PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

 

Rodenstock. Anda mungkin mengenal nama ini sebagai merk ternama untuk produk-produk bingkai dan lensa kaca mata. Suatu hari secara tidak sengaja saya sebuah artikel berisi hasil wawancara dengan Herr Rodernstock, pewaris dan CEO perusahaan optic tersebut. Sang pewawancara bertanya kepada Herr Rodernstock, “Apa rahasia sukses perusahaan Anda?” Beliau menjawab, ”Sederhana! Kami hanya perusahaan keluarga yang menjalankan nilai-nilai tradisi”. Sebagai orang Indonesia yang sangat mengagungkan nilai-nilai tradisional, sang pewawancara sangat tertarik. “Apa itu”, tanyanya. “Kami hanya menjalankan tradisi Jerman, yakni kerja keras, disiplin, serta memproduksi barang dengan kualitas tinggi”, jawab Herr Rodenstock. Terdengar perubahan nada suara pewawancara yang tadinya sangat antusias bahwa topik pembicaraan akan berbicara tentang nilai-nilai tradisional yang adi luhung, muluk-muluk serta filsafati, ternyata hanya berbicara hal-hal yang biasa saja. Hal-hal yang bersifat sehari-hari saja. Tapi itulah Jerman, negara yang terkenal dengan produk-produk industri dan teknologi yang bermutu tinggi. Lalu apa bedanya dengan bangsa kita? Harus diakui, di sini kerja keras, disiplin, kualitas tinggi hanyalah slogan, tetapi di Jerman hal itu dihayati sebagai etos kerja atau way of life.

Mengapa bisa demikian? Dari vlog yang dibangun oleh pasangan suami isteri Rahmad Venda Dwi Cahyono dan Swantje Heiser (Venda Vloggt), kira-kira kita bisa mengerti bagaimana etos kerja itu dibangun. Salah satunya hal itu dibangun melalui kebiasaan makan saat anak masih balita. Di Jerman balita dibiasakan makan hanya di meja makan. Sementara di sini kita sangat biasa sekali melihat seorang ibu atau seorang pengasuh mengejar-ngejar seorang anak untuk menyuapkan makanan, sementara anak tetap bermain serta berlarian, bermain-main, dan akhirnya ibu atau anak lelah dan makanan masih tersisa separuh. Kebiasaan makan di meja makan dan hanya di meja makan secara tidak sadar melatih pola hidup disiplin dan teratur. Makan pada waktu tertentu, hanya di meja makan, ambil secukupnya dan habiskan. Lebih dari itu, mengerjakan sesuatu secara mandiri dan bertanggung jawab.

Hal lain yang membedakan pola pendidikan Barat dan Asia adalah, pendidikan Barat melatih siswa untuk bereksplorasi. Sejak dini mereka dilatih membaca buku. Secara umum siswa di Barat diwajibkan membaca buku minimal 26 buku dalam setahun. Artinya 1 buku dalam waktu 2 minggu. Tentu saja buku yang sesuai dengan umur mereka. Guru atau orang tua tidak membiasakan menjawab pertanyaan anak, melainkan menyuruh anak mencari jawabannya sendiri melalui buku. Atau ketika guru hendak menerangkan apa itu mobil pemadam kebakaran dan tugas-tugas Dinas Pemadam Kebakaran, maka sekolah akan mendatangkan sebuah mobil pemadam kebakaran dan awaknya untuk melakukan presentasi. Selanjutnya siswa bebas bertanya, menyentuh serta mencoba peralatan yang ada, dengan pengawasan dari awak mobil pemadam kebakaran tersebut. Jadi, inti pendidikan model Barat adalah bereksplorasi serta mengeksplorasi alam semesta ini. Dengan model pembelajaran semacam ini seorang individu dilatih untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan minat dan kapasitas masing-masing.

Bagaimanana model pendidikan di Asia, khususnya di negara kita? Di Asia pada umumnya model pendidikan adalah duplikasi. Guru mengajar dan siswa mengikuti apa kata guru. Dengan demikian hasil pendidikan di negara kita pada umumnya adalah menghafal. Pewarisan pengetahuan guru kepada murid. Lebih buruk lagi jika guru tidak mengijinkan siswa keluar dari pakem-pakem yang sudah ditetapkan oleh guru. Rasanya ini menjawab pertanyaan mengapa peringkat literasi siswa serta peringkat PISA siswa-siswa negeri ini relatif rendah. Miris.

Dengan demikian apakah kualitas pendidikan di negeri ini rendah? Secara kognitif mungkin ya, tetapi untuk pendidikan moral dan budi pekerti mungkin sebaliknya. Kemampuan kognitif serta bereksplorasi pada satu sisi memang baik namun dalam pandangan orang Asia hal itu membentuk orang berpikiran liberal, sehingga hubungan interpersonal menjadi lebih dingin. Sebaliknya model pendidikan Asia yang berpola Guru-Murid menghasilkan pola hubungan yang lebih interpersonal. Ya, masing-masing model pendidikan memiliki kebaikan dan kekurangannya.

Lalu apa kata Alkitab?  Injil Yohanes mencatat, “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” [Yohanes 8:32]. Ayat ini mendorong kita untuk belajar dan memahami kebenaran, sehingga kita mampu menikmati hidup ini dengan penuh rasa syukur (= bahagia, merdeka). Namun persoalannya, masih ada orang yang hanya mengetahui satu kebenaran saja lalu menganggapnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Orang semacam ini seringkali menjadi problem di masyarakat. Sebaliknya seseorang yang mengetahui banyak hal menyadari bahwa ada banyak sisi lain dari kebenaran dan hal itu membuatnya menjadi lebih bijaksana. Jadi belajarlah banyak hal, eksplorasilah alam semesta dan jadilah orang yang merdeka, Jangan hanya mengikut dan menghafal apa kata orang lain (guru/bos/pemuka agama) serta hanya puas dengan sebuah kebenaran dan menjadikannya sebagai kebenaran mutlak. Belajar itu bukan untuk lulus sekolah dan mendapat ijazah, belajar itu perlu, supaya kita bisa menikmati kebahagiaan dan kemerdekaan dalam kehidupan. Non scholae sed vitae discimus. ***


Pdt. Sri Yuliana