Pater Cletus Groenen:  “Janganlah membuat Kitab Suci menjadi sesuatu yang rumit, ruwet dan sulit!”

Pater Cletus Groenen:  “Janganlah membuat Kitab Suci menjadi sesuatu yang rumit, ruwet dan sulit!”

 

Pada 9 Februari yang lalu, Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB 2) akhirnya diluncurkan. Alkitab TB2 merupakan pembaruan dari Alkitab Terjemahan Baru (TB) yang telah menemani umat kristiani Indonesia dari beragam latar belakang gereja dan tradisi selama hampir setengah abad. Dalam catatan sejarah Alkitab TB merupakan terjemahan oikumenes yang pertama di dunia, buah nyata dari kerja sama tim penerjemah Lembaga Alkitab Indonesia dan tim penerjemah Kitab Suci Katolik di bawah naungan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Satu nama yang tidak boleh dilupakan setiap membicarakan terbitnya Alkitab Terjemahan Baru, Alkitab persatuan umat kristiani di Indonesia adalah Pater Cletus Groenen, OFM. Selama bertahun-tahun Pater Cletus Groenen ditugaskan Gereja Katolik untuk mengerjakan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia. Dan ketika pekerjaannya sudah nyaris selesai dan siap terbit, ia harus merelakan karyanya tidak diterbitkan sebagai Alkitab umat dan kemudian bekerja sama untuk merampungkan terjemahan Alkitab Terjemahan Baru bersama tim LAI. 

Cletus Groenen OFM lahir di Heiden-Panningen, Belanda pada 12 November 1921. Beliau masuk novisiat OFM pada 7 September 1941 dan ditahbiskan sebagai imam Katolik di Weert pada 7  Maret 1948. Setelah menyelesaikan studi doktoral Teologi dalam bidang Kitab Suci di Universitas Antonianum, universitas milik Fransiskan di Roma (1952), beliau langsung berkarya di Indonesia pada 18 Desember 1952. Mula-mula mengajar di Seminari Tinggi Fransiskan, Cicurug, Sukabumi.  Selanjutnya sejak 1967 beliau mengajar di Seminari Tinggi St. Paulus (FakKentungan, Yogyakarta. Di seminari inilah beliau menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Meski menjadi pengajar dogmatika dan Kitab Suci di seminari tersebut, Pater Cletus tidak tinggal di sana, melainkan memilih tinggal di Biara Fransiskan, di Jl. Legi 7, Papringan, Yogyakarta. 

Selain di Seminari Tinggi Kentungan, Pater Cletus Groenen juga mengajar di Sekolah Filsafat  Kateketik “Pradnyawidya”, Yogyakarta (sejak 1970) di Yogyakarta dan terkadang mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Katolik Abepura, Irian Jaya (dari 1970 sampai dengan 1977). Di luar tugas mengajar beliau juga menjadi Magister Novis dan Frater OFM. 

Sejak usia muda, Pater Cletus Groenen ini terkenal sebagai Saudara Dina yang paling sederhana, banyak berdoa, membaca dan bermati raga. Kemiskinan dan matiraga sangat dihidupinya dengan segenap hati, karena sewaktu masih menjadi  frater, hatinya terhenyak oleh komentar seorang umat yang mengejek para Fransiskan,”hanya berpura-pura miskin padahal sangat kaya”. 

Salah seorang muridnya, Fransiskus Borgias menyebut, Pater Cletus orangnya sangat serius, tekun, pekerja keras, matiraganya kuat (makannya sedikit). Ia hanbya makan sepotong roti di pagi hari dan sedikit nasi pada siang hari. Badannya ramping cenderung kurus.  

Setiap hari pagi-pagi benar ia sudah bangun, dan pergi tidur ketika hari sudah larut malam. Di luar aktivitasnya mengajar dan membimbing calon imam, Pater Cletus menghabiskan waktunya dengan membaca. Di meja kamarnya selalu ada buku tebal yang terbuka dan sedang dibacanya dengan tekun. 

Pater Cletus begitu menerapkan panggilan hidup sederhana. Salah satunya tercermin dari busana yang dikenakannya. Setiap harinya beliau tidak pernah mengenakan pakaian lain, selain jubah coklat Fransiskan. Jubah itu bukan sekadar pakaian formalitas untuk urusan liturgis kegerejaan dan kealtaran semata. Namun, dipakainya dalam setiap kesempatan, baik di gereja, lingkungan kampus maupun kegiatan-kegiatan sehari-hari lainnya. 

Meskipun ia seorang imam, seorang doktor ahli Kitab Suci, dosen terkenal namun Pater Cletus selalu mencuci pakaiannya sendiri. Setelah pakaian ia cuci, ia kemudian mengeringkan dan menggantungnya di depan jendela kamarnya yang terbuka ke arah taman bunga. Di bawahnya ada bunga-bunga di taman dekat jendelanya. Air-air dari jemuran itu menetes dan membasahi bunga-bunga tersebut sehingga menjadi lumayan hijau dan segar. 

Hanya satu hal yang sulit dihentikan atau dipantanginya, yakni merokok. Karena sangat suka merokok, ada banyak lubang kecil pada jubahnya. Lubang kecil itu ada di mana-mana karena terkena percikan api rokoknya sendiri. Pater Groenen baru berhenti merokok setelah untuk kesekian kalinya beliau sakit keras dan dimarahi oleh dokter. “Rama ini mau sembuh atau mau mati saja?” tegas pak dokter. “Kalau mau sembuh berhenti merokok!” Seketika itu juga, rokok yang disembunyikannya di bawah bantal dibuangnya jauh-jauh. 

