Perry Katoppo: 48 Tahun Melayani di LAI 

Perry Katoppo: 48 Tahun Melayani di LAI 

 

Empat puluh delapan tahun bukan waktu yang singkat. Hampir setengah abad. Sepanjang itulah Pericles “Perry” Gottfried Katoppo setia berkarya dan melayani di Lembaga Alkitab Indonesia. Karya pelayanannya bukan hanya menjadi berkat bagi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), namun juga jutaan umat Kristiani di seluruh Indonesia, yang pada hari ini memiliki kemudahan membaca dan merenungkan isi Alkitab dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa daerahnya. 

Perry lahir di Tomohon, Sulawesi Utara pada 24 Juli 1936. Ayahnya, Elvianus Katoppo merupakan tokoh pendidikan nasional dan mantan Menteri Pendidikan Negara Indonesia Timur. Nantinya Elvianus Katoppo juga menjadi salah satu sosok penting dalam pendirian LAI. 

Meskipun ayahnya seorang pendiri LAI, bergabungnya Perry Katoppo dengan LAI boleh dikatakan sebuah kebetulan semata. Bahkan hingga tamat SMA, Perry masih ragu untuk menjadi seorang pengikut Kristus. 

“Pilihan saya yang utama adalah menjadi wartawan. Tidak pernah terbayangkan suatu saat saya melayani di sebuah lembaga Kristen. Meski orang tua saya Kristen, saya tidak harus menjadi Kristen seperti mereka,” terangnya. Di dalam dirinya belum ada keinginan pribadi untuk menerima Kristus sebagai Tuhan. 

Diskriminasi Dokter Australia

Tamat SMA, Perry tidak melanjutkan sekolah.Namun memilih langsung bekerja sebagai penerjemah di Jawatan Latihan Kerja, Kementerian Perburuhan. Pekerjaannya adalah mendampingi seorang konsultan dari Amerika. Setelah beberapa tahun berkarya di Kementerian Perburuhan, Perry diterima menjadi wartawan Associated Press (AP) di Jakarta. AP sendiri adalah kantor berita Amerika tapi lingkupnya internasional. Dari sejak SMP Perry memang sudah lancar berbahasa Inggris. Teman sekelasnya, yaitu Presiden B.J. Habibie mengakui bahwa Perry adalah sosok yang pintar di sekolah. 

Perry mengaku paling tidak ia menguasai tiga bahasa asing dengan lancar, yaitu: Inggris, Belanda dan Jerman. Selain itu nantinya sebagai seorang konsultan penerjemahan di LAI, ia lancar membaca bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru, meskipun ia mengaku tidak mampu menulis dalam bahasa tersebut. 

Ketika bekerja di AP inilah Perry atas anugerah Tuhan memperoleh kesadaran akan kasih dan pengorbanan Kristus, lalu mengambil keputusan untuk mengikut Tuhan sepenuh hati. Sejak mengalami pertobatan, di dalam dirinya muncul keinginan kuat untuk menjadi pemberita Injil. Ia sering mengikuti berbagai Kebaktian Kebangunan Rohani, yang pada masa itu marak diselenggarakan di Jakarta. Perry tak jarang dilibatkan sebagai pembimbing yang bertugas mendampingi orang-orang yang bertobat menerima Yesus. Bersama beberapa rekan pemuda GPIB, Perry juga mengikuti kursus penginjilan kaum awam yang diselenggarakan di GKI Kwitang, Jakarta. 

Setelah dari AP, Perry berencana berkarya di ke Australia. Seorang koreponden Radio Australia (ABC) di Jakarta menawarinya bekerja di kantor pusat ABC di Melbourne. Untuk ke sana salah satu syarat yang diperlukan adalah memperoleh sertifikat resmi kesehatan. Tesnya dilakukan oleh dokter Inggris yang ditunjuk Kedutaan Besar Australia. Namun, orangnya begitu angkuh dan diskriminatif terhadap orang kulit berwarna. Dua kali Perry mengikuti tes, bahkan yang terakhir hasilnya sangat bagus, namun dokter Inggris tersebut tetap tidak mau memberikan surat rekomendasi. Bahkan dokter tersebut selalu memalingkan muka dan tidak pernah mau diajak berkomunikasi secara langsung oleh Perry. 

