Pdt. Jacky Manuputty:  Sahabat Perdamaian dari Haruku

Pdt. Jacky Manuputty: Sahabat Perdamaian dari Haruku

 

Nama lengkapnya, Jacklevyn Frits Manuputty. Orang lebih akrab memanggilnya dengan Pdt Jacky Manuputty.  Belakangan nama pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) ini semakin dikenal karena jabatannya sebagai Sekretaris Umum Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI). 

Pilihan menjadi pendeta sesungguhnya bukan merupakan pilihan yang direncanakan sedari kecil. Baru selepas dirinya menyelesaikan pendidikan di SMA ia memilih untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah theologia. 

“Itu merupakan dorongan pribadi, meski keputusan saya masuk sekolah teologi mengejutkan teman- teman saya. Karena ketika remaja saya termasuk anak yang nakal, sedikit bandel dan suka berantem. Yah, boleh dikatakan kenakalan anak-anak remaja pada usia tersebut,”terangnya. 

“Namun bisa jadi juga dorongan dari kakek saya. Beliau adalah seorang pendeta. Dalam keluarga besar saya banyak yang mengambil pelayanan menjadi pendeta. Sejak kecil kakek saya sudah berdoa dan berharap nantinya saya menjadi seorang pendeta,” lanjutnya.

Jacky menjalani pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Setelah selesai, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drijarkara. Ia berhasrat mempelajari filsafat lebih dalam karena ia melihat filsafat penting untuk membantu untuk mempertajam pemikiran, memetakan persoalan dan menganalisa sebuah masalah. Waktu itu belum ada keinginan untuk langsung menjadi pendeta. 

Lulus dari STF Drijarkara, ia bekerja serabutan, dan bahkan terlibat dalam teater dan film arahan Sutradara terkenalTeguh Karya. Setelah menikah, atas dukungan istrinya, Louise Maspaitella, Jacky memutuskan pulang ke Ambon. Sang istri waktu itu bekerja di Bank Niaga di Niaga Tower. 

“Saat itu boleh dikatakan posisi istri saya sudah sangat mapan, namun dia rela meninggalkan semua kemapanan tersebut, dan mendorong saya untuk menjadi pendeta.”

Menjadi Pendeta dan Menghadapi Konflik Ambon

Ketika akhirnya kembali ke Ambon untuk merintis karya pelayanan sebagai pendeta, ia memohon untuk ditempatkan di sebuah lokasi pelayanan yang sangat jauh di Kepulauaan Kei, di Maluku Tenggara.  Namun, sebagai vikaris ternyata sinode menempatnya justru di Haruku, di tanah kelahirannya. Pada tahun 1997 ia ditahbiskan menjadi pendeta dan melayani di GPM Jemaat Haria, di Saparua pada tahun 1997. 

Belum genap dua tahun menjabat pendeta, pada Januari 1999 pecah konflik sektarian antar agama Ambon. Konflik berkembang begitu cepat dan meluas ke berbagai tempat di  seluruh Maluku. 

 “Ketika konflik dimulai, saya masih bisa menyebut diri saya orang yang rasional, karena latar belakang pendidikan filsafat saya. Apalagi saya punya beragam pengalaman sebagai aktivis. Saya masih yakin dengan suasana persaudaraan di Maluku, adanya pela gandong tidak akan membuat konflik terjadi. 

Dinamika konflik yang begitu cepat, akhirnya tidak memungkinkan bagi Pdt. Jacky untuk berpikir dan bertindak jernih dan rasional. 

“Awalnya saya bukanlah juru damai, malahan saya ikut terlibat dalam pusaran konflik tersebut. Sekalipun saya tidak pernah memegang senjata, namun jelas saya ikut memberikan inspirasi, mendoakan para kombatan (pasukan tempur). Saya ikut mendoakan dan mempersiapkan anak-anak untuk siap tempur, bahkan termasuk mencari persenjataan,”kenangnya. 

“Pada saat itu kita ada dalam situasi yang begitu terancam tanpa alasan yang jelas. Pilihannya hanya membunuh atau dibunuh!”lanjutnya. “Hampir semua pemuka agama pada akhirnya larut terlibat. Pertanyaan orang rasional mungkin adalah: bagaimana mungkin hamba Tuhan ikut terlibat dalam pusaran konflik?”

