Pdt. S.A.E. Nababan: Oikumenis Sejati

Pdt. S.A.E. Nababan: Oikumenis Sejati

 

Jika di kemudian hari kau merindukan aku, ingatlah aku ada di surga sekarang…

Tapian na uli  yang berarti Pemandian yang Indah digambarkan oleh Sitor Situmorang dalam bukunya “Toba Na Sae”,  dahulu merupakan sebuah dusun kecil dengan pancuran air bening dan melimpah. Sejak 1906, di masa pemerintahan kolonial Belanda namanya berubah menjadi Tapanuli. Semua pasti setuju dengan keindahan Tapanuli dengan lanskap Bukit Barisan yang membujur dari utara hingga selatan dan dihiasi Danau luas nan indah di tengah-tengahnya. Tentara kolonial Belanda pun sampai kagum dan iri dengan pesona Tapanuli, kata mereka: bagaimana mungkin orang-orang yang tidak percaya Tuhan ini dianugerahi alam seindah ini? 

Orang-orang Batak yang mendiami daerah Tapanuli saat itu masih menganut agama kepercayaan animism. Hingga tiba seorang misionaris dari Jerman, Dr. I.L. Nommensen yang datang untuk mengabarkan Injil di sana. Tidak jauh dari sana, di sebuah kota bernama Tarutung, tepatnya di Sigompulon, pada tanggal 24 Mei 1933 lahir seorang anak  lakit-laki, orang tuanya memberi nama Soritua Albert Ernst Nababan. Tidak pernah ada yang menyangka anak yan baru lahir ini nantinya akan menjadi seorang pemimpin, tokoh oikumene, yang dipakai Tuhan begitu besar, tidak hanya di lingkaran sukunya saja, tapi karya pelayanannya mampu menembus dunia.

Ayahnya, Jonathan Laba Nababan dan ibunya Erna Intan Dora Lumbantobing  merupakan penggiat pendidikan. Saat tinggal di Solo, ayahnya mengetuai Gabungan Perkumpulan Pemuda-Pemudi Kristen dan kemudian hari juga memimpin Konfrensi Pemuda Kristen se-Jawa yang diadakan di Padalarang. Dari sini lahirlah sebuah pergerakan yang menjadi embrio peranan pemuda Kristen dalam pergerakan nasional. Sekarang kita bisa lebih tahu kalau kemampuan berorganisasi SAE Nababan menurun dari ayahnya. Ayah dan Ibunya menikah pada 24 September 1929 dan dari pernikahan ini mereka dianugerahi 3 anak perempuan dan 8 anak laki-laki, dan SAE Nababan merupakan anak ketiga. 

Sigompolon pada masa itu memiliki Hollandsch Inlandshe School (HIS) di mana ayahnya juga bekerja di dalamnya. Di HIS Sigompolon jugalah SAE Nababan meniti pendidikan dasar bersama kakak dan abangnya. Bertepatan dengan masuknya SAE Nababan di sekolah dasar, ayahnya harus pindah kerja ke Seminari Sipoholon yang jaraknya 8 km dari Sigompolon. Merekapun sekeluarga pindah juga ke Sipoholon yang menyediakan komplek untuk guru-guru yang mengajar disana. SAE Nababan yang sudah lebih dulu masuk ke HIS Sigompolon harus rela merasakan pulang-pergi 8 km untuk bersekolah. Di sekolah dasar, SAE Nababan sudah terlihat jiwa kepemimpinannya, gurunya pun mempercayainya sebagai ketua kelas. 

Tahun 1939 pecah Perang Dunia ke-2. Tiga tahun kemudian, pada 1942, balatentara Jepang mulai menduduki Tapanuli. Kehidupan yang tadinya baik-baik saja mendadak berubah. Keluarga Nababan harus mengungsi ke Siborong-borong,  kota yang terletak di dataran tinggi dan udaranya sangat dingin. Dalam masa-masa sulit seperti itu, tidak ada jaminan dan kepastian hidup, baik soal makanan apalagi pendidikan. Tapi pengungsian ke Siborong-borong membawa SAE Nababan untuk lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari orang Batak, terutama dalam kehidupan pertanian. Ia belajar berbagai hal seputar kehidupan bersawah dan berladang di kampung. Pada masa itu, semua anak yang berumur delapan tahun sudah harus mampu mangombak (memacul), marsuan (menanam padi), marbabo (merumput), manjaga pidong (menghalau burung), manggotil (panen), mardege (merontokkan padi dengan kaki), dan manduda (menumbuk) sampai jadi beras. Biasanya mardege dilakukan pada malam hari dan dilakukan secara gotong royong. Suasana tersebut semakin terasa meriah dan penuh suasana kekeluargaan saat menjelang tengah malam bersama-sama makan nasi yang panas dengan lauk ikan yang enak.

