“Mikul Dhawet Sinambi Rengeng-Rengeng.”

“Mikul Dhawet Sinambi Rengeng-Rengeng.”

 

Anda bingung dengan judul tulisan ini? Tenang, Anda tidak sendiri. Bahkan sesama orang Jawa pun mengalami kebingungan yang sama. Kita akan menemukan jawabannya di akhir tulisan ini. Namun mari kita perhatikan dahulu contoh percakapan antara dua orang Jawa berikut:

A (Orang Jogja): Mas, nyuwun tulung, kandhaake personalia yen aku dina iki absen. Anaku ‘loro’ (Mas, minta tolong beritahukan  Personalia hari ini aku absen. Anaku ‘sakit’).

B (Orang Tegal): Halah, anak gur ‘loro’ bae absen. Nyong kiye anak setengah lusin manjing terus ora tahu absen. (Halah, anak cuma ‘dua’ saja absen. Aku ini punya anak enam selalu masuk kerja tidak pernah absen).

Salah paham di atas mestinya tidak perlu terjadi jika A, mampu menuliskan (mentransliterasikan) Bahasa Jawa kedalam aksara latin dengan baik dan benar. Kata sakit dalam Bahasa Jawa seharusnya ditulis ‘lara’ dan dibaca ‘loro’ (‘o’ diucapkan seperti membaca kata ‘nol’), sementara kata dua dalam Bahasa Jawa ditulis ‘loro’ dan dibaca ‘loro’ (‘o’ diucapkan seperti membaca kata ‘no’). Namun bagi orang berbahasa Jawa dialek Tegal-Banyumasan (Ngapak) pengucapan ‘o’ dalam kata ‘nol’ dan ‘no’ memang samar, hampir sama.

Ini adalah salah satu contoh yang terjadi di antara penutur Bahasa Jawa di luar daerah asalnya yang tidak lagi mendapat pelajaran Bahasa Jawa sejak kecil atau bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Tentu ada banyak cerita serupa dari berbagai daerah lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa kayanya bangsa kita dengan bahasa daerah, namun juga betapa malang nasib bahasa-bahasa daerah tersebut di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi saat ini. Jadi, “Masih perlukah bahasa-bahasa daerah itu?”

Menyambut Hari Masyarakat Adat Internasional yang ditetapkan oleh PBB untuk diperingati setiap 9 Agustus kita diingatkan kembali untuk menghargai tradisi/kearifan lokal masyarakaat adat. Seperti yang kita ketahui, arus budaya utama (main stream) telah menggiring orang-orang Indonesia untuk turut bagian dalam budaya global, yang sebagian besar didominasi oleh standar budaya Barat. Standar peradaban diukur dari cara pandang Barat dalam melihat berbagai hal, padahal sebagai bangsa yang beradab, bangsa Indonesia pun memiliki akar budaya yang kuat yang berasal dari nenek moyangnya terdahulu, yang tidak kalah penting dan bermaknanya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang karena tidak ada lagi generasi penerus yang mau melestarikannya. Perhatikan saja! Generasi sekarang lebih fasih menggunakan bahasa asing, walau salah, dibanding bahasa ibu-nya. Mungkin karena pengaruh pergaulan atau gengsi. Semakin sering mencampur bahasa dengan bahasa asing (baca: bahasa Inggris), semakin bangga dan merasa telah memenuhi standar kecerdasan seseorang menurut ukuran mereka. Akibatnya, beberapa bahasa daerah di Indonesia, yang adalah bahasa ibu kita, mengalami kepunahan akhir-akhir ini.

Nusantara kita mempunyai 700 lebih bahasa daerah (urutan kedua terbanyak setelah Papua Nugini, menurut PBB). Disamping bahasa daerah yang “aman” yang menurut Badan Bahasa dipergunakan oleh lebih dari 1 juta orang seperti Bahasa Jawa, Bahasa Batak, Bahasa Minang, ada juga bahasa daerah yang dikategorikan stabil, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis/hampir punah, para penutur bahasa tersebut kurang lebih tinggal 100 orang dan selebihnya punah. Sudah ada 11 bahasa daerah yang dinyatakan punah. Jadi masih perlukah pelestarian bahasa-bahasa daerah? Tentu saja masih perlu, karena dalam naskah-naskah bahasa daerah tersimpan tradisi dan kearifan lokal yang sangat kaya dan pada umumnya berupa pepatah-petitih. 

Ya, seperti judul tulisan ini! Judul ini merupakan penggalan pepatah dari Ki Hajar Dewantara. Selengkapnya demikian, “Tinimbang numpak montor mbrebes mili, luwih becik mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng” – Daripada memiliki mobil namun menangis, lebih baik berjualan cendol sambil bersenandung. Daripada memiliki kekayaan namun tidak bahagia, lebih baik hidup ugahari sambil terus mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Pepatah yang sangat dalam artinya, bukan? Jika kita tidak memahaminya tentu kita akan kehilangan warisan nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal dari leluhur kita. Bahkan di dalam Alkitab kita menemukan cerita bagaimana bangsa Israel berusaha agar nilai-nilai budaya dan iman mereka diteruskan dan diingat oleh anak-anak mereka, “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul.6:7).

Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal, kita tidak hanya menghargai warisan leluhur kita, tetapi juga sebagai bentuk ajakan kepada masyarakat yang telah terjebak oleh budaya pop untuk kembali pada identitasnya yang semula sebagai orang Indonesia. Arus globalisasi saat ini menyebabkan bangsa Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri dan menjadi bangsa yang kehilangan identitas. Untuk itu mereka yang peduli terhadap kebudayaan Indonesia harus selalu berupaya mengambil dan melestarikan kearifan-kearifan yang terdapat dalam budaya sendiri.

Lembaga Alkitab Indonesia merupakan lembaga yang salah satu tugasnya adalah menjaga nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal. Hal ini tercermin dari tiga mandat negara yang dijalankan LAI, salah satunya adalah Pelestari Bahasa Daerah, melalui penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah. Mengingat betapa pentingnya tugas tersebut, mari kita terus mendukung pelayananan LAI dalam penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah, sekaligus melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat kita sendiri. LAI terus berjuang dalam keterbatasannya, maju dan pantang mundur sambil terus bersyukur serta berdoa. Mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.