyarakat mengalami cemas dan depresi akibat pandemi COVID-19, sedangkan trauma psikologis dialami 80 persen dari semua responden yang melakukan swaperiksa. Dari berbagai survei yang telah dilakukan selama pandemi, krisis kesehatan mental masyarakat telah menjadi momok yang menakutkan, karena kesehatan mental memiliki dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang dalam menjalani kehidupannya.

Sebagai umat Tuhan yang percaya akan pemeliharaan Tuhan dalam situasi apapun, tidak dapat dipungkiri, bahwa kitapun mengalami kekuatiran dan ketakutan akan kehidupan kita. Tidak mudah untuk mengubah situasi penuh stres pada saat ini menjadi sikap mental yang positif (bahagia) agar kita tetap mampu berkarya dan melayari lautan kehidupan dengan tetap berpengharapan. Bayang-bayang “masih adakah surga di bumi” terus menghantui kita. Bahkan banyak pula yang bertanya “masih adakah surga itu?” Dalam suasana seperti ini dapatkah kita menghasilkan karya yang baik? Keputusan yang bijaksana? Masih bisakah kita menghadirkan surga di tengah-tengah kita? 

Ada tertulis, “Aku yang meratap telah Kau-ubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kau-buka, pinggangku Kau-ikat dengan sukacita, supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allah-ku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu” [Mazmur 30:11-12]. Melalui pemazmur, 3000 tahun yang lalu, Allah telah mengafirmasi teori psikiatri modern tersebut. Dengan menciptakan semangat dan harapan melalui pikiran positif dan terus menggantungkan pengharapan kita kepada Allah, akan membantu kita merasakan suasana “di bumi seperti di surga”.    

Oleh karena itu, untuk mampu keluar dari suasana stres dan depresi akibat Pandemi COVID-19, mari kita ikuti resep yang diberikan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), sebagai berikut: 1). Batasi informasi tentang COVID-19. Bukan membutakan mata dan menulikan telinga terhadap informasi COVID-19, melainkan ketahui apa yang perlu diketahui saja. 2). Hindari hoaks. Pastikan dahulu sumber berita sebelum mengakses berita. Pastikan sumber berita adalah adalah sumber yang kredibel/dapat dipercaya 3). Di rumah saja. Keluar rumah sebatas diperlukan: ke kantor sesuai jadual, membeli kebutuhan rumah tangga. 4). Tetap bersosialisasi dengan orang-orang terdekat, kerabat, teman, kolega, tetap menjaga kontak sosial. 5) Terapkan pola hidup sehat, terapkan protokol kesehatan, terapkan pola hidup sehat: menu sehat dan olah raga secukupnya. Dengan menerapkan 5 aturan di atas diharapkan kita dapat menyikapi situasi kini dengan terus menerus bersikap positif dan terus berkarya.

Jadi, masihkan Saudara berharap masuk surga setelah kematian nanti? Apakah Saudara sudah menikmati surga di bumi ini? Jika belum Saudara dapat mengubah paradigma hidup Saudara dari “Sukses pangkal bahagia” menjadi “Bahagia pangkal sukses”. Dan jika Saudara bahagia dan sukses, maka Saudara sudah berhasil menghadirkan surga di tengah wabah dan menikmatinya dengan bahagia selama hidup di dunia.

 

Pdt. Sri. Yuliana. M. Th