MENJADI “AMBASSADOR-AMBASSADOR” ALLAH

MENJADI “AMBASSADOR-AMBASSADOR” ALLAH

Seorang murid bertanya kepada Sang Guru, “Guru bagaimana sharusnya kami berdoa?” Sang Guru menjawab, “Jika kamu berdoa, berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga. Dikuduskanlah nama-Mu. 

Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami, Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat.” Sebuah doa yang sederhana, singkat dan bernas. Doa yang mengandung makna dan kedekatan hubungan yang dalam antara manusia dengan Allah.

Doa “Bapa Kami” yang merupakan doa harian dan universal umat Kristiani yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri, seperti tertulis dalam Matius 6:9-13 maupun Lukas 11: 2-4, merupakan doa yang menjadi harapan Allah agar manusia bertindak seperti itu. Itulah harapan dan cita-cita Allah pada umat manusia, agar manusia hidup dalam damai sejahtera, berkeadilan, damai yang meliputi seluruh bumi/seluruh ciptaan. Itulah yang diinginkan Allah Bapa dilakukan oleh umatnya yang hidup di planet bumi yang kecil nan rentan ini. Itulah misi umat Allah, tugas panggilan seluruh umat Allah untuk memelihara, membangun serta senantiasa memperbarui ciptaan-Nya. 

Konteks yang dikandung  Doa Bapa Kami sesungguhnya bukan sekedar hubungan antara manusia dengan Allah dalam doa, melainkan hubungan untuk mewujudkan harapan dan cita-cita atau misi Allah dalam dunia, yaitu mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Pengertian misi yang berarti “pengutusan” memiliki kesamaan arti dengan kata Yunani ‘Apostole’. Sebenarnya ada 2 istilah yang dipakai, ‘Apostalken’ = Bapa mengutus Aku dan ‘Pempo’ = Aku mengirim. Kedua istilah itu dalam terjemahan bahasa Indonesia dipakai dengan arti yang sama yaitu “mengutus”. Beberapa ahli seperti Rengstorf memberi penekanan bahwa ‘apostolos’ memiliki kedekatan arti dengan ‘presbeutēs’, yang dipahami sebagai "ambassador" atau duta dalam 2 Korintus 5:20 dan Efesus 6:20. Maka, penekanan misi terletak pada konsep bahwa Allah adalah sumber, inisiator, dinamisator, pelaksana dan penggenap dari misi-Nya. Allah yang memiliki misi dan mengutus orang-orang yang mau diutus untuk melakukan misi tersebut.

Misi yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh Alkitab merupakan misi yang menjangkau bangsa-bangsa, yaitu misi yang dilakukan oleh para nabi, para rasul dan umat Allah pun sejatinya misi kepada bangsa-bangsa. Hanya saja seringkali persoalan-persoalan politis menjadi penghalang dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Itu sebabnya secara hakiki misi ini merupakan misi Allah atau yang disebut dengan istilah misio Dei, yang menurut Kuiper sebagai ”Keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia yang meliputi pemilihan Israel, pengutusan nabi kepada Israel dan kepada bangsa-bangsa sekitar, pengutusan Kristus kepada dunia, pengutusan rasul-rasul dan pekabar-pekabar Injil kepada bangsa-bangsa, Allah sebagai pengutus”.

Tentu saja dalam mewujudkan harapan/misi Allah tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari tidaklah mudah. Kita tidak bisa bekerja dan berjuang sendiri. Kita membutuhkan kerjasama dengan sesama dan bekerja sama dengan Allah. Misalnya, saat ini kita bersama-sama seluruh umat di bumi sedang berjuang mengatasi Pandemi COVID-19 dibawah arahan WHO, sebuah lembaga dibawah PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Tetapi bukan itu saja tantangan umat saat ini. Pada 25 September 2015, PBB mengesahkan Deklarasi SDGs (Sustainable Development Goals) yang ditandatangani oleh 193 negara anggota PBB. SDGs terdiri dari 17 goals dan 169 target yang dilaksanakan selama periode 2016-2030. Dari 17 goals tersebut meliputi area kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, sanitasi, permukiman, energi, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, perubahan iklim, sumber daya alam dan kemitraan global. 

Indonesia saat ini berupaya menjalankan SDGs tersebut dan memastikan bahwa “no one left behind”  betul-betul dijalankan negara, termasuk memastikan pemenuhan hak kelompok rentan seperti perempuan, anak perempuan, kelompok disabilitas, penyandang HIV, kelompok minoritas dan pengakuan keberagaman, termasuk  penghayat, agama dan kelompok dengan keberagaman gender dan identitas, lanjut usia (lansia), masyarakat adat (indigenous people), pengungsi, orang yang terusir di negerinya sendiri (internally displaced persons - IDPs), migran dan mereka yang terkena dampak konflik/terorisme. Semua itu terangkum dalam satu misi, yaitu menjadi manusia yang bermartabat. Ya bermartabat! Itulah yang diinginkan Allah, dan kita adalah ambassador bagi-Nya.

Persoalannya, seringkali umat Tuhan dan pihak gereja berkata, “Itu bukan urusan gereja, itu urusan pemerintah”. Atau adanya pemahaman bahwa urusan umat Tuhan dan gereja adalah mengurusi hal-hal yang rohani saja. Pemikiran seperti ini yang membuat “misio Dei” sulit diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkret dan SDGs gagal diterapkan. SDGs adalah urusan kita dan gereja, bahkan merupakan misi gereja dalam mewujudkan Kesejahteraan, Keadilan, dan Perdamaian bagi seluruh ciptaan. Bukankah itu yang kita doakan setiap hari melalui doa Bapa Kami? Aneh rasanya jika kita berdoa sambil menempatkan diri kita sebagai orang beriman, sementara kita tidak peduli sama sekali dengan situasi yang terjadi di sekitar kita. 

Dibutuhkan kepekaan terhadap pergumulan dan pemenuhan kebutuhan umat. Setidaknya dalam hal ini LAI sudah melakukan beberapa program. Yang perlu kita ingat adalah menjalankan misi Allah tidak cukup hanya kita doakan, tetapi perlu kita wujudkan dalam tindakan. Laborare est orare: bekerja adalah berdoa. Bekerja adalah doa yang mewujud dalam tindakan. Itulah harapan dan cita-cita Allah ketika Tuhan Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami kepada murid-murid yang mewariskannya kepada kita. Kita adalah ambassador-ambassador Allah.

 

Pdt. Sri Yuliana