Pdt. Jacky  menjawab,”kalau anda dalam posisi di tengah konflik Ambon, dan anda melihat dengan mata kepala sendiri, keluarga anda dibantai, sahabat-sahabat anda dibunuh situasinya sungguh sulit. Kalaupun kita melarikan diri, pada akhirnya kita atau keluarga kita juga akan dibantai. Maka dorongan untuk mempertahankan diri yang pada akhirnya muncul.” 

Dalam situasi perang, akhirnya saya sampaikan pada kita diberikan karunia oleh Tuhan kehidupan dengan segala kelimpahannya. Kita harus mempertahankan dan merawatnya. Kita tidak boleh membiarkan kehidupan dihancurkan dengan semena-mena,”katanya. “Bahkan ketika hidup dipaksa untuk dihancurkan, kita harus mempertahankannya. Meskipun artinya kita menjadi terlibat, hal tersebut merupakan konsekuensi bukan pilihan keputusan.”

Belajar dari kepedihan konflik Ambon Pdt. Jacky selalu memberikan peringatan, jangan sampai di tempat lainnya terjebak dalam situasi konflik seperti itu. Di berbagai tempat ia tak jemu-jemu mengingatkan berbagai kelompok yang berkonflik. 

“Sungguh lebih baik menghindarinya!  Sebab jika sudah masuk dalam pusaran konflik yang gila seperti itu, etika dan nilai-nilai hilang,”tegasnya. “Semakin panjang sebuah konflik semakin susah penyelesaiannya, bahkan sebuah konflik bisa menjadi peluang bisnis bagi sekelompok orang yang ingin mengambil keuntungan.” 

Setelah konflik selesai masih ada banyak pekerjaan rumah, masih banyak hal-hal yang sulit untuk direhabilitasi. “Karakter masyarakat yang sudah berubah, anak-anak eks kombatan yang dibiarkan berjuang hidup sendiri, tidak memperoleh pendampingan healing process. Bayangkan anak-anak yang harus kita pulihkan ini punya pengalaman membunuh sedari kecil. Mereka semua butuh perhatian dan kepedulian kita,”katanya.

Sebuah Titik Balik

Pada akhir 1999, Pdt Jacky  diundang ke Amerika, untuk melakukan kampanye perdamaian. Ia pergi dengan keyakinan di kepala umat Kristen adalah korban dan Amerika adalah negara Kristen. Artinya Amerika akan otomatis membantu saudaranya seiman. Padahal itu kemudian merupakan pikiran yang sangat naif. 

Ia diundang  ke kantor gereja presbiterian di Kota New York. Ia berpikir di tempat ini adalah tempatnya orang-orang Kristen, maka dirinya berharap akan memperoleh banyak dukungan. 

“Saya kemudian bercerita dalam persfektif Kristen adalah korban. Kemudian mereka menaggapi paparan saya: kami punya staf baru dari Indonesia yang menyatakan muslim juga merupakan korban dalam konflik ini,”terangnya.

“Jawaban dan pernyataan mereka saya rasakan bagaikan hantaman palu godam. Saya merasa malu luar biasa. Pada titik itu saya mulai mengubah cara pandang saya. Kalau kita ingin mendapatkan dukungan dalam menghentikan konflik ini, kita harus berbicara dalam persfektif kemanusiaan. Bukan Kristen atau Islam,”lanjutnya. 

Namun, upaya untuk mengusahakan perdamaian tidak semudah membalik telapak tangan. Ketika dirinya kembali ke Maluku, ia kembali terjebak dalam pusaran konflik tersebut. Ia mengalami kesulitan untuk membangun jalan damai. Bahkan sekadar membicarakan tentang perdamaian, tantangannya menurut Jacky adalah nyawa. 

“Kalau sampai kita dicap dan disebut sebagai Yudas (sang pengkhianat), kita tinggal menunggu waktu  untuk dijemput dan kemudian berakhir entah  di mana. Bukan hanya dari golongan Kristen, dari kalangan muslim juga demikian,”terangnya. 

Akhirnya, dengan difasilitasi oleh beberapa teman dari Jakarta yang bisa mengajak semua pihak untuk membicarakan penyelesaian konflik dengan persfektif yang lebih luas, maka Pdt. Jacky mulai mengadakan pertemuan-pertemuan bawah tanah dengan perwakilan muslim untuk membahas perdamaian. Pertemuannya bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali di berbagai kota di luar Ambon. Pada saat itu tidak memungkinkan mengadakan pertemuan di Maluku. Selepas pertemuan kita membangun komunikasi dengan rekan-rekan kita yang memiliki ide sama, kemudian membentuk jaringan. Ketika atmosfer dan bibit-bibit perdamaian sudah mulai berkembang dan tumbuh subur, maka kemudian orang-orang mulai berani bermigrasi untuk membangun jembatan perdamaian. 

 

Pekerja Lapangan

Selepas konflik Ambon, Pdt. Jacky dikenal sebagai provokator perdamaian. Di luar itu ia dikenal sebagai sosok pekerja lapangan, daripada sekadar berdiam di atas mimbar.

“Benar bahwa saya lebih banyak bergerak di lapangan. Saya menyadari bahwa setelah saya menikah waktu saya di tengah-tengah keluarga mungkin hanya sekitar 50%. Selebihnya saya berada di lapangan,”jelasnya.

Pdt. Jacky menyukai perjalanan. Dalam kegiatan pelayanannya, ia pernah menjelajahi pedalaman Papua, Kalimantan, Maluku, namun juga pernah tinggal bersama di tengah-tengah pengungsi di perbatasan Thailand dan Myanmar. Pernah juga dirinya bersama para pengungsi korban tsunami di Sri Lanka, juga pernah tinggal bersama para pengungsi di Timur Tengah. Ia melihat barisan manusia dengan beragam penderitaan yang dialaminya.

Sebaliknya ia juga diundang makan di istana Presiden Obama, di gedung Parlemen Inggris dan gedung-gedung besar lainnya. Pada ujung yang satu dirinya bertemu dengan orang yang memiliki uang hampir tanpa batas. Namun, di ujung yang lain ia pernah duduk bersama sebuah keluarga di Papua, yang hanya memiliki sebatang buah merah untuk dimakan pada hari itu dan besok tidak tahu harus makan apa. Namun, mereka menerima berkatnya dengan bersyukur dan terlihat bahagia.

“Berbagai pengalaman di lapangan ini membuat saya menyadari bahwa setiap manusia punya porsi kesulitan dan kebahagiaan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa menakar kebahagiaan dari sepatu kita. Baiklah kita bersyukur saja pada apa yang kita miliki,”katanya.

 “Sejak saya duduk di bangku SMA, saya sudah tertarik untuk bekerja dengan orang-orang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saya pada dasarnya suka bepergian dari kampung ke kampung. Saya melihat cara kerja senior-senior LSM tersebut dalam memetakan permasalahan suatu daerah, melihat potensi suatu daerah dan mengorganisasi masyarakat. 

Ketika saya melanjutkan pendidikan teologi di Jakarta, semangat untuk mendampingi dan membangun masyarakat tersebut masih ada. Selain organisasi-organisasi kepemudaan dan persekutuan, saya terlibat dalam organisasi perburuhan, ikut dalam teater buruh, dan sebagainya. Ketika akhirnya saya pulang ke Maluku, semangat saya tetap sama. Saya ikut mendampingi umat dan masyarakat dalam advokasi melawan pertambangan. Bahkan untuk hal tersebut pada mulanya saya mesti berhadapan dengan gereja. 

Dalam pelayanannya, Pdt. Jacky senantiasa berusaha menjadikan Yesus Kristus sebagai role model. “Arti pelayanan adalah memberi diri untuk menjadi pelayan,”terangnya. “Di gereja hanya ada mimbar, tidak ada panggung. Kekuasaan di atas mimbar Firman Allah. Maka, saya sering menyampaikan kepada rekan-rekan pelayan, jangan mengubah mimbar menjadi panggung untuk mengelola kekuasaan kita atau kelompok kita.”

“Yang membuat kekisruhan di mana-mana, baik dalam kehidupan gereja maupun di luar gereja, termasuk politik, karena spirit melayani semakin tergerus,”tegasnya. “Memberi diri sebagai pelayan kesannya ideal, namun hal tersebut yang memang kita harus jadikan acuan. Sejarah akan mencatat mana gandum, dan mana ilalang. Di era digital seperti sekarang, integritas pelayanan kita akan mudah dipantau, ditracking setiap orang.” 

Kerja keras Pdt. Jacky dalam merajut perdamaian dan toleransi itu diganjar dengan sejumlah penghargaan. Ia pernah menerima "Ma'arif Award" untuk kategori Pekerja Perdamaian. Ma'arif Award disponsori oleh Ma'arif Institute, sebuah lembaga yang didirikan oleh Buya Syafii Maarif, salah satu tokoh Muhamamdiyah yang dikenal memiliki intelektualitas, komitmen, dedikasi, semangat nasionalisme, dan spirit juangnya dalam membela keanekaragaman bangsa.

Pdt. Jacky juga pernah memperoleh penghargaan bergengsi dari Tanenbaum Center for Interreligious Understanding, sebuah lembaga yang berbasis di New York, untuk kategori "Peacemakers in Action". Dengan penghargaan ini, dirinya bergabung dengan para tokoh perdamaian dari berbagai negara dan berbagai agama untuk bersama-sama berbagi kisah dan sekaligus berjuang untuk perdamaian kemanusiaan.

“Penghargaan sesungguhnya hanyalah seperti oase di padang gurun. Tempat pengelana mampir sejenak untuk mendapatkan kesegaran. Dan selanjutnya melanjutkan peziarahan,”katanya.

”Kita mensyukuri bahwa apa yang kita lakukan menjadi berkat dan orang mendapatkan sesuatu dari yang kita lakukan dan mengapresiasi. Penghargaan bukan tujuan kita berkarya, lakukan saja pelayanan kita dengan setia, konsisten dan tinggalkan jejak yang baik dalam setiap perjalanan hidup kita.”

“Saya selalu mengingat pesan Bapak saya, beliau seorang guru, lakukanlah karya kebaikan, dan tinggalkan jejak yang membuat generasi setelah kamu bangga bahwa mereka pernah mengenal kamu dan pernah belajar dari kamu. 



Terlibat dalam Teater

Pada dasarnya saya memang menyukai seni. Ketika masih menjadi mahasiswa di STT Jakarta saya terlibat aktif dalam teater keliling Yakoma PGI. “Waktu itu main bersama Bang Asmara Nababan dan kawan-kawan lainnya. Selanjutnya saya terlibat pementasan teater bersama Remy Silado. Dan akhirnya bergabung dalam Kelompok Teater Populer pimpinan Teguh Karya.”

“Saya selalu memulainya dari posisi anak bawang, termasuk di kelompok teater Teguh Karya. Saya mulai dari angkat-angkat barang. Saya kemudian membantu menata properti pertunjukan. Akhirnya saya diajak terlibat dalam latihan teater. 

“Karena kesukaan saya dalam seni ini, maka dalam rehabilitasi konflik dan membangun semangat perdamaian saya menumbuhkan gerakan Art for Peace. Mulai dari membangun komunitas: fotografi, musik, teater, sastra hingga melukis di trotoar. 

Saya berpikir bagaimana interpersonal komunikasi terjadi. Jika kita mengajak kaum muda berkumpul untuk membicarakan perdamaian belum tentu mereka mau datang. Namun, dengan menyediakan ruang pertemuan yang sesuai dengan passion mereka maka mereka punya keinginan berkumpul dan berbagi. Setelahnya baru kita bisa mengarahkan pelan-pelan mereka untuk menjadi agen perdamaian. 

Menjadi asisten khusus presiden

Ketika Kepresiden pada 2017 membentuk sebuah unit kerja baru, yaitu Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antariman dan Antarperadaban, dan meminta PGI untuk terlibat di dalamnya, yang ada dalam benak Ketua Umum dan Sekretaris Umum PGI saat itu hanya satu nama: Pdt. Jacky Manuputty. Maka kemudian beliau pun mulai terlibat di lembaga tersebut, secara khusus membidangi hubungan antar agama. 

Terkait radikalisme, Pdt. Jacky punya cara pandang yang tegas. “Saya pikir saya tidak setuju dengan istilah radikalisme, saya lebih melihatnya sebagai ekstrimisme.”

“Radikal dari akar kata radix, artinya akar. Dalam hal ajaran agama, semua orang sudah seharusnya radikal, kokoh dalam iman, sesuai dengan akarnya. Sejauh tidak memakai kekerasan. Sementara dalam hal ekstrimisme, mereka sudah menggunakan cara-cara kekerasan dalam memaksakan pendapatnya.”

“Salah satu penyebab ekstrimisme pada awalnya adalah konflik identitas. Agama hanyalah salah satu faktor. Kita hidup dalam dunia yang tanpa batas, di mana persilangan-persilangan bahkan perpaduan identitas terjadi.”

Karenanya setiap orang sesungguhnya harus menyadari bahwa identitasnya tidak mungkin tunggal dan berusaha membesarkan lebih dari satu identitas di dalam dirinya. Setiap orang pasti pernah mengalami ketegangan-ketegangan identitas. Maka setiap orang harus belajar berdamai dan membangun integritas identitas dari dalam dirinya masing-masing. “Misal, kita seorang Kristen, tapi serentak dengan kita harus sadar bahwa kita adalah orang Ambon, dan sekaligus Republik Indonesia,”terangnya. 

 

PGI Menghadapi Pandemi Covid-19

Sebagai Sekretaris Umum PGI, sejak pandemi mulai muncul, dirinya tentu saja ikut menjadi sibuk dengan berbagai tugas tambahan. Tentu sesuai dengan kompetensi dan jabatan yang diterimanya. 

“Bagaimanapun PGI adalah lembaga koordinasi, PGI tidak berwenang untuk mengatur sinode-sinode gereja anggotanya. Kita bergerak bersama berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Maka PGI lebih memposisikan untuk memahami kompetensinya sebagai lembaga: fasilitator, dinamisator, dan mediator. 

Sebagai fasilitator, ketika pandemi muncul pada Maret 2020, PGI segera mengambil sikap untuk  berkoordinasi dengan otoritas kesehatan, dan setelahnya secara resmi mengeluarkan panduan-panduan pastoral (bukan instruksi wajib). 

Setelahnya, PGI menginkubasi beberapa model kegiatan yang bisa diterapkan umat. “Ibadah online pertama seingat saya dilakukan di PGI.” Setelah beberapa waktu gereja-gereja mulai mengadaptasi ibadah online, maka kegiatan peribadahan online di PGI berhenti. “Tujuannya memang hanya menginkubasi, dan peribadahan kegiatan gereja,”terangnya. 

Selain peribadahan online, PGI juga mengembangkan Gerakan Gereja Melawan Covid-19 (GMC19). Dalam hal ini PGI mengumpulkan pemuda-pemuda gereja di seputar Jabodetabek. Mereka dilatih untuk menjadi relawan gereja melawan Covid-19. Selain diberi pemahaman seputar Covid-19, relawan juga mendapat pelatihan terkait penggunaan alat penyemprotan, perlengkapan keamanan diri, serta cara meracik disinfektan, yang diberikan oleh tenaga ahli dari PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)  RS Cikini, dan Tim Dompet Dhuafa. 

Pelatihan tersebut didasari oleh posisi PGI yang mengambil sikap untuk menggerakkan relawan gereja sebagai manifestasi dari iman, dan panggilan gereja untuk merawat kehidupan dan mengembangkan solidaritas kemanusiaan. 

Maka, dalam praktiknya para relawan maupun gereja-gereja yang mendapatkan bantuan disinfektan dan alat semprot, melakukan penyemprotan bukan hanya di sekitar gereja, namun juga semua tempat ibadah lain yang berdiri di sekitar gedung-gedung gereja tersebut. “Proses saling membantu harus menjadi titik temu dalam masyarakat untuk menyikapi bahwa pandemi ini merupakan masalah bersama,”lanjutnya. 

Selain, ibadah online dan aksi GMC19, PGI mencoba merintis dan menggerakkan pastoral online. “Namun, untuk kegiatan ini tidak terlalu berjalan. Agaknya masyakarat Indonesia belum terbiasa berkonseling secara online,”ujarnya. 

Belakangan ini PGI memberikan berbagai pelatihan dalam pemberdayaan ekonomi umat di tengah pandemi. “Kami memberikan pelatihan cuma-cuma bagaimana membuka toko online dan merintis pengembangan marketplace. PGI juga melakukan kerja sama dengan PT Telkom untuk membuka jaringan komunikasi di daerah-daerah blindspot. Demikian upaya untuk memperkokoh ketahanan ekonomi dan mental umat,”terangnya.

“Semua yang kita upayakan adalah menjaga jangan sampai pandemi Covid memburuk dan berkembang menjadi epidemi keputusasaan,”lanjutnya. “Kita tahu bersama bahwa ribuan orang mengalami PHK,  banyak usaha yang bangkrut. Soal perut yang lapar kadang menjadi tekanan yang lebih berat daripada soal virus.”

Dalam peran menjadi mediator, yang merupakan jembatan lintas gereja, PGI menjadi penyambung komunikasi dan koordinasi antara gereja-gereja yang memerlukan bantuan dan gereja-gereja yang ingin memberikan pertolongan. 

Sebagai seorang teolog pemikir, Pdt. Jacky memandang pandemi menjadi bukti nyata, pertama, betapa rapuhnya kita sebagai manusia. Yang kedua, pandemi membuktikan bahwa kita semua sesungguhnya setara. “Baik presiden, menteri, pendeta, maupun umat awam semua bisa terkena serangan Corona. Baik anda kaya ataupun miskin semua bisa terpapar, uang dan kekuasaan tidak bisa menghalangi,”tegasnya.

Di sisi lain, berkat pandemi kita kembali disadarkan peran keluarga sebagai ecclesiola (gereja/persekutuan kecil). Keluarga adalah gereja kecil. “Kekristenan pada awalnya bukan merupakan ecclesia namun berkembang dari ecclesiola-ecclesiola,”tegasnya.“Peristiwa kelahiran Kristus dalam Kitab Suci harus dimaknai dalam kesederhanaan keluarga. Di era pandemi setiap keluarga harus didorong untuk membangun semangat persekutuan, diakonia bahkan pastoral konseling berbasis keluarga.” 

Mengkader Generasi Penerus

Sebagai pekerja lapangan yang visioner bagaimana Pdt. Jacky mengkader generasi penerusnya? Yaitu sosok-sosok yang berjiwa egaliter, mampu duduk dan memimpin dari belakang meja, namun juga tangkas bekerja di lapangan?

“Saya orang pengkaderan, dan pengkaderan saya keras!”tegasnya. Ternyata  bukan tanpa alasan, karena semua bermula dari keprihatinannya terhadap generasi muda Kristen. “Saat ini generasi muda Kristiani kehilangan semangat volunterism dan filantropis yang dimulai sejak tahun 80-an.”

Prinsip pengkaderan menurut Pdt. Jacky harus membuat orang menemukan apa yang ada pada dirinya, bukan bergantung pada orang lain. Kepada para anak didik dan yuniornya para calon pendeta, Pdt. Jacky selalu menuntut standar yang tinggi dalam tugas pelayanan. Semuanya dalam rangka membangun sebuah etos kerja dan pelayanan yang baik. “Tak jarang saya melatih mereka untuk bekerja all out selama 24 jam penuh, tidur seadanya di atas lantai kantor, saya bangunkan jam tiga pagi untuk melihat hasil pekerjaan.”

Meskipun awalnya tertekan, banyak anak didiknya yang akhirya mensyukuri pernah berada dalam bimbingannya. “Ada yunior saya yang menyatakan, dulu bapak sering marah-marah kepada kami, sekarang ternyata kami baru memahami dan menuai buah pelatihan,”katanya sambil tertawa menutup pembicaraan.(keb)