OPTIMISME TIDAK DIBANGUN DALAM SEMALAM

OPTIMISME TIDAK DIBANGUN DALAM SEMALAM

 

Dikisahkan pada suatu waktu terjadilah konflik antar 2 kerajaan di Pulau Jawa, antara Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka (dibaca = Boko). Istana Kerajaan Baka berhasil dikuasai oleh seorang panglima muda bernama Bandawasa (dibaca = Bondowoso). Cerita selanjutnya rasanya sudah kita ketahui, Bandawasa tertarik kepada Jonggrang puteri Baka, lalu melamarnya. Atas nama strategi, Jonggrang menerima lamaran tersebut dengan satu syarat, bahwa Bandawasa harus mampu membangun seribu candi dalam tempo satu malam. Bandawasa harus menyelesaikannya sebelum ayam berkokok. Bandawasa menyanggupi syarat tersebut. Menjelang dini hari tampaknya Bandawasa hampir menyelesaikan proyek tersebut. Untuk menggagalkan usaha Bandawasa, Jonggrang bersama dayang-dayangnya dan penghuni  keputren berusaha “membangunkan fajar” lebih awal dengan menyalakan lentera, mulai menumbuk padi dengan lesung, menanak nasi, memasak dan aktivitas lainnya. Akibatnya ayam pun berkokok lebih awal sementara Bandawasa baru menyelesaikan candi yang ke 999. Bandawasa marah atas trik yang dilakukan Jonggrang, lalu mengutuknya menjadi arca batu.

Jika kita berwisata ke timur Yogyakarta, maka kita dapat menyaksikan situs-situs legenda Bandawasa-Jonggrang. Kita dapat menyaksikan bekas Istana Kerajaan Baka, Seribu Candi atau Candi Sewu, dan arca Jonggrang di Candi Syiwa di Percandian Prambanan. Candi Sewu dan arca Jonggrang (yang sebetulnya adalah arca Durga, isteri Syiwa) tentu saja tidak dibangun dalam semalam. Candi Sewu dibangun pada abad ke-8 sebagai candi Buddha sementara Percandian Prambanan dibangun satu abad kemudian sebagai candi Hindu yang tentu saja tidak dibangun dalam semalam.

Legenda “Dibangun dalam semalam” ada banyak di Nusantara, dan kita familiar dengan legenda-legenda itu. Mungkin itu sebabnya, kita melihat di media-media sosial banyak anak-anak muda yang berkeluh karena resolusi tahun 2020 tidak tercapai. Ada banyak curahan hati dari mereka seperti “Resolusi 2021”, “Mujizat tidak terjadi”, “2020 Kurang Greget”, “2021 Penuh Ketidakpastian”, dan sebagainya. Masih banyak orang menaruh harapan pada ‘mujizat yang terjadi dalam semalam’.

Padahal, menurut para pakar agar bisa sukses mencapai resolusi kita harus mendefinisikan dengan jelas apa yang ingin kita capai. Lalu mengumpulkan komponen-komponen pendukung untuk mewujudkan resolusi tersebut, lalu memimpikannya. Bagi remaja/pemuda, hal memimpikan ini menjadi sesuatu yang romantis. Memikirkannyanya dan menceritakanya terus menerus. Padahal oleh pencetus teori ini, yang dimaksud dengan memimpikannya adalah memvisualkan rencana-rencana kita untuk mewujudkan resolusi tersebut dan dilanjutkan dengan membuat rencana dan mewujudkannya. Teori ini dalam kepemimpinan disebut sebagai pendekatan Appreciative Inquiry dengan prinsip “5D”:Define, Discover, Dream, Design, Deliver.

Mengaplikasikan “5D” juga tidak berarti semuanya berjalan dengan lancar. Perlu perjuangan, jatuh bangun, gagal dan coba lagi, terutama pada tahapan Design dan Deliver. Banyak hal harus ditambah, dicari, diperbaiki, diulang, dan seterusnya. Diperlukan keuletan, tahan uji, kreativitas dan inovasi. Disamping itu diperlukan juga sikap positif atau optimisme. Teori Appreciative Inquiry didasarkan pada psikologi positivisme yang memandang kehidupan di dunia ini dengan sikap positif-realistis. Memandang kehidupan dunia dengan kaca mata negatif hanya membuat kita kuatir, takut, tidak berani bertindak dan pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, kecuali rutinitas, seperti tertulis dalam Alkitab, “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah” [Amsal 18:14 – TB].

Memasuki tahun 2021 banyak orang berkata bahwa tahun 2021 adalah tahun yang tidak menentu. Tetapi sepertinya kita juga pernah mendengar ucapan senada pada tahun lalu dan tahun sebelumnya dan tahun sebelumnya pula. Bukan hal baru. Selalu ada kegamangan untuk memasuki tahun baru. Tetapi marilah, kita ubah persepsi kita tentang tahun 2021 sebagai tahun yang tidak menentu. Tahun 2021 adalah tahun yang penuh kepastian, setidaknya untuk beberapa hal, misalnya: kita masih harus hidup berdampingan dengan virus COVID-19, kita masih harus memakai masker, rajin membersihkan diri, menjaga jarak, bekerja bergantian di rumah dan di kantor, dsb. Di sisi lain juga ada kepastian bahwa Vaksin COVID-19 sudah tersedia dan vaksinasi massal segera dimulai, pembangunan infrastrukstur jalan terus, pemulihan ekonomi juga sedang berjalan, dsb.

Candi Sewu tidak dibangun dalam semalam. Ada orang yang mempunyai gagasan, ada orang yang merancangnya, ada yang menyiapkan material yang diperlukan, ada yang memvisualkannya/mengimpikannya, ada orang yang mewujudkannya. Ada kerja tim. Demikian juga kehidupan kita. Membangun optimisme tidak bisa dilakukan hanya semalam. Kita perlu waktu dan strategi, kita juga tidak berjalan sendiri melainkan hidup bersama dengan sesama. Untuk mewujudkan resolusi kita seringkali kita juga perlu berjalan bersama atau mengerjakannya bersama orang lain, seperti para leluhur kita mewujudkan Candi Sewu. Candi Sewu bukanlah karya mujizat Bandawasa dalam semalam,  melainkan hasil kerja orang banyak selama bertahun-tahun. Demikian pula cara kita membangun hidup kita. Hidup kita tidak dibangun dalam semalam, juga tidak diruntuhkan dalam semalam. Tetap semangat menjalani tahun 2021 sambil merefleksikan ayat-ayat di bawah ini:

“Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi,

Yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan;

Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya,

Dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa.

Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak,

dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan.

Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya,

dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan tidak akan dipadamkan-Nya,

sampai Ia menjadikan hukum itu menang.

Dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap.”

[Matius 12:18-21]

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.