“Seorang dokter Indonesia menceritakan kepada saya, dokter kulit putih seringkali bersikap diskriminatif kepada orang Asia. Banyak pelaut-pelaut kulit putih yang jelas-jelas positif TBC, sampai batuk berdarah, tetap bisa masuk Australia tanpa rintangan,”terang Perry. 

Maka Perry pun batal ke Australia. Ia pun hanya bisa menjadi seorang koresponden ABC yang berkedudukan di Jakarta. Perry berkarya di ABC selama setahun. 

Jalan Hidup Berbelok

Suatu hari ayahnya, Elvianus Katoppo, yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) meminta Perry untuk membantunya di MPPK. Maka Perry pun keluar dari ABC dan mulai bekerja di kantor MPPK di Salemba, Jakarta (berdampingan dengan gedung PGI dan LAI). Ketua Umum LAI yang pertama, Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia adalah teman baik ayah Perry. Tak jarang beliau berkunjung ke kantor MPPK. Suatu hari ia mengemukakan usul,”Bagaimana kalau Perry bekerja di LAI saja?” Agaknya kemampuan menulis dan berbahasa Inggrisnya menarik perhatian Prof. Gunung Mulia. Maka pada awal Mei 1966, Perry pun pindah kerja ke LAI. Boleh disebut Perry masuk LAI lewat “pintu belakang”. Karena tanpa melalui tes ataupun wawancara. 

Awalnya Perry ditempatkan di “Bagian Kontak, Dokumentasi dan Publikasi” istilahnya sekarang di bagian Komunikasi. Tugasnya antara lain mengasuh Newsletter LAI yang diterbitkan secara berkala. Terbitan ini diterbitkan dalam bentuk stensilan. Berita-beritanya dibuat dalam bahasa Inggris, sebab dikirim juga kepada mitra-mitra LAI di luar negeri. Walaupun penampilannya sederhana, namun isi beritanya tak jarang menarik perhatian media internasional.

Waktu itu, sedang terjadi kebangunan rohani besar di negeri kita, yang dimulai di Timor dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Jutaan orang mengaku percaya dan masuk Kristen. Berdasarkan wawancara dengan beberapa orang, Perry menulis sebuah artikel yang ternyata menarik cukup banyak perhatian media asing. Bahkan majalah TIME pun mengutip tulisannya dalam versi yang sudah dipersingkat. Menurut seorang ahli kependudukan, pada sekitar pertengahan hingga akhir 1960-an, ada sekitar 7-8 juta orang bukan Kristen yang berpaling kepada Kristus. Tulisan Perry menggerakkan Dewan Gereja di Amerika untuk membantu gereja-gereja di Indonesia menangani ledakan pertobatan yang luar biasa ini. 

Kebangunan rohani tersebut juga menyentuh kehidupan beberapa karyawan LAI. Beberapa sopir dan pesuruh menyatakan percaya kepada Kristus setelah mendengar Kabar Baik. Pernah pula ada orang yang berkunjung ke Toko Buku LAI di Salemba. Setelah melihat-lihat sebentar, ia minta diberitakan Injil! Penjaga toko meminta tolong Perry untuk menemui tamu tersebut. Maka Perry pun keluar dan menemui orang tersebut. Sebelum Perry selesai membacakan petikan ayat-ayat Alkitab, tamu tersebut sudah berseru,”Saya mau, saya mau terima Yesus!” Bagi Perry pengalaman tersebut sungguh luar biasa.

Sebagai orang yang memiliki semangat memberitakan Injil, Perry sering diajak rekan-rekannya LAI di bagian Distribusi menghadiri kebaktian-kebaktian kebangunan rohani yang sering diadakan oleh penginjil-penginjil di Istora, bahkan di Stadion Gelora Bung Karno, maupun di tempat-tempat lainnya. Dalam berbagai event tersebut LAI membuka stan penjualan Alkitab. 

