PAK SAKIMUN DAN MUSEUM

PAK SAKIMUN DAN MUSEUM

 

Di antara pemberitaan kunjungan kerja Presiden Jokowi awal bulan November yang lalu ke Italia, Inggris dan Uni Emirat Arab (UEA) ada satu berita menarik. Di UEA, presiden diundang menyaksikan Dubai Expo 2021 yang diadakan secara besar-besaran dan mewah. Memang sepertinya Dubai sedang berubah dari perekonomian yang bergantung pada minyak bumi, kini UEA sedang menuju negara industri jasa dan pariwisata. Pada pemberitaan tentang Dubai Expo 2021, terselip juga berita tentang pembukaan (soft opening) “Dubai Museum of the Future”.

“Museum masa depan? Apa maksudnya? Bukankah biasanya yang disebut museum berisi benda-benda yang mengingatkan pada sejarah?” saya bertanya-tanya dalam hati saat membaca artikel tersebut. “To reimagine the future, we must be open to new possibilities. Join us on a journey to 2071. Pioneer new worlds and ways of living, and return to shape today’s world for the better.” Demikian keterangan tentang museum tersebut, “Untuk mengubah pandangan tentang masa depan, kita harus terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Bergabunglah bersama kami dalam perjalanan menuju tahun 2071. Memelopori dunia yang baru dan cara-cara hidup yang baru dan menerapkannya pada kehidupan masa kini untuk kehidupan yang lebih baik.” Sebuah cita-cita yang ambisius? Entahlah. Tapi, yang jelas keterangan tersebut mengubah persepsi saya tentang museum yang suram dan penuh dengan barang-barang kuno, walaupun museum masa kini sudah ‘dikemas’ dengan penampilan yang lebih modern, misalnya dengan diberi lampu-lampu, arsitektur dan layar digital tiga dimensi, seperti Museum de Geneve yang pernah saya kunjungi di Geneva. 

Tetap melekat kuat dalam ingatan saya bahwa museum adalah “gedung barang kuno” seperti tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “museum /mu·se·um/ /muséum/ n gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat menyimpan barang kuno”. Bagi saya museum bukanlah tempat yang menarik. Setidaknya itulah pendapat saya ketika saya masih di Sekolah Dasar. Sama tidak menariknya dengan pelajaran Sejarah dimana kita harus menghafal nama orang, tempat, tahun terjadinya peristiwa di masa lampau. 

Namun pandangan saya tentang pelajaran Sejarah berubah 180o berkat Pak Sakimun, guru sejarah saat saya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama. Ketika pertama kali beliau mengajar, beliau berkata, “Dalam mengajar sejarah, saya tidak ingin kamu menghafal nama tempat, tahun terjadinya peristiwa, cerita tentang peristiwa tersebut. Hal-hal tersebut tidak akan saya tanyakan dalam ujian. Itu semua bisa kamu baca dalam buku dan tidak perlu kamu hafalkan. Otak kamu itu untuk berpikir, bukan untuk menghafal. Yang akan saya tanyakan adalah nilai-nilai apa yang dapat kamu petik untuk kamu terapkan dalam hidupmu, pengalaman apa yang dapat kamu pelajari dari sebuah peristiwa sejarah, kesalahan seorang tokoh sejarah yang perlu kamu hindari dan yang terpenting adalah “api” sejarah itu agar kamu dapat memberikan sumbangsih bagi bangsa, negara, dan dunia.”  Wow! Kami saat itu hanya bisa bertepuk tangan tanpa tahu persis apa makna yang beliau maksudkan. 

Kini saya menyadari benar bahwa perkataan Pak Sakimun memberikan dampak yang besar dalam hidup saya. Ketika saya membaca berita, secara otomatis otak saya bekerja memikirkan nilai-nilai apa yang bisa saya serap dari berita itu. Bukan sekedar berita atau informasi yang perlu saya ketahui. Demikian pula ketika saya membaca buku, bahkan novel sekalipun. Termasuk tulisan dalam WSHD ini lebih banyak dilatarbelakangi oleh apa yang saya baca, dengar dan saksikan tanpa saya hafalkan.

Dan, pelajaran Pak Sakimun sungguh menolong saya ketika saya mengantar keponakan mengunjungi Museum Sejarah Nasional yang terletak “di dalam” Monumen Nasional, Jakarta. Saya bisa dengan lancar bercerita tentang peristiwa yang digambarkan melalui diorama-diorama yang ada di situ. Saya bisa bercerita dengan lancar bukan karena saya hafal kejadian peristiwa tersebut, tetapi karena saya menghayati makna peristiwa tersebut bagi hidup saya. Dan museum pun tidak lagi suram dan membosankan bagi saya.

Dampak lain dari pelajaran sejarah model Pak Sakimun turut mengubah cara saya membaca Alkitab, yaitu belajar menghayati setiap narasi didalamnya seperti belajar sejarah. Didalamnya banyak sekali nilai-nilai yang diperlukan agar kita “hidup kaya” dan bahagia, bukan sekedar “menjadi kaya – “Not just getting rich, but live rich and happilly forever after.” Walaupun, kadang-kadang kita menemukan juga bagian yang sulit dalam Alkitab untuk dihayati lebih dalam. 

Pertanyaannya sekarang, “Jika untuk memahami sejarah nasional kita bisa pergi ke Museum Sejarah Nasional di Monas Jakarta, dimanakah kita bisa menemukan museum Alkitab? Haruskah kita ke luar negeri? Ternyata tidak. Di Gedung Pusat Alkitab, di Jalan Salemba Raya No.12 ada Museum Alkitab. Walaupun terkesan sederhana, museum ini mempunyai koleksi benda-benda Alkitab yang cukup baik dan cukup menolong umat Tuhan memahami dan menghayati bagian-bagian dalam teks Alkitab.

“Museum memiliki tugas penting untuk mengembangkan peran pendidikan dan menarik pengunjung lebih luas dari kalangan masyarakat, lokalitas atau kelompok yang dilayaninya. Interaksi dengan masyarakat pendukung dan pembinaan serta promosi warisan yang diampunya merupakan bagian integral dari pendidikan yang harus dilaksanakan oleh museum”, demikian tugas dan panggilan museum seperti dirumuskan oleh ICOM (International Council of Museum). Tuhan menginginkan kita belajar dengan cara mengamati dan mengeksplorasi. “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”, demikian bunyi Amsal 6:6. Pak Sakimun, juga ICOM berkata, “Pergilah ke museum, perhatikan koleksinya, dan jadilah bijak”. Terima kasih Pak Sakimun, terima kasih ICOM, terima kasih LAI, kalian semua telah menolong saya untuk menjadi lebih bijak.

 

Pdt. Sri Yuliana