S.A.E. Nababan baru berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar setelah Indonesia merdeka. Lepasnya Indonesia dari penjajahan dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia disambut dengan penuh sukacita di berbagai daerah. Termasuk di Siborong-borong, tempat SAE Nababan tinggal. Sebagai remaja tanggung, ia merasa kemerdekaan berarti bebas melakukan semua hal. Maka ia mencoba untuk merokok. Tahu ia merokok, sang ayah murka dan menempelengnya. Ingatan tersebut begitu membekas dalam diri SAE Nababan. Sebagai seorang pendidik, Jonathan Nababan, memang terkenal sebagai sosok yang penuh disiplin. Sifat yang nantinya menurun kepada SAE Nababan. Banyak anak didik ayahnya yang nantinya menjadi sosok sukses, bahkan ada yang menjadi tokoh nasional, misalnya: Jenderal D.I. Panjaitan, salah seorang Pahlawan Revolusi. 

Saat ingin melanjutkan pendidikan muncul kesulitan baru. Pada masa itu di Siborong-borong belum terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Melihat kebutuhan masyarakat, beberapa guru di sana, termasuk ayahnya berinsiatif mendirikan SMP. Warga Siborong-borong turut dilibatkan bergotong royong, mulai dari pengadaan bahan bangunan sampai menyediakan tanah tempat berdirinya sekolah. Dalam beberapa bulan akhirnya berdirilah sekolah yang terdiri dari dua ruang kelas dan satu ruangan guru. Itulah cikal bakal SMP Negeri 1 Siborong-borong di Jalan Pacuan No. 2 yang masih ada hingga kini. Pindah ke Pematang Siantar SAE Nababan melanjutkan ke Inlandsche Middlebare Scholl (IMS) karena berkeinginan menjadi dokter dan seterusnya melanjutkan sekolah di Verdere Hoogere Onderwijs (VO) Medan. Namun Ayahnya berkeinginan lain, ia mengharapkan SAE Nababan menjadi seorang pendeta. Dari antara 11 orang anaknya, Pak Jonathan Laba Nababan memang sangat berharap seorang di antaranya menjadi pendeta. Di antara 8 saudara laki-laki SAE Nababan, kita mengenal Panda Nababan, politisi yang pernah menjadi anggota DPR RI dan juga Asmara Nababan, aktivis hak asasi yang juga tokoh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

SAE Nababan mengikuti kemauan ayahnya untuk menjadi pendeta, maka ia melanjutkan kuliah di Hoogere Theologische School (HThS), Jakarta (kini Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta). Ia berangkat ke Jakarta dari Pelabuhan Belawan, berbekal sepatu yang mirip sepatu lars dengan koper kaleng kecil berisi tiga pasang pakaian. Selama berkuliah di HThS dia tidur di garasi mobil yang di dalamnya disulap menjadi ruangan yang berisi delapan tempat tidur bertingkat. Kuliah di HThS pada masa itu tidak mudah. Bahasa pengantar kuliahnya adalah bahasa Belanda. Dosennya kebanyakan orang Jerman, dan mata kuliah untuk Kitab Suci wajib menguasai bahasa Yunani. Nababan menyadari, apa yang harus dilaluinya tidak mudah. SAE Nababan bertekad untuk tidak setengah-setengah dalam perjuangannya meraih gelar sarjana.  Dalam hidupnya, SAE Nababan memang dikenal banyak orang sebagai sosok yang penuh semangat, tekun, teliti dan tidak pernah setengah hati dalam bekerja. Ia dikenal cermat dalam mengkonsep sebuah acara besar ataupun surat sederhana. Nilai-nilai tersebut seperti sudah menjadi etos pribadinya. Prinsip SAE Nababan dalam bekerja maupun melayani selain tidak mau setengah-setengah adalah jangan menunda-nunda pekerjaan. Dalam hal ini prinsipnya dimotivasi oleh salah satu ayat Kitab Suci yang senantiasa jadi pegangannya: Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. (Yoh. 9:4)

SAE Nababan lulus dengan predikat cum laude pada tahun 1955. Dari 15 orang rekan satu angkatannya, hanya 10 orang yang lulus sampai akhir. Salah satu rekan seangkatannya adalah Prof. Dr. Lim Kiem Yang, dosen Kitab Suci, mantan Ketua STT Jakarta yang pernah menjabat Ketua Umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Liem Khiem Yang dan SAE Nababan nantinya bertemu kembali ketika mereka sama-sama berkuliah di Jerman. Bahkan tinggal dalam satu asrama di sana. Pernah ada cerita, Liem Khiem Yang dan SAE Nababan suatu malam menonton bioskop dan pulang kemalaman. Hingga mereka pun harus terima dimarahi habis-habisan oleh pengurus asrama. 

Semasa kuliah di Jakarta, SAE Nababan terlibat aktif sebagai warga jemaat HKBP Kernolong yang merupakan jemaat HKBP pertama yang berdiri di luar Pulau Sumatra. Ia bergabung bersama di dalam Naposobulung Kristen Batak (NKB) yang ditahun 1952 namanya berubah menjadi Naposobulung Huria Kristen Batak Protestan (NHKBP), yaitu persekutuan pemuda HKBP. Salah satu prakarsa besarnya saat menjadi pengurus NHKBP adalah memprakarsai Ibadah Subuh Paskah, yang dimulai jam empat pagi di sudut Lapangan Banteng, Jakarta. Selain itu di masa kepengurusannya mulai diadakan Ibadah Kebaktian Pemuda berbahasa Indonesia. Di luar HKBP, SAE Nababan juga terlibat di dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sebagai ketua seksi seni yang tugasnya mengadakan sandiwara dan pertunjukan-pertunjukan. Lewat berbagai organisasi ini, jiwa kepemimpinannya semakin terlatih, juga benih semangat oikumene, terutama saat berkenalan dan masuk dalam Majelis Pemuda Kristen Oikumenis (MPKO). 

Tuhan seperti mempersiapkan SAE Nababan melalui keterlibatannya dalam beragam organisasi oikumene, untuk nantinya melakukan karya pelayanan yang lebih luas di tingkat nasional, Asia bahkan dunia. Sejak dini SAE Nababan belajar memperluas cakrawala wawasannya, keluar dari pandangan gereja primordial yang eksklusif. Hal tersebut menolongnya dalam berdialog dengan teman-teman dari berbagai aliran gereja, dan bahkan dengan penganut agama lain. Pengalaman pertama mengikuti kegiatan oikumenis di tingkat dunia dialaminya saat mengikuti Konfrensi Pemuda Kristen di Kottayam, Travancore, India. Bersama dengan empat belas orang terpilih lainnya dari Indonesia, ia hadir dalam konfrensi yang mengambil tema”Christ the Answer” tersebut.

SAE Nababan ditahbiskan menjadi pendeta pada 24 Juni 1956 di HKBP Jalan Gereja, Pematang Siantar, dalam ibadah yang dipimpin langsung oleh Ephorus HKBP, Dr. Justin Sihombing. Setelahnya ia ditugaskan untuk melayani di HKBP Sudirman Medan. Sebagai pendeta pemuda di HKBP, SAE Nababan berusaha membentuk pondasi iman pemuda-pemudi Batak yang memang berasal dari masyarakat tradisional. Sebagai sosok visioner ia melihat tantangan yang tampak di depan mata, yaitu kota Medan yang bertumbuh pesat di tengah perubahan zaman yang begitu dinamis dan perkembagan masyarakat yang tidak lagi homogen. Pemuda-pemudi HKBP harus mampu menghadapi tantangan perubahan zaman tersebut, kalau tidak ingin tergerus dan hanya menjadi penonton atau malahan korban kemajuan zaman. 

Setahun kemudian, pada 1957, untuk pertama kalinya para pemimpin gereja-gereja di Asia Timur bertemu di Hotel Parapat. Hadir perwakilan gereja dari berbagai denominasi, seperti: Lutheran, Reformed, Prybyterian, Methodist, Baptist, Anglikan, hingga Orthodoks Syrian dan Marthoma. Konferensi tersebut membahas kerja sama di antara gereja-gereja yang bertetangga di Asia, yang secara historis tidak memiliki akar yang sama, dapat saling berkenalan dan berbagi pengalaman dalam Pekabaran Injil. Bermula dari konferensi tersebut, gereja-gereja memprakarsai pembentukan Dewan Gereja-gereja Asia (East Asia Christian Conference - EACC kemudaian menjadi Christian Conference of Asia – CCA) yang berkantor pusat di Singapura.

Semangatnya yang selalu ingin menambah ilmu dan wawasan baru mendorong SAE Nababan untuk melanjutkan studi di Universitas Ruprecht Karl, Heidelberg, Jerman. Salah satu pengajar yang tersohor disana adalah Profesor Gunther Bornkamm, seorang Guru Besar Perjanjian Baru. Disertasinya berjudul “Bekenntnis und Miiion in Roemer 14 und 15” atau Pengakuan Misi dalam Roma 14 dan 15 (Suatu Penelitian Eksegetis). Menurut Nababan, Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma adalah salah satu surat yang paling banyak diteliti sepanjang sejarah. Literaturnya juga tersebar luas, sehingga ia mesti fokus fokus dan akurat dalam memilih sumber-sumber rujukan penelitian. SAE Nababan berhasil meraih gelar doctor dengan predikat cum laude dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi keturunan Borsak Mangatasi (Nababan). Ia merupakan orang Indonesia pertama yang memperoleh keahlian dalam Perjanjian Baru.

Penyelesaian studi doktoral dilakukan di tengah kesibukannya dalam organisasi-organisasi oikumenis. Menjelang penulisan disertasi, ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Jerman, tugas utamanya antara lain memperbaiki hubungan mahasiswa asli Jerman dengan para mahasiswa pendatang di berbagai kota-kota besar di Jerman. Hal ini dipengaruhi rasa xenophobhia (kekhawatiran terhadap orang asing yang berlebihan) yang muncul pada masa itu dan harus diatasi oleh organisasi ini. “Kepercayaan adalah modal utama dan sangat menentukan dalam hubungan kemitraan oikumenis,” ucapnya dalam buku “Selagi Masih Siang”.

Semua hal yang dikerjakan saat mengikuti organisasi oikumenis dilakukan dengan terukur dan bergelora. Sehingga setelah lulus dari studi di Jerman, ia kembali dipercaya untuk menjadi Sekretaris Urusan Pemuda EACC yang awalnya berkedudukan di Singapura kemudian pindah ke Bangkok karena kondisi politik Indonesia dengan Malaysia yang memanas. Sepanjang menjalankan tugas pelayanan tersebut pikiran dan tenaga dia tujukan untuk membangkitkan kesadaran di kalangan pimpinan gereja dan jemaat bahwa pemuda adalah aset gereja, yang bersama kaum dewasa memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam persekutuan, kesaksian, dan pelayanan gereja. Pada saat itu memang ada pemahaman kolot yang mengajarkan kalau pemuda yang belum menikah masih berstatus sebagai anak-anak dan tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana warga jemaat dewasa yang lain. 

SAE Nababan menikah pada 8 Januari 1964 di Medan dengan Alida Lientje Tobing seorang dosen FKIP USU Medan (sekarang IKIP Medan). Mereka dikaruniai dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Dari 1967=1984, Pdt. SAE Nababan dipercaya sebagai Sekretaris Umum Dewan Gereja Indonesia (DGI- sekarang PGI). Sebagai Sekretaris Umum DGI salah satu usahanya yaitu menciptakan rasa setara dan sepersaudaraan di antara semua pendeta dari semua gereja. Isu terbesar lainnya adalah bagaimana menciptakan kerukunan beragama di Indonesia, paska Gerakan 30 September.

Sebagai seorang Batak yang fasih berbahasa Jerman, SAE Nababan dalam kongres Lutheran World Federation (LWF) memberikan argumen soal peniadaaan misi dari struktur LWF. Dia beranggapan gereja tanpa misi pada hakikatnya bukanlah gereja. Misi sudah menjadi satu dengan hahikat gereja, karena Gereja disuruh Tuhan untuk menyampaikan berita Injil, kepada semua manusia. Semua argumennya disampaikan dalam bahasa Jerman yang langsung mendarat di hati para hadirin yang hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut SAE Nababan terpilih menjadi First Vice President di LWF yang artinya menambah deretan tugas pelayanan yang harus dia emban, karena saat itu dia juga bertanggung jawab menjadi Sekretaris Umum di DGI. Karya dan kepemimpinannya di dalam gerakan oikumene internasional membawa SAE Nababan untuk mendapatkan anugerah doctor of laws (LLD) dari St. Olaf College pada 24 Juli 1974. Gelar honoris causa ini didapatkan saat dia berumur 41 tahun, usia yang boleh dikatakan masih muda, karena biasanya gelar tersebut diberikan kepada orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman.

Di luar karya pelayanannya di forum internasional, SAE Nababan juga aktif membawa DGI untuk menjalin kerja sama antar umat beragama di Indonesia. Dalam rangka melonggarkan kekakuan yang terjadi antara Katolik dan Kristen dia berdialog selayaknya sahabat dengan Mgr. Leo Soekoto, Ketua KWI pada masa itu,  sehingga terjalin keterbukaan untuk bekerjasama dalam berbagai bidang pelayanan. Dengan kalangan muslim, SAE Nababan bersahabat dengan berbagai pimpinan umat Islam, misalnya Abdurrahman Wahid. Ia mengundang Gus Dur menjadi salah seorang panelis dalam Sidang Raya DGI pada 1989 di Surabaya, yang tema utamanya membahas persoalan penanggulangan kemiskinan. Dengan semangat yang sama untuk menanggulangi kemiskinan di Tapanuli, SAE Nababan dipercaya untuk menjadi Ephorus HKBP pada tahun 1987. Prioritas utamanya jatuh kepada tuntutan yang mendesak saat itu yaitu memperlengkapi para pelayan sehingga mereka mampu mendampingi dan memperlengkapi warga jemaat melalui pembinaan warga. 

Sebagai pemimpin gereja dan penggerak oikumene, SAE Nababan dikenal teguh memegang prinsip keadilan dan kesetaraan. Terhadap adanya  Surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (1969) yang mengatur kebebasan beragama dan beribadah, yang salah satunya mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah dengan persetujuan penduduk di sekitarnya, SAE Nababan mewakili suara DGI dan juga bersepakat dengan MAWI menolak keputusan tersebut. 

Sebagai Ephorus HKBP, Pdt. SAE Nababan juga tidak pernah setuju dengan istilah “audiensi”, saat pemerintah atau presiden mengadakan pertemuan dengan HKBP ataupun ormas-ormas keagamaan. Dia menganggap audiensi adalah istilah yang dipakai saat penjajahan zaman Belanda, di mana penguasa duduk di kursi menghadapi kuli-kuli yg duduk di lantai. Para kuli tunduk mendengar apa yang dikatakan tuan itu tanpa memiliki hak untuk bertanya ataupun menjawab. Bawahan mendengar dan menaati atasan. Prinsip hidup SAE Nababan yang senantiasa menjunjung tinggi kesetaraan, kesejajaran dan keadilan membuatnya enggan menunduk-nunduk hanya untuk mencari jalan aman. 

Pertanyaan yang sering mengemuka adalah, siapa tokoh yang dikagumi dan dijadikan panutan tokoh besar seperti SAE Nababan? Dalam tulisan dan pandangannya, SAE Nababan beberapa kali menyebut sangat mengagumi tokoh pejuang kemerdekaan dan sekaligus tokoh oikumene: Dr. T.B. Simatupang. SAE Nababan sudah mengenal salah satu perintis berdirinya DGI tersebu sejak mahasiswa, dan semakin mengenal dekat ketika sama-sama aktif dalam pelayanan DGI. Pandangan-pandangan oikumene dan kebangsaan dari SAE Nababan boleh dikatakan meneladani pandangan Pak Simatupang. Menurut Nababan, Dr. TB Simatupang adalah pribadi yang sederhana, jujur, disiplin, pemberani serta bertanggungjawab menyatakan sikapnya. Laku tersebut ditunjukkan Pak Simatupang dalam karya pelayanannya untuk negera dan bangsa Indonesia di masa perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan, dalam karyanya bagi gerakan oikumene di Indonesia, di Asia maupun dalam kebersamaan Dewan Gereja Sedunia. 

Lebih lanjut SAE Nababan menyebut Pak Sim sebagai anugerah Tuhan bagi Indonesia, karena wawasan dan kecerdasannya memberi manfaat  bagi bangsa Indonesia dan gereja Tuhan. Selain kecerdasan, Pak Sim juga sosok yang dibungkus oleh dua hal, kerendahan hati dan kesederhanaan.

Nababan menceritakan pengalamannya bersama Pak Sim dalam tugas pelayanan di luar negeri. “Salah satu contoh kesederhanaannya, waktu kami mau membeli sepatu di luar negeri, saya usulkan untuk beli sepatu yang lebih bagus. Tapi beliau bilang tidak, kita harus cari sepatu yang bisa dipakai 20 sampai 30 tahun, dan dapat dipakai waktu olah raga, juga ke Istana. Jadi kalau kita kini punya Presiden Joko Widodo yang sederhana, ternyata ada sosok teladan yang lebih sederhana lagi,” kata SAE Nababan pada suatu pertemuan dengan perwakilan gereja-gereja.

Di luar sosok T.B. Simatupang, tentu saja SAE Nababan belajar banyak dari sosok ayahnya, Jonathan Nababan. Dalam ketekunan, semangat juang, kedisiplinan dan kemampuan memotivasi banyak orang. SAE Nababan mengingat hari ketika ayahnya meninggal. Banyak orang dari berbagai desa yang jauh datang melayat ke rumah mereka. Keluarga mereka sama sekali tidak mengenal para pelayat yang datang dari jauh ini. Rupanya mereka adalah orang-orang desa yang miskin. Namun, ayahnya selalu memperhatikan mereka, menolong dan memberikan motivasi kepada mereka agar memiliki semangat juang untuk keluar dari jurang kemiskinan. 

Ketika SAE Nababan meninggal, beragam ungkapan duka juga hadir dari berbagai kalangan, baik yang sezaman maupun tidak sezaman dengannya. Banyak orang yang pernah berkarya dengannya merasakan dorongan, cambukan motivasi, dan dukungan untuk terus maju mengembangkan diri. Di luar sekat-sekat agama dan gereja, banyak orang merasa termotivasi dan terinspirasi oleh keteguhan dan semangatnya yang tidak pernah pupus menghadapi ketidakadilan baik di tingkat lokal maupun global. 

Lewat semua karya dan pelayanan yang dilakukan kita bisa melihat bagaimana hidup SAE Nababan senantiasa dipimpin Firman Tuhan sehingga apa yang dikerjakannya berdampak baik bagi semua orang.Karya dan pelayananannya yang dikerjakan menjadi sebuah peninggalan yang bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya. Dedikasinya yang tinggi untuk pekerjaan Tuhan ini dilakukannya tanpa memandang di mana dia melayani, semua dilakukan dengan sama saat dia terlibat di pelayanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai akhir hidupnya dalam usia 88 tahun SAE Nababan meninggalkan warisan iman yang terus dia pegang dengan teguh. Maka genaplah apa yang dikatakan lirik lagu Buku Ende 383:

Molo masihol ho muse di au, ingot ma na di Surgo I do au

Dapothon au tu Surgo I, ai ho pe sonang do disi

Lao ma au lao ma utu na di surgo i

Lao ma au lao ma utu na di surgo i   

Dapothon au tu Surgo I, ai ho  pe sonang do disi

Lagu ini mengungkapkan penyertaan Tuhan bagi umat-Nya yang percaya teguh akan imannya. Mereka yang percaya dan telah meninggalkan dunia ini sudah tenang dan bahagia di sisi Tuhan yang memanggilnya. Allah telah mengaruniakan seorang SAE Nababan bagi negara, bangsa dan gereja bahkan dunia. Semoga nanti di masa yang akan datang akan lahir SAE Nababan yang lain.


Perlando Panjaitan