Sampai akhir hayatnya, beliau dikenal memiliki tingkat keilmuan dalam teologi dan Kitab Suci yang sangat tinggi, dan terbilang sebagai tokoh ilmuwan atau teolog yang disegani di Seminari Tinggi Yogyakarta. Tulisan-tulisannya bermutu tinggi, dengan catatan kaki yang sering sampai setengah halaman atau lebih. 

Dari dalam kamarnya di Biara Padua, Cicurug, Sukabumi, Pater Cletus Groenen mendirikan Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina (LBSSD) yang berpusat di kamarnya di Biara Padua, Cicurug, Sukabumi. Nantinya, pada 1971 LBSSD diadopsi ke dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan berubah nama menjadi Lembaga Biblika Indonesia (LBI)

Melalui kerja sama dengan pihak di kalangan Gereja Katolik, antara lain para Yesuit (SJ), disepakati untuk menerjemahkan seluruh Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia. LBSSD mendapatkan jatah untuk menerjemahkan Sebagian dari Perjanjian Lama. Atas inisiatif Pater Cletus dikerjakanlah terjemahan itu dan telah menghasilkan terbitan berjilid-jilid, dalam format mendekati kertas A4. Dalam penerjemahan ini memang ada anggota-anggota lainnya juga, tetapi penerjemahan pertama dikerjakan oleh Pater Cletus, sementara anggota-anggota yang lain memeriksa dan memberi saran perbaikan dari hasil terjemahan tersebut. 

Setelah Konsili Vatikan II, menggulirlah semangat oikumene. Di Indonesia, semangat ini menjelma dalam suatu gerakan raksasa penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia. Di sinilah terletak kebesaran jiwa Pater Cletus Groenen. Dia tidak memaksakan hasil terjemahannya yang sudah sekian banyaknya  itu kepada pihak Gereja Protestan yang dikoordinasi oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Ia dengan rela hati meninggalkan semua yang telah dikerjakannya dengan susah payah itu, dan Bersama-sama dengan pihak Gereja Protestan memulai karya bersama penerjemahan Alkitab. 

Buah kerja sama antara Gereja Protestan dan Gereja Katolik itu mewujud dalam Alkitab Terjemahan Baru yang terbit pada 1974. Alkitab yang nantinya selama hampir setengah abad dipergunakan gereja dan umat kristiani di Indonesia untuk keperluan peribadatan, persekutuan ataupun pembacaan pribadi. 

Di kalangan umat Katolik pernah ada anggapan yang cukup kuat bahwa ilmu tafsir (eksegese) adalah sebuah ilmu yang eksklusif-elitis untuk sekelompok kecil ahli (pakar). Pater Cletus Groenen, sebagai seorang pakar Kitab Suci sepanjang karirnya malahan berupaya keras untuk membongkar mitos tersebut. 

Untuk memahami teks Kitab Suci dan untuk bisa membuat Kitab Suci mendarat  dan bermakna bagi hidup umat beriman, menurut Pater Cletus tidak selalu mutlak memerlukan bantuan ahli Kitab Suci. Beliau menekankan bahwa umat awam pun bisa secara langsung membaca dan memahami isi Kitab Suci 

“Syaratnya sederhana saja, kok,”katanya. “Asal mereka bisa membaca dan menulis dengan baik. Pokoknya harus melek huruf dan angka. Sesederhana itu,”tuturnya pada suatu kesempatan konferensi bulanan di Papringan pada pertengahan 80-an. 

Kepada muridnya, Fransiskus Borgias, beliau menyatakan lebih lanjut,”Ingat Frans, Kitab Suci itu mulanya ditulis untuk komunitas jemaat, yang umumnya adalah orang-orang sederhana. Setidaknya, mereka itu bukan spesialis ilmu tafsir (Kitab Suci). Mereka bukan ahli sejarah atau arkeologi. Mereka itu umat biasa. Nah, coba kamu bayangkan bagaimana Surat 1 Tesalonika misalnya dibaca di ruang gereja rumah di Tesalonika pada tahun 50-an Masehi itu. Mereka itu adalah orang-orang yang baru bertobat dan menjadi kristiani, pengikut Kristus. Mereka umumnya adalah orang-orang sederhana. Paulus menulis surat 1 Tesalonika itu untuk mereka tadi.”

Maka, kalau surat tersebut berbunyi bagi orang-orang sederhana di Tesalonika, seharusnya surat itu juga bisa berbunyi bagi umat masa kini dan nanti. Umat Tuhan di sepanjang masa, dalam setiap waktu dan di setiap tempat. Paulus tidak pernah bermaksud menulis surat untuk kelompok umat spesialis. Ia menulis surat-suratnya untuk umat awam dan sederhana, tetapi mereka memiliki nalar dan akal sehat untuk bisa membaca, menulis dan memahami isi Kitab Suci. 

Pater Cletus tutup usia pada bulan April 1974 dalam usia 72 tahun. Namun, kenangan tentangnya tidak pernah lekang dari ingatan. Ia selalu mengajak murid-muridnya ataupun umat gereja Katolik untuk tekun membaca Kitab Suci. Nasihat Pater Cletus terus diingat para muridnya,”Janganlah membuat Kitab Suci menjadi sesuatu yang rumit, ruwet dan sulit. Gunakanlah akal sehatmu.” Maka selanjutnya Roh Kudus yang akan membantu kita untuk bisa memahami dan mengerti isi firman Tuhan dengan lebih baik.