Diusir Pendeta, dikira Saksi Yehuwa

Kesukaan Perry pada kegiatan penginjilan tidak luput dari perhatian pimpinan LAI. Pada 1968, Perry diutus untuk menghadiri seminar pelatihan penyebaran Kitab Suci di Singapura. Dari LAI yang berangkat empat orang. Pelatihan yang disebut “Penzotti Institute” tersebut berlangsung selama dua minggu. Pelajaran teori diberikan pagi dan siang hari. Sedangkan sore hari para peserta dengan berpasangan diterjunkan di daerah perumahan dan daerah bisnis untuk mempraktikkan materi yang telah diajarkan. Pada masa itu sebenarnya ada ketegangan politik antara Singapura dan Indonesia, karena Singapura baru saja mengeksekusi dua orang marinir Indonesia yang dituduh meledakkan bom di pusat kota (Usman dan Harun). Namun, Perry tidak mengalami sikap permusuhan dari warga Singapura. Rupanya ketegangan hanya terjadi antar pemerintah, dan bukan rakyatnya. 

Sikap kurang bersahabat malah Perry alami dari seorang pendeta terkemuka di masyarakat Kristen Singapura. Sewaktu praktek lapangan, Perry dan temannya seorang Vietnam, suatu sore mengetuk pintu sebuah rumah besar. Pintu dibuka seorang pelayan, dan Perry menyampaikan maksud tujuan mereka datang. Setelah pergi menanyakan kepada tuannya, pelayan itu mempersilakan Perry dan temannya masuk dan mengantar mereka ke sebuah kamar tidur. Di dalamnya terlihat sang tuan rumah sedang berbaring lemah. Rupanya ia sedang sakit. Di sampingnya berdiri seorang yang mengenakan jubah, jelas seorang hamba Tuhan. Berbekal Alkitab di tangan, maka Perry meminta izin tuan rumah untuk berbicara sebentar. Belum sempat tuan rumah menanggapi, pendeta itu dengan geram menjawab,”Tidakkah kau lihat orang ini sakit?” “Maaf, hanya sebentar, Pak Pendeta,” kata Perry. ”Tidak. Pergi dari sini!”teriaknya. Tuan rumah sendiri tersenyum malu kepada kami, seakan-akan meminta maaf atas sikap kasar pendetanya. Ironisnya, malam itu diadakan perjamuan malam yang dihadiri para peserta pelatihan Penzotti dan tokoh-tokoh Kristen di Singapura. Makan malam didahului oleh sebuah pidato dari seorang tokoh Kristen setempat. Tokohnya ternyata pendeta yang telah mengusir Perry dan temannya! Maka Perry pun menyenggol kawannya si orang Vietnam tersebut, dan berkata,”Lihat dia orang yang mengusir kita tadi sore!” Kata-kata yang disampaikan pendeta tadi, tentang betapa pentingnya memberitakan Injil melalui penyebaran Alkitab, terasa hampa bagi Perry. Baginya, teladan hidup lebih penting daripada khotbah berapi-api. 

Sekembali Perry dari Singapura, LAI menyelenggarakan Penzotte Institute-nya sendiri untuk gereja-gereja di Indonesia. Perry masih diikutsertakan dalam pelatihan tersebut. Lama pelatihan dua minggu, seperti di Singapura. Sebuah hal lucu terjadi ketika Perry dan peserta lainnya melakukan praktik lapangan di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Saat Perry dan beberapa kawan masuk ke sebuah gang di Krekot, beberapa anak kecil yang sedang bermain di mulut gang melihat mereka. Tiba-tiba mereka berlari masuk gang sambil berteriak kencang,”Saksi Yehuwa datang, saksi Yehuwa datang!” Langsung pintu-pintu depan dari rumah-rumah di gang itu terdengar ditutup dengan keras,”bang, bang!” Rombongan hanya bisa tersenyum dan mencari lingkungan yang penghuninya lebih terbuka. 

Pindah ke Bagian Penerjemahan, Mengetik 12 Tindasan

Pada tahun 1968, Perry dipindahkan ke Departemen Penerjemahan LAI di Bogor. Waktu itu hampir seluruh tenaga Bagian Penerjemahan LAI dikerahkan untuk menyelesaikan teks terjemahan Alkitab Terjemahan Baru yang harus segera terbit. Perry diangkat sebagai “manuscript supervisor” dan harus mengawasi alur naskah terjemahan pada berbagai tahapnya. Pada masa itu belum ada komputer, dan naskah harus diketik pada mesin ketik besar di atas lembar-lembar kertas “doorslag” (tipis) yang diselingi kertas karbon sehingga dapat dibuat 12 salinan atau lebih sekaligus. Pengetik harus dengan keras menghantam tuts agar di seluruh 12 salinan muncul huruf ketikan dengan jelas. Kalau ada kesalahan, pengetikan harus diulangi lagi dari awal. Sungguh memerlukan kerja keras dan ketekunan. Berbeda jauh dari era sekarang yang serba terkomputerisasi. 

Naskah Alkitab Terjemahan Baru (TB) selesai terjemahannya pada 1969, dan teks Perjanjian Baru diterbitkan sebagai edisi percobaan pada 1971. Seluruh teks terjemahan diteliti dengan seksama sebelum terbit Alkitab lengkap menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada 1974. 

Pada 1972, Perry mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu teologi di Bible College of New Zealand di Auckland. Namun, ketika dirinya menghadap Sekretaris Umum LAI pada masa itu, Philip Sigar beliau tidak setuju. “Kalau kamu mau studi berarti harus keluar dari LAI!”tegas Pak Sigar. Perry dengan berat hati memutuskan mundur dari LAI. Padahal ia berpikir, studinya ke luar negeri dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tambahan di bidang biblika dan memperlengkapi diri dalam pekabaran Injil. Menjelang akhir masa studi, Perry sudah berniat untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 di Amerika. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Datang surat dari Sekretaris Umum LAI yang baru, Pdt. W.J. Rumambi. Beliau meminta Perry kembali pulang dan berkarya di LAI. Perry sebenarnya sudah bertekad untuk menjauh dari LAI, namun ia juga sadar bahwa pengetahuan yang diperolehnya harus dikembangkan untuk pelayanan dan dirasakan manfaatnya oleh sebanyak mungkin orang. Maka pada Januari 1975, Perry kembali bekerja di LAI, dan diangkat menjadi Kepala Kantor Penerjemahan. 

Sesuai dengan slogan Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (Uniteg Bible Societies/UBS), “God’s Word Open for All”, maka diusahakan bukan hanya penyebaran Alkitab seluas mungkin, namun dalam bidang penerjemahan pun teks Alkitab harus mudah dimengerti semua orang. Proyek penerjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia telah selesai, dan sekarang LAI memusatkan perhatiannya pada terjemahan-terjemahan Alkitab dalam bahasa daerah. Bersama dengan Dr. Daniel Arichea Jr., Konsultan penerjemahan UBS yang diperbantukan ke LAI, Perry mengerjakan proyek-proyek penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah. 

Agar terjemahannya dapat dipahami sebanyak mungkin orang, maka terjemahan Alkitab dalam bahasa daerah dibuat dengan mengikuti kaidah penerjemahan dinamis, yaitu terjemahan dilakukan dalam bahasa umum atau bahasa sehari-hari dengan menghindari penggunaan bahasa gereja dan istilah-istilah yang khas, seperti: kasih karunia, damai sejahtera dan lain sebagainya. 

Antara 1982-1983, Perry mendapatkan tugas belajar LAI untuk memperdalam ilmu biblika di Trinity Evangelical Divinity School, di Chicaho, Amerika Serikat. Setelah kembali ke Indonesia, UBS menetapkan Perry menjadi seorang “translation officer” artinya dianggap memenuhi syarat untuk membina para penerjemah Alkitab dalam bahasa daerah. Pada paruh kedua tahun 80-an, Proyek-proyek penerjemahan Alkitab di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, dengan lebih dari 100 proyek di seluruh Nusantara. 

Tugas Perry sebagai seorang Pembina Penerjemahan pada dasarnya adalah membantu penerjemah di lapangan, untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa mereka. Pembina penerjemahan memeriksa konsep terjemahan dan memberikan saran-saran bila ada terjemahan yang kurang tepat. Selain itu, juga membantu penerjemah di daerah agar dalam terjemahannya memakai bahasa sasaran (daerah) yang wajar. 

