Musa: Sosok Pemimpin Yang Melayani

Musa: Sosok Pemimpin Yang Melayani

 

Definisi yang sederhana untuk menjelaskan arti kepemimpinan adalah seni memotivasi sekelompok orang untuk bertindak mencapai tujuan/cita-cita bersama. Dalam dunia bisnis, kepemimpinan bisa berarti mengarahkan bawahan dan rekan kerja untuk mencapai tujuan perusahaan.

 

Kepemimpinan juga dapat berarti kemampuan menginspirasi orang lain akan sebuah cita-cita dan mengajak orang tersebut melakukannya. Kepemimpinan sangat berkaitan dengan gagasan, baik gagasan asli dari pemimpin atau gagasan yang disepakati bersama, namun kepemimpinan baru menemukan artinya saat gagasan tersebut berhasil dikomunikasikan kepada sekelompok orang dan mereka mau bertindak mewujudkan gagasan tersebut seperti yang dikehendaki si pemimpin.

Berbicara tentang kepemimpinan, saya merujuk kepada Musa sebagai model Kepemimpinan Kristen. Dalam hal ini gagasan yang disampaikan Musa (atas nama Allah) adalah: “Melepaskan Bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, membawa mereka keluar dari Mesir menuju tanah pusaka nenek moyang mereka dengan selamat.”    

Gagasan inilah yang kemudian menjadi misi yang hendak dicapai oleh Musa. Tentu bukanlah perkara yang mudah untuk meyakinkan bangsa Israel mau menerima gagasan Musa ini, Karena sebelumnya Musa lebih dikenal sebagai bagian dari Istana Firaun (Prince of Egypt) disbanding sebagai bagian dari bangsanya sendiri. Jika Saudara pernah menonton film “Ten Commandments” ada satu adegan yang menyentuh dimana Ibu Musa (Miryam) hampir terjepit batu dan diselamatkan oleh Musa, namun Musa tidak mengenali ibunya. Tetapi sebaliknya, Ibu Musa mengenalinya dan memandang dengan sedih. Disatu sisi Miryam bersyukur puteranya masih hidup dan mendapatkan pendidikan yang baik sebagai “an officer and a gentleman” namun disisi lain anaknya menjadi orang asing bagi keluarga dan bangsanya sendiri.

Berdasarkan “Teori Kepemimpinan Situasional”, yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard, kita bisa melihat sosok Musa sebagai bahan kajian. Teori Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard didasarkan atas 4 variabel, yaitu 2 variable pada pemimpin dan 2 variabel pada yang dipimpin (pengikut). Berdasarkan pola hubungan pemimpin-pengikut tersebut, ada 4 model kepemimpinan, yakni:

Directing. Jika Pengikut mempunyai karakter kompetensi rendah dan komitmen tinggi, maka Pemimpin harus bersikap sebagai instruktur: harus banyak memberikan pengarahan (mengajari, mendidik), atau meningkatkan kemampuan pengikut ke lembaga pelatihan agar kompetensinya meningkat

Coaching, jika Pengikut mempunyai karakter kompetensi rendah-sedang dan komitmen rendah, maka Pemimpin harus bersikap sebagai coach: harus banyak memberikan pengarahan (mengajari, mendidik), atau meningkatkan kemampuan pengikut ke lembaga pelatihan agar kompetensinya meningkat, tetapi juga harus memberi dukungan, support, seperti sikap seorang pelatih kepada atlet binaannya.

Suporting, jika Pengikut mempunyai karakter kompetensi sedang-tinggi dan komitmen setengah hati/ bervariasi, maka Pemimpin harus bersikap sebagai pendamping: tidak perlu lagi memberikan pengarahan (mengajari, mendidik), tetapi justeru  harus memberi dukungan, support, untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

Delegating, jika Pengikut mempunyai karakter kompetensi tinggi dan komitmen tinggi, maka Pemimpin harus berani mendelegasikan tugas-tugas: pemimpin dapat mempercayai pengikutnya untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan Pemimpin dapat melangkah untuk mencapai tahapan misi berikutnya

Lalu apakah kepemimpinan Musa sejalan dengan pemikiran Hersey-Blanchard tentang kepemimpinan situasional? Apakah bangsa Israel ingin diakhiri perbudakannya? – Ya.

Apakah bangsa Israel ingin keluar dari Mesir? – Antara ya dan tidak. Ingin keluar dari Mesir karena ingin lepas dari perbudakan. Tapi juga tidak ingin keluar dari Mesir karena walau menderita kerja keras sebagai budak tapi ada kepastian tempat tinggal, makanan. Dan, mengembara di padang belantara (wilderness) adalah sebuah tanda tanya. Sebuah petualangan. Sebuah ketidakpastian.

Apakah bangsa Israel mempunyai kompetensi? – Ya. Mereka adalah para budak yang membangun kota-kota di Mesir. Para “engineer” dalam berbagai kualifikasi dengan karakter engineer yang pintar, percaya diri, dan mandiri. 

Dari narasi tentang petualangan hidup Musa kita juga tahu betapa Musa harus mengurusi banyak hal untuk bangsanya:

  • Memenuhi kebutuhan air
  • Memberi daging
  • Mengatasi wabah penyakit
  • Mendengar keluhan dan amarah 
  • Dll.

 

Dan karya terbesar Musa dalam kepemimpinannya adalah “Dasa Titah” (Sepuluh Perintah – Ten Commandments) yang merupakan dialog Musa dengan Tuhan untuk merumuskan landasan etis yang singkat tapi universal untuk mengatur bangsa Israel yang pintar (high competence) tapi susah diatur (variable commitments).

Bangsa Israel yang tidak sepenuhnya percaya kepada kepemimpinan Musa karena mereka sungguh percaya diri pada kapasitas mereka, sehingga mereka banyak bertingkah. Dengan kata lain, ingin menguji kapasitas Musa. Benarkah Musa layak disebut sebagai pemimpin? Namun, Musa yang mantan orang istana yang biasa dilayani, melalui pelatihan yang diberikan Tuhan dalam kehidupan bersama keluarga di Midian telah menjadi sosok yang lebih rendah hati dan mau melayani orang lain.

Menutup refleksi ini saya ingin mengutip perkataan Pdt. Marthin Luther King, Jr. “Setiap orang dapat menjadi besar, karena siapa saja dapat melayani orang lain. Saudara tidak perlu memiliki gelar akademik supaya dapat melayani. Saudara tidak perlu perbuatan-perbuatan yang besar dan  lidah yang fasih untuk disebut melayani. Yang diperlukan hanyalah hati yang peka serta niat untuk berbuat bagi sesama.” Dan ini sesuai dengan Firman Tuhan:  “Orang yang mau menjadi besar di antara kalian, ia harus menjadi pelayanmu. Dan orang yang mau menjadi yang pertama di antara kalian, harus menjadi hamba bagi semua. Sebab Anak Manusia pun tidak datang untuk dilayani. Ia datang untuk melayani dan untuk menyerahkan nyawa-Nya untuk membebaskan banyak orang." [Markus 10: 43-45 – BIMK]. Selamat menjadi Pemimpin yang melayani.