Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong br Siahaan, M.Ed. 

Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong br Siahaan, M.Ed. 

Hidup untuk Memberi Makna Pada Hidup Orang Lain

Tuhan selalu punya tujuan saat menempatkan kita di lingkungan kita berada. Awalnya kita sering ragu, sulit memahami dan takut menjalaninya. Dengan bersandar pada kekuatan Allah maka segala hal menjadi mungkin kita jalankan. Ungkapan ini disampaikan Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong br Siahaan, M.Ed. Beliau boleh disebut sebagai salah satu sosok pemimpin perempuan yang luar biasa. Sehari-harinya Frieda merupakan Guru Besar di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Beliau juga perempuan pertama yang pernah menjabat sebagai anggota Majelis Pusat HKBP. Di HKBP sudah sekitar dua puluh tahunan beliau setia membantu pengajaran katekisasi bagi para calon sidi. Di luar itu beliau aktif di berbagai lembaga sosial, misalnya: Wahana Visi Indonesia dan Lembaga Alkitab Indonesia. Dan yang paling luar biasa dan sering dibagikannya melalui berbagai kesaksian, Frieda bisa menjaga keseimbangan antara perannya sebagai wanita karir dan pelayan gereja dengan peran utama sebagai istri dan sekaligus ibu di tengah keluarga. Keseimbangan peran, dalam kacamata Frieda, hanya bisa diraih kalau kita mengutamakan dan berkorban untuk orang-orang lain yang kita kasihi, daripada mengutamakan diri kita sendiri.  

 

Memilih Jurusan Psikologi

“Sekitar tahun 1972 dan 1973, ketika saya lulus SMA, profesi psikolog di Indonesia belum banyak yang tahu. Dalam bayangan mereka mungkin berpikir ilmu apa itu?” kenang Frieda saat ditanya awal mulanya bergelut dengan psikologi. Satu hal, Frieda menyadari dirinya memiliki empati dan jiwa sosial yang tinggi. Karenanya dia dengan yakin mendaftarkan diri ke dua jurusan di Universitas Indonesia (UI), yaitu jurusan Kedokteran Umum dan jurusan Psikologi. 

Jiwa sosial yang tinggi, Frieda menyebutnya people oriented, disebutnya karena kebiasaan yang tumbuh dalam keluarganya. Ayah Frieda, seorang guru, anak laki-laki tertua dalam keluarganya. Ketika nenek Frieda meninggal, kakeknya menikah lagi. Sebagai anak laki-laki tertua, ayah Frieda merangkul dan berjuang mengasuh adik-adiknya. Sejak kecil Frieda melihat bagaimana inter-relationship di antara anggota keluarga besarnya begitu kuat. Semua terbiasa hidup rukun, saling menopang dan menolong. 

“Waktu saya mendaftar di UI, yang menginterview saya Prof. Dr. Fuad Hasan (Guru Besar UI, mantan Mendikbud RI). Beliau menanyakan apa passion saya maupun motivasi saya mengambil jurusan Psikologi. Saya menceritakan kepada beliau, saya datang dari keluarga besar, dan saya ingin kerukunan keluarga saya diteruskan kepada banyak orang sambil mencoba membantu memecahkan masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah keluarga,”tuturnya lebih lanjut. 

Untuk anak yang baru lulus SMA, jawaban Frieda tergolong luar biasa. Didikan dan ajaran ibunya turut membentuk karakter Frieda menjadi family woman. Ibunya menekankan bahwa perempuan itu tidak perlu memiliki cita-cita yang terlalu besar, yang penting memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai perempuan. Pandangan ibunya tersebut terus mengendap dalam kenangan Frieda dari remaja hingga dewasa, bahkan saat dirinya nanti mengembangkan karirnya sebagai seorang pengajar. 

“Ibu saya memanjakan anak laki-lakinya. Sementara kepada anak-anak perempuannya, ibu bersikap sedikit keras,”tuturnya. “Rumah kami senantiasa terbuka, menjadi tempat berkumpul keluarga besar. Ada yang cuma datang berkunjung, ada yang menumpang tinggal dalam jangka lama. Keluarga kami memang punya asisten rumah tangga, namun setiap tamu datang ke rumah, ibu saya mewajibkan anak-anak perempuannya turun tangan membantu melayani tamu yang datang.” 

Pernah Frieda memohon sambil menangis,”Ma, besok saya ada ujian.” Namun mamanya tidak peduli dengan tangisannya. “Kamu mau pendidikan setinggi apapun kan pada akhirnya ke dapur juga. Kamu harus bantuin mama. Masakan kamu tega membiarkan mama sendirian melayani keluarga besar ini?”tukas mamanya. 

Jawaban-jawaban mamanya sering membuat Frieda sedih. Keinginannya berprestasi dan berkarir hingga tinggi berbenturan dengan harapan mamanya yang menganggap perempuan tidak perlu berpendidikan terlalu tinggi. Akhirnya Frieda bertumbuh menjadi sosok yang kurang percaya diri. Insecure. Maka, nantinya ketika ia sudah lulus kuliah pun, persepsi mamanya tersebut turut mempengaruhinya dalam mencari pekerjaan yang cocok untuknya. 

“Saya mau bekerja yang bisa mengatur waktu sendiri. Bukan pekerjaan yang terikat seperti perbankan, atau perusahaan swasta lain yang berjadwal kerja ketat. Karena saya berpikir keluarga adalah segalanya. Saya tidak mau nanti ada masalah dalam keluarga karena pekerjaan saya. Jadi bagi keluarga saya, seolah-olah pendidikan dan karir itu tidak begitu penting. Bukan menjadi hal utama. Yang penting bagaimana anda menjalani dan memenuhi hidup tersebut dengan cinta dan kasih sayang, khususnya untuk keluarga,”lanjutnya. 

Menjadi seorang pengajar atau dosen menurut Frieda merupakan pilihan tepat agar bisa menyeimbangkan antara perannya sebagai ibu rumah tangga dan perempuan yang berkarir. Hingga kemudian dia bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, Jati Leonard Mangunsong. Ketika hubungan mereka semakin dekat, Frieda semakin sadar bahwa ia dan Jati karakternya bagaikan kutub utara dan kutub selatan. Ia dari keluarga guru biasa, sementara Jati dari latar belakang keluarga yang berprestasi dan serba ada dan sangat berkecukupan. Frieda menceritakan mertuanya adalah orang pertambangan, orang Indonesia pertama yang memegang pertambangan timah di Bangka, pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketika zaman kemerdekaan, dirinya tersingkir oleh insinyur-insinyur muda dari ITB. Dari sinilah mertuanya berupaya agar semua anaknya lulus perguruan tinggi, harus berprestasi, supaya tidak mengalami nasib yang sama. Frieda dan Jati menikah pada 1 Februari 1978.

“Saya family woman, Jati achievement oriented. Dia selalu punya standar tinggi dan menuntut saya juga agar berprestasi. Di situlah saya digembleng hingga lulus S1. Pada masa itu masih zaman mesin ketik. Saat saya menulis konsep tugas akhir, suami duduk di sebelah saya mengetikkan buat saya,”kenangnya. 

Sebagai seorang family woman, yang senang dekat dengan anak-anak, Frieda dan suaminya sempat lama berjuang memperoleh momongan. Dengan sabar mereka menunggu waktunya Tuhan. “Hampir 4 tahun kami berjuang baru kami memperoleh momongan. Kami berjuang dengan segala usaha, sembari menyelesaikan skripsi saya,”lanjutnya. 

Tak lama kemudian suaminya mendapatkan tugas melanjutkan studi dari kantornya, Bank Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia, saat suami belajar keluarga wajib ikut. Jadi Frieda sebagai istri mempersiapkan diri belajar memasak, belajar bahasa Inggris, belajar mengenal budaya negara tempat studi dan lain sebagainya. 

Waktu hendak berangkat ke Amerika itu anak saya sudah lahir dan berumur empat bulan. Ternyata kemudian saya tidak bisa ikut berangkat bersama suami. Pihak UI tidak memperbolehkan staf pengajar bepergian dalam waktu yang lama. UI tidak mengenal istilah cuti mengikut suami. Saya baru boleh cuti di luar tanggungan negara setelah lima tahun bekerja. Sementara pada 1982 itu saya baru dua tahun menjadi dosen. Pihak UI hanya memperbolehkan staf pengajar ke luar negeri dengan alasan tugas belajar,”kata Frieda. 

Maka, Jati Mangunsong berangkat lebih dahulu ke Amerika. Istri dan bayinya masih di Indonesia. Di tengah kesibukannya mempersiapkan diri berkuliah, Jati mencarikan tempat berkuliah untuk istrinya. Sementara Frieda mengajukan beasiswa studi lanjut melalui Program Fullbright. Singkatnya kemudian Frieda diterima di National College of Education, Evanston, Illinois, Amerika Serikat. Enam bulan setelah suaminya tiba di Amerika, Frieda dan bayinya yang telah berusia sepuluh bulan menyusul. 

“Sejak di Indonesia saya mengajukan beasiswa program studi Special Education. Pada awal 80-an tersebut Program Studi Psikologi masih berjuang mengembangkan diri. Masih langka. Terlebih yang mempelajari Special Education. Kebetulan selain mengajar di UI, saya juga sebagai konsultan SLB-A (Tuna Netra) Lebak Bulus. Waktu itu ada beberapa kasus terkait siswa-siswa tuna netra di SLB yang seringkali kita tidak tahu harus bagaimana mengatasinya. Saya ingin memperdalam pengetahuan pendidikan luar biasa, khususnya belajar tentang blind,”terangnya. 

Namun, ternyata di National College of Education jurusan untuk Visual Impairment sudah tutup. Demikian juga di berbagai perguruan tinggi lain, bidang ilmu tersebut mulai kurang peminat. Ternyata waktu itu yang namanya epidural anesthesia (pembiusan dari punggung) untuk membantu kelahiran dengan cara bedah caesar mulai ditinggalkan karena perempuan-perempuan Amerika lebih menginginkan melahirkan secara natural. Rupanya kasus-kasus kebutaan pada bayi baru lahir, biasanya merupakan dampak dari epidural anesthesia tersebut. Frieda kemudian beralih ke learning disability, yang ternyata disetujui juga oleh pihak Fullbright sebagai pemberi beasiswa. 

Frieda akhirnya mengarahkan minat studi lanjutnya ke Learning Disability. Pihak pemberi beasiswa juga memberikan dukungan penuh. Ia bahkan masuk kuliah lebih dulu dari suaminya. Yang menyenangkan bagi Frieda, sistem kuliah di Amerika menyeimbangkan antara teori dan praktik. Karena mereka yang mengambil studi ilmu ini, kebanyakan nantinya menjadi guru khusus untuk sekolah-sekolah luar biasa (learning disability). Setiap pengajar di sana selain memiliki ijasah, harus memiliki sertifikat keahlian. 

“Jadi kalau kita ingin mengajar learning disability misalnya, kita harus memiliki sertifikat keahlian, bukan hanya berbekal lulus perguruan tinggi ilmu tersebut,”terangnya.

Meskipun Frieda dan suaminya sama-sama studi lanjut, Tuhan senantiasa menyediakan jalan bagi keluarga mereka untuk menata rumah tangga dan mengasuh anak mereka. Mau tidak mau mereka juga belajar berdisiplin mengatur waktu mereka yang padat.

“Pak Jati lebih banyak kuliah pagi, sementara saya sore hari. Jadi pagi hingga siang, saya selesaikan semua urusan rumah tangga dan mengasuh anak. Menjelang sore saya pergi kuliah, saya sudah mempersiapkan makanan untuk suami dan anak. Malam hari saya buru-buru pulang ke rumah, karena malamnya tiba giliran Pak Jati menuju perpustakaan,” cerita Frieda mengenang perjuangan keluarga mereka. Frieda juga bercerita ketika di Indonesia Pak Jati tidak pernah memegang anak, karena ada baby sitter. Jadi sungguh luar biasa ketika di Amerika Pak Jati ikut berjuang menjaga dan mengasuh bayi mereka. 

Dalam rangka menyusun tesis, Frieda  harus melakukan observasi ke berbagai sekolah di Amerika. Tidak mungkin ia membawa Nathaniel berkeliling. Sementara Pak Jati juga punya kesibukan mengurus ujian dan studi pustaka di perpustakaan kampus. Mereka pun mencoba mencari solusinya bersama. Beruntung ada dua orang sahabat yang selama ini cukup dekat dengan mereka dan bersedia membantu menjaga Nathaniel. Yang pertama, orang India, teman satu apartemen. Lainnya adalah teman dalam Persekutuan Komunitas Kristen Indonesia di Amerika.  

“Pada saat kita titipkan anak kita, dalam hati saya tak putus berdoa dan hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan,”terangnya. Demikian situasi berjalan sekitar 10 bulan sampai satu setengah tahun. Hingