Pdt. Em. Dr. Sutarno: Bukan oleh Kekuatan dan Kehendak Sendiri

Pdt. Em. Dr. Sutarno: Bukan oleh Kekuatan dan Kehendak Sendiri

“Segala sesuatu adalah Dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” (Roma 11:36)

Generasi muda sekarang mungkin tidak banyak yang mengenal dengan baik sosok Pdt. Sutarno. Padahal jika merujuk pada deretan jabatan yang pernah diembannya, beliau boleh disebut sebagai salah satu tokoh kristiani Indonesia yang pelayanannya luas dalam berbagai bidang kehidupan. Beliau tercatat pernah menjabat sebagai: Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pendeta Pelayanan Mahasiswa dan Perguruan Tinggi di Semarang. Dalam lapangan pendidikan beliau pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Rektor UKSW, hingga Ketua Program Paskasarjana di tempat yang sama. 

Dalam pelayanan lintas gerejawi beliau pernah menjabat sebagai Ketua Deputat Keesaan Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ), Ketua Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Anggota Central Committee Dewan Gereja Sedunia (WCC), Ketua Pengurus Pusat Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum).

Pernah juga beliau menjadi Pemimpin dalam dunia media, yaitu sebagai Pemimpin Redakasi Harian Suara Pembaruan Jakarta dan juga Wakil Pemimpin Umum harian tersebut. 

Melihat luasnya bidang pelayanan yang pernah Pak Tarno emban, timbul pertanyaan, sejak kapankah semangat melayani dan berorganisasi ini bermula? Siapakah yang mendorongnya hingga mengambil pilihan hidup sebagai pendeta? Sutarno menganggap bahwa perjalanan hidup, karir maupun berbagai aktivitas yang dilakukannya itu di luar kesadaran dan kehendaknya sendiri. Semuanya ada dalam penetapan dan kuasa Tuhan semata. 

Numpang Lahir di Bobotsari  

Sutarno lahir pada Jumat Pon, 23 Februari 1934 di Bobotsari sebuah desa kecil di Kabupaten Banyumas. Karena lahir di malam hari, ibunya dari kecil mendorongnya untuk menjadi anak yang pemberani. Tidak takut pada kegelapan malam. Bobotsari hanya menjadi tempat numpang lahir, karena ayahnya yang adalah Kepala Sekolah Rakyat sedang dalam proses pindah tugas ke Yogyakarta. Sekolah Dasar hingga SMA dilewatinya di Kota Pelajar Yogyakarta. Meskipun bukan berasal dari keluarga Kristen, ayah Sutarno menyekolahkan anak-anaknya di Holands Javaans School (HJS) met de Bijbel “Kulon”. Yang artinya Sekolah Dasar yang memakai Alkitab. Ciri kekristenan di sekolah itu tampak pada dua hal. Pertama, setiap hari sebelum dan sesudah pelajaran, guru memimpin anak-anak untuk berdoa. Kedua, setiap hari Natal, sekolah merayakannya dengan mengadakan Kebaktian Natal di GKJ Sawo Kembar. Tarno selalu senang melihat pohon Natal yang berhiaskan pita-pita kertas warna-warni dan lampu-lampu kecil berkerlap-kerlip, meski dirinya belum mengetahui makna dan sejarah perayaan Natal. Melalui doa dan pengalaman Natal tersebut, benih Injil rupanya mulai tertabur di hati dan pikiran Sutarno. Namun, buahnya baru nyata belasan tahun berikutnya. 

Suatu hari Minggu di awal 1950-an, datang ke rumah serombongan kawan-kawan Sutrisno (Mas Tris), kakak kandung Sutarno. Kakaknya tidak terlihat di rumah. Mereka membawa bungkusan-bungkusan kado untuk kakaknya tersebut. Ternyata mereka mengucapkan selamat atas dibaptisnya Mas Tris pagi itu di GKJ Sawokembar, Gondokusuman, Yogyakarta. Meskipun terkejut, ayahnya menyambut semua tamu kakak Sutarno dengan ramah. 

Sore hari ketika kakaknya, pulang, ayahnya langsung memanggil dan meluapkan kemarahannya. “O, jadi kamu sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan seizing ayah sudah baptis dan menjadi Kristen to? Kamu merasa bersalah, tidak?” Mas Tris, hanya bisa diam dan menangis. Kemarahan ayahnya akhirnya pelahan mereda, namun ia memberi peringatan, Mas Tris tidak boleh mempengaruhi adik-adiknya masuk Kristen. Kalau sampai ia melanggar, ia akan diusir dari keluarga. Ternyata Mas Tris memegang janji itu dengan teguh. Alasannya hanya dua, ia harus tetap menghormati orang tuanya sebagai salah wujud ketaatan pada Perintah Tuhan (Keluaran 20:12). Selain itu ia mempunyai keyakinan, kalau Tuhan berkehendak tidak ada yang bisa menghentikannya. Jadi Mas Trisno adalah orang pertama dalam keluarga Sutarno yang menjadi pengikut Kristus. Melalui kakaknya, Injil mulai bersinar dan menerangi hidup keluarga mereka. 

Bukan Kristen Memimpin Paduan Suara Sekolah Kristen

Tarno menempuh SMP di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Di sekolah ini selain nilai-nilai budi pekerti, Tarno mengembangkan bakat dan keahliannya dalam musik dan tarian tradisional. Selepas SMP, ia melanjutkan sekolah di SMA B Negeri 1, di Kota Baru, sekolah negeri terbaik di Yogyakarta. Ia masuk kelas sore. Awalnya ia dengan menjalani studinya tersebut dengan semangat. Beberapa bulan setelah sekolah mulai, musim penghujan tiba. Hampir setiap sore, hujan deras mengguyur kota Yogyakarta. Tarno sering pulang dalam keadaan basah kuyup. Tak jarang ia masuk angin dan batuk. Badannya yang kurus semakin terlihat kerempeng. 

Rupanya ibunya merasa iba dan tak sampai hati mengamati kesehatan Sutarno yang sering terganggu.Ia mengusulkan agar Tarno pindah ke sekolah yang masuk pagi. Maka diputuskan oleh ayahnya untuk memindahkan Tarno ke SMA Bopkri 1. Sebenarnya ayahnya kurang “sreg” menyekolahkan Tarno di Bopkri, terutama karena merupakan sekolah Kristen. Namun, demi mutu pendidikan ayanya akhirnya rela memasukkan Tarno ke sana. Di sekolah ini Tarno bukan hanya belajar doa pagi dan siang, Tarno juga mengikuti pelajaran Agama Kristen. Seminggu sekali para siswa juga wajib mengikuti kebaktian di GKJ Sawo Kembar. 

Salah satu hobi Tarno adalah musik. Sejak bangku SMP, semua teman gurunya mengakui kemampuan Tarno bermain musik. Bahkan bersama kakaknya, Mas Trisno, sudah biasa mengisi di RRI Yogyakarta menyanyikan lagu-lagu terkenal baik dari Indonesia maupun Barat. Karena latar belakang tersebut, Tarno diminta memimpin paduan suara sekolah. Padahal, waktu itu dirinya bukan orang Kristen. Maka, ia terpaksa harus belajar dan memilih lagu-lagu Kristen untuk paduan suara yang akan menyanyi di kebaktian-kebaktian sekolah, di gereja maupun mengisi Mimbar Agama Kristen di RRI Yogyakarta. Bukan hanya di sekolah, Tarno juga pernah memimpin paduan suara pelajar-pelajar SMP dan SMA yang beragama Kristen, yang tergabung dalam Pelkrima (Pelajar Kristen Mataram). 

Jalan Hidup Berbelok

Karena berbagai kegiatan tersebut, pengenalan Tarno kepada kekristenan semakin bertumbuh. Ia bukan lagi terpaksa mengikuti ibadah yang diselenggarakan sekolah, namun diam-diam mulai mengikuti ibadah Minggu secara teratur. Kepergiannya secara teratur pada hari Minggu rupanya diperhatikan oleh sang ayah. Beliau mulai curiga. Namun, ayahnya tidak menegur Tarno secara langsung. Hanya saja, setiap Minggu Tarno diberi berbagai tugas yang menyebabkan ia tidak mungkin keluar rumah. Misalnya, membantu mengoreksi PR murid-murid ayahnya, membuat daftar gaji guru-guru bawahan ayahnya, membersihkan sepeda, atau pernah juga mengantar surat ke rekan-rekan ayahnya. Tanpa ditegur langsung, Tarno tahu ayahnya tidak berkenan ia ikut ibadah Kristen. Namun, Tarno tidak marah ataupun kecewa dengan sikap ayahnya. Ia begitu menghormati dan menyayangi ayahnya. Ia yakin, kalau Tuhan menghendaki pasti pada suatu saat pintu akan dibukakan baginya. 

Hingga suatu hari ayahnya sakit keras dan harus dirawat di Rumah Sakit Bethesda. Ternyata beliau mengidap kanker hati. Perutnya membesar, kulitnya menjadi kuning. Petang, 10 Maret 1953, Tarno mendapat giliran menjaga ayahnya di rumah sakit. “Ayah saya hari itu menyisir rapi rambutnya. Kami tidak banyak bicara kenangnya. Di tengah berjaga, tiba-tiba sang ayah bertanya,” Tar, apa kamu benar-benar ingin menjadi Kristen?” Tarno begitu terkejut mendengar pertanyaan yang tiada disangka-sangka. Hati-hati ia menjawab,”Kalau Bapak memperkenankan, ya; kalau tidak diizinkan saya juga menerima.” Sang ayah lama terdiam. Akhirnya beliau berkata,”Kalau kamu benar-benar ingin masuk Kristen, ya sudah, aku mengizinkan dan merestui. Hanya pesanku, kalau kamu jadi Kristen, jadilah orang Kristen yang baik dan sungguh-sungguh.” 

Mendengar pernyataan ayahnya, dada Tarno sesak, karena rasa haru dan gembira. Ia ingin menangis, namun ia tahan air mata tersebut. Karena ayahnya selalu mengajarkan, seorang laki-laki harus bisa menguasai perasaannya. Dirinya hanya bisa berucap,”Matur nuwun, Pak...” Setelahnya ayahnya menyuruhnya pulang. “Sekarang pulanglah, kasihan ibumu.” 

Malam itu Tarno pulang dengan perasaan bercampur aduk. Esok paginya datang kabar dari rumah sakit, bahwa ayahnya kritis. Ketika keluarga tiba, ayahnya sudah tak sadarkan diri dan koma. Sekitar pukul sembilan pagi, ayahnya dipanggil oleh Tuhan. Hari itu, Tarno pertama kali berdoa sebagai seorang Kristen untuk ayahnya. Ia mengenang ayahnya sebagai sosok teladan. Meskipun ayahnya bukan seorang Kristen, bagi Sutarno, sikap dan keseharian ayahnya jauh lebih Kristen ketimbang banyak orang yang mengaku dirinya Kristen. 

Setelahnya Tarno menjadi murid katekisasi Pdt. Sangidjo, dari GKJ Mergangsan, Yogyakarta. Pada 2 Mei 1954, empat belas bulan setelah ayahnya meninggal, Tarno menerima sakramen Baptis Dewasa dan dua bulan setelah ia menginjak usia 20 tahun.. 

Keputusan Spontan

Ketika duduk di bangku SMA, Sutarno sudah bercita-cita untuk menjadi seorang arsitek dan ingin melanjutkan belajar ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengapa bukan Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta? Karena Tarno ingin merasakan pengalaman dan kesempatan hidup di kota lain. Selain itu ia meyakini, di masa itu ITB lebih hebat dari UGM. Di SMA Bopkri itu ia mempunyai sahabat karib Sularso Sopater (nantinya menjadi Ketua PGI dan Rektor STT). Temannya tersebut terkenal pandai dan saleh. Sularso pernah menyatakan, cita-citanya ingin menjadi ahli pertanian dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). 

Tetapi kemudian terjadi suatu peristiwa yang tak terduga. Suatu petang, Sutarno menjenguk Sularo yang sedang sakit keras. Ternyata Sularso menderita sakit ginjal. Dalam pertemuan dengan sahabatnya tersebut, Sularso menceritakan pergumulannya. Ia mengatakan, ibunya sangat berharap agar selesai SMA, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah Teologi untuk menjadi pendeta. Hal ini merupakan pesan almarhum ayah Sularso sebelum meninggal. Sularso begitu mencintai ibunya, namun di sisi lain harapan menjadi ahli pertanian sangat kuat dan sudah bulat. 

Sebagai sahabat, Tarno menyadari betapa mulia pesan almarhum ayah Sularso. Demi menyemangati sahabatnya, tanpa dipikir, keluar dari mulut Sutarno,”Lho, kok kebenaran sekali, So! Aku juga ingin melanjutkan ke STT. Kalau begitu kita berangkat bersama-sama saja mendafktarkan diri ke STT!” Sularso tampak kaget dan berseru girang,”Benarkah, No? Kalau begitu kita bersama-sama ke STT ya?”

Sepulang dari rumah Sularso, Tarno bingung. Menjadi pendeta pada masa itu, artinya harus siap hidup sederhana, kalau tidak dikatakan hidup berkekurangan. Beda jauh dari cita-cita semulanya menjadi arsitek. Namun, ketika ia menghadap, Mas Tris, kakaknya, ternyata ia mendapatkan dukungan. Kakaknya siap mendukung rencana Sutarno masuk ke STT. Anehnya, ibunya tidak mempersoalkan pilihan Sutarno. 

Demikianlah, perjalanan Sutarno menjadi pendeta diawali sebuah keputusan spontan. Maka, Sutarno dan Sularso berangkat bersama naik kereta api pagi menuju STT Jakarta.  Petang hari ketika mereka menginjakkan kaki di STT Jakarta, mereka berpapasan dengan seseorang yang berjalan pelan sambil bersenangdung kecil menyanyikan sebuah lagu negro spiritual yang cukup terkenal “Sweet Low, Sweet Chariot.” Orang tersebut ternyata Pdt. Dr. P.D. Latuihamallo, Rektor STT Jakarta yang rumahnya berada di ujung depan kampus. Ia menerima kedua mahasiswa baru asal Jawa tersebut dengan ramah. Sutarno pun menjadi mahasiswa teologi benar-benar dari nol. Tanpa modal latar belakang tradisi kekristenan. Tanpa modal pengalaman organisasi yang mumpuni. Kecuali anggota biasa di Pandu Rakyat dan Pemimpin Paduan Suara.  

Berkarya di GMKI

Sejak masuk STT Jakarta, dirinya mulai berkenalan dan bahkan aktif dalam kegiatan organisasi, terutama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Persekutuan Mahasiswa Teologi Jakarta. Di Persekutuan Mahasiswa Teologi Jakarta, yaitu organsisasi intra STT Jakarta, Sutarno menjadi wakil sekretaris. 

Di GMKI mulanya Sutarno hanya melihat banyak kegiatan GMKI yang diselenggarakan di aula STT Jakarta. Seterusnya Sutarno diajak rekan-rekannya yang aktivis GMKI, seperti: Ihromi, Nababan, Fridolin Ukur dan Liem Khiem Yang untuk terlibat aktif di GMKI. Mereka nantinya menjadi tokoh-tokoh utama kekristenan Indonesia. Sampai suatu ketika, Sutarno diusulkan menjadi Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat GMKI. Sekretaris Jenderal yang sebelumnya, Liem Khiem Yang, meneruskan studinya ke Bonn, Jerman. Waktunya kira-kira sekitar awal 1959. Maka, sesudah menyelesaikan kuliah di STT Jakarta, Sutarno tidak bisa langsung pulang ke Jawa, berhubung kesibukannya dalam GMKI. Sambil memangku jabatan sebagai Sekjen, Sutarno melanjutkan studinya ke program Magister Theologiae (M.Th.) di STT Jakarta. 

Sebagai Sekjen GMKI, Sutarno banyak berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia, bertemu dengan banyak pimpinan gereja dan tokoh-tokoh Kristen setempat. Hal tesebut diakuinya menambah pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya dalam berorganisasi dan dalam kerinduan untuk mewujudkan keesaan gereja di Indonesia. Sutarno yang dulunya bukan seorang Kristen, selanjutnya banyak mewakili Indonesia dalam konferensi-konferensi internasional dan kunjungan-kunjungan ke luar negeri. Pernah, ia mengunjungi Kota Nashville di Amerika Serikat ia hendak makan siang di sebuah restoran dengan rekannya yang berkulit hitam. Ternyata rumah makannya menolak orang berkulit hitam masuk. Pada masa itu isu rasial di Amerika masih sangat kental. Akhirnya Sutarno bersama rekannya tersebut pilih batal makan di restoran. Tarno pernah juga menemani sahabat-sahabatnya yang berkulit hitam mengadakan demo-demo menuntut persamaan hak antara warga kulit hitam dan kulit putih. Pendidikan di STT dan pengalaman berorganisasi di GMKI membentuk dan mempersiapkan Sutarno untuk berbagai pengalaman yang lebih luas di kemudian hari. Terutama membentuk jiwa oikumenisnya. 

Berkarya di Berbagai Lapangan Pelayanan

Pada 28 Maret 1963, bertempat di GKJ Mlaten, Semarang Timur,  Sutarno diangkat menjadi Pendeta Pelayanan Mahasiswa untuk perguruan-perguruan tinggi di Semarang, oleh GKJ dengan dukungan GKI Jateng dan Gereja Gereformeed. Namun, ternyata ia tidak lama berkarya di tempat tersebut. Karena kemudian pada 1 Juli 1964 Universtas Kristen Satya Wacana di Salatiga meminta dirinya untuk menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Meskipun demikian, pada akhir pekan ia masih menjalani pelayanan sebagai pendeta mahasiswa maupun berkhotbah di Semarang. 

Pada akhir Oktober 1967, Sutarno dan keluarganya berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi tingkat doctoral di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Tiga tahun kemudian, 16 Oktober 1970, Sutarno memperoleh gelar Doktor Teologi untuk bidang Etika Sosial.

Sekembali di Salatiga, pada awal 1971, Sutarno diangkat sebagai Pembantu Rektor Parampara, penasehat rektor untuk segala urusan. Sutarno juga ditugaskan UKSW secara khusus untuk menggalang bantuan dari luar negeri. Pada Upacara Dies Natalis XVII UKSW, 11 Oktober 1973, Pdt. Dr. Sutarno diangkat menjadi Rektor UKSW yang kedua. Ia memimpin UKSW selama jangka waktu 10 tahun. Setelahnya, Sutarno selama satu tahun (1984-1985), menjadi dosen tamu di Christian Church Seminary (CTS) di Indianapolis dan Union Theological Seminary, Richmon, Virginia di Amerika Serikat. 

Pulang dari  Amerika, Sutarno ternyata tidak beristirahat lama. Rektor UKSW memintanya untuk menjadi Ketua Program Paska Sarjana, Bidang Studi Pembangunan. Jabatan ini dijalaninya selama dua tahun. (1985-1987). Setelahnya Sutarno dipercaya untuk memimpin Harian Suara Pembaruan, Jakarta. Awalnya, sebagai Wakil Pemimpin Umum/ Pelaksana Harian Pemimpin Redaksi (1987-1992) dari harian pengganti Sinar Harapan tersebut. Akhirnya Sutarno menjadi Pemimpin Redaksi (1992-1998) harian Kristen terbesar di Indonesia tersebut. 

Refleksi Atas Perjalanan Hidup

Tidak banyak orang yang memiliki kesempatan dan pengalaman melayani sebanyak Pdt. Dr. Sutarno. Ketika merenungkan perjalanan panjang hidup dan karirnya hingga saat ini, Pdt. Sutarno tidak dapat tidak mengakui kebenaran firman Tuhan dalam Yesaya 49:1b: “Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak aku di perut ibuku.” Bukan berarti Sutarno ingin menyamakan dirinya dengan Nabi Yesaya, namun ia menyadari bahwa jalan hidupnya telah sedemikian ditata dan ditetapkan oleh “Tangan dan Kekuatan Lain” di luar dirinya, yaitu Tuhan sendiri. Tidak pernah terbayang pada mulanya ia akan menjalani hidup sebagai hamba Tuhan, sebagai pendidik ataupun mengemban berbagai tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga gerejawi dan kristiani lainnya. Dari bukan seorang Kristen ia dipilih menjadi alat Tuhan berkarya. Semuanya seperti “meluncur dan menggelinding” begitu saja.

Meski menjalani hidup dengan mengalir, Sutarno senantiasa mengerjakan semua tugas panggilannya dengan penuh semangat dan dedikasi. Tidak pernah setengah hati. Bahkan hingga usia senja sekarang ini. Meski kini Sutarno sudah berstatus penderita emeritus semangatnya melayani tidak berhenti Hingga hari ini Pak Tarno masih aktif sebagai anggota tim revisi Alkitab Bahasa Jawa. Pengalaman dan wawasan Pak Tarno yang luas tak jarang memberi pencerahan anggota tim yang lain. Pak Tarno juga menjadi penasihat dalam Paguyuban Adiyuswa (Kaum Lansia) Sinode GKJ dan Pemimpin Redaksi Majalah “Adiyuswa”.  

”Seberapa masih mampu dan dibutuhkan saya masih ingin memberikan sisa hidup saya untuk melayani Tuhan, Gereja dan sesama dengan sebaik-baiknya,”katanya. Mengutip Masmur 71:5,9, Sutarno menegaskan harapannya,”Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah…Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis.” (keb)