Mengerjakan sebuah proyek penerjemahan menurut Perry memerlukan kesabaran, ketelitian dan ketekunan. Kebahagiaannya adalah jika melihat akhirnya kerja keras tersebut dirasakan manfaatnya oleh umat Tuhan di daerah. Pernah seorang bapak berusia sekitar 70-an tahun memeluk Perry dengan penuh haru. Sudah begitu lama ia tidak mengerti dan memahami firman Tuhan, namun ketika membaca terjemahan Alkitab dalam bahasa sukunya, tiba-tiba ia seperti mendapatkan pencerahan batin. Kejadian seperti ini tidak sekali dua kali dialami Perry. Dan semakin menguatkan Perry untuk menekuni karya pelayanannya. 

Pesawat yang Pilotnya Jatuh Empat Kali dan Daging “RW”

Banyak pengalaman yang Perry alami selama berkeliling Nusantara sebagai Pembina Penerjemahan LAI. Beberapa di antaranya adalah pengalaman menaiki pesawat ringan menembus bandara-bandara perintis di pelosok Indonesia. Tahun 1989, berlangsung lokakarya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah di Waingapu, Sumba. Selesai acara, rombongan LAI hendak kembali ke Jakarta. Pesawat dari Kupang yang datang hanya menyisakan satu tempat duduk. Sebenarnya masih ada beberapa tempat duduk kosong, namun oleh petugas bandara tidak semua tempat duduk boleh diisi, karena di ujung landasan terdapat bukit-bukit terjal, sehingga pesawat harus cepat naik agar jangan sampai menabrak bukit tersebut. Maka beban pesawat harus dibatasi. 

Akhirnya prioritas diberikan kepada Sekretaris Umum LAI, Bapak Supardan. Perry dan rekannya Dr. Hermogenes Ugang, terpaksa kembali ke hotel, menunggu pesawat berikutnya yang datang esok hari. Ketika mobil yang mereka tumpangi berjalan keluar dari bandara menuju hotel, seorang petugas bandara berlari-lari mengejar mobil sambil berteriak, menyuruh kembali. Rupanya mereka dipanggil naik ke dalam pesawat. Entah, apa yang mengubah keputusan petugas bandara.  

Pengalaman lain dengan pesawat kecil seperti itu Perry alami, ketika bersama Dr. Arichea dan Dr. Ugang mengadakan lokakarya di Tentena, Sulawesi Tengah. Kota Tentena terletak di tepi Danau Poso, diapit gunung-gunung yang tinggi. Dari Palu, rombongan LAI sudah ditunggu sebuah pesawat MAF (Missionary Aviation Fellowship) yang akan menerbangkan ke Tentena. Dr. Arichea duduk di samping pilot yang berasal dari Amerika. Perry dan Dr. Ugang duduk di bangku di belakang pilot. Seorang peserta lokakarya, wakil dari Gereja Bala Keselamatan di Palu, duduk di baris paling belakang di antara bagasi.  Setelah terbang selama kurang lebih setengah jam, kami tiba di atas Tentena, namun seluruh kawasan tertutup awan tebal. 

Pesawat berputar-putar di angkasa. Pilot memandang ke bawah mencari celah di antara awan yang menyelimuti daerah itu. Pak Ugang dan Perry yang begitu tegang ikut melihat-lihat ke bawah, membantu pilot mencari celah awan. Herannya, Dr. Arichea tertidur nyenyak di samping pilot. Pilotnya yang mau menenangkan rombongan, membalikkan badannya ke arah Perry dan berkata, ”Jangan takut, saya sudah empat kali jatuh dengan pesawat, dan masih hidup!” Ternyata sebelum menjadi pilot MAF, ia seorang pilot pesawat tempur AS. 

Perry hanya bisa berdoa di dalam hati semoga ini bukan kali kelima si pilot jatuh. Persediaan bahan bakar pesawat rupanya juga sudah menipis. Tiba-tiba, pilot menukikkan pesawat ke bawah menembus lapisan awan yang tebal, yang tidak menunjukkan celah sedikit pun. Puji Tuhan, pesawat menembus awan tepat di atas danau Poso, dan beberapa saat kemudian mendarat dengan aman di Tentena. 

Dalam perjalanan dinas ke berbagai wilayah Nusantara, tentu tidak selalu masalahnya menyangkut sarana transportasi. Kadang-kadang masalahnya makanan, bukan karena kurang bergizi, melainkan karena terlalu bergizi dan lezat. Pernah Perry memimpin lokakarya penerjemahan di Puisan, sebuah desa di Lembah Dumoga, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Desa ini dapat menjadi contoh kerukunan beragama. Sebab ada tiga rumah ibadah berdekatan yang semuanya menghadap alun-alun desa. Sebuah gereja, sebuah masjid dan sebuah pura, dan tidak pernah terjadi masalah antara umat yang berbeda agama. Selama lokakarya Perry tinggal menumpang di rumah warga gereja. Demikian pula para peserta lokakarya yang berasal dari berbagai daerah. Makanannya disiapkan oleh ibu-ibu warga gereja setempat secara bergiliran, dan rupanya mereka sedang berlomba siapa yang dapat menghidangkan makanan yang paling enak. Setiap hari peserta lokakarya disuguhi makanan khas daerah itu, tuturuga, ikan woku, paniki, pangi, daging ”rw” (daging anjing), dan lain-lainnya tiga kali sehari selama satu pekan. Suatu pagi ketika bangun Perry mendapati dirinya tidak mampu bangun dari tempat tidur. Rupanya ia makan terlalu banyak  daging ”rw” malam sebelumnya. Kakinya nyeri dan tidak bisa ia gerakkan. Padahal ia harus mengisi sesi pertama pagi itu. Maka ia pun berdoa dengan sungguh-sungguh, dan atas pertolongan Tuhan, Perry berhasil bangun dan memimpin  lokakarya pada pagi itu. Tapi semenjak hari itu, Perry “bertobat” dan berhenti menyantap ”rw”.   

Terus Berkarya  Hingga Akhir Hayat

Pada bulan November 1993 Perry Katoppo memasuki masa pensiun dari LAI. Namun, LAI terus mengkaryakannya hingga akhir hayatnya. Sejak memasuki purnabakti, Perry bebas dari tugas administrasi dan manajerial. Ia mencurahkan perhatian sepenuhnya pada tugas sebagai Pembina penerjemahan dan editor/adaptor buku-buku Pedoman Penafsiran Alkitab (PPA).  Buku PPA telah banyak menolong para penerjemah Alkitab ke dalam bahasa daerah, para pendeta maupun mahasiswa teologi yang ingin lebih dalam mengerti dan memahami teks Alkitab. Bagi Perry, merupakan berkat tersendiri untuk setiap hari menggumuli Firman Tuhan, mencari tahu artinya dan mencoba mengungkapkannya dalam bahasa yang mudah dimengerti. Tema yang berulang kali bergema dalam Alkitab ialah bahwa iman dan ketaatan senantiasa berjalan bersama. Orang yang sungguh-sungguh percaya adalah mereka yang taat melakukan kehendak Allah, dan diberkati oleh-Nya. 

Pada 1 Desember 2014, Pery Katoppo berpulang ke rumah Bapa di surga. Hingga akhir hayatnya, dengan setia ia masih melibatkan diri dalam karya pelayanan LAI. Bagi yang pernah hadir mengunjungi museum LAI, ada ruang khusus tempat menyimpan beragam terjemahan Alkitab dalam bahasa daerah. Meskipun nama penerjemah maupun Pembina penerjemah tidak pernah tercantum dalam cetakannya, namun Tuhan tidak pernah lupa, bertahun-tahun lamanya dalam keheningan Perry telah setia. Keluarga besar LAI mengenangnnya bukan hanya karena keluasan wawasan dan kepakarannya, namun lebih dalam adalah teladan kesetiaan dan kerendahan hati. 

Perry tidak pernah berharap namanya dikenal banyak orang, baginya yang utama adalah Kristus. Sekarang Perry telah berada dalam kebahagiaan abadi. Berkumpul bersama Bapa-Nya yang sejati. Namun juga bersama keluarga besarnya, orang-orang besar dari keluarga Katoppo. Elvianus Katoppo (ayahnya, mantan menteri dan pendiri LAI), Aristides (wartawan senior yang berintegritas dan pemberani), Mariane Katoppo (dosen, penulis, teolog feminis) dan masih banyak lagi. Mereka adalah teladan kesetiaan sampai akhir. Bagi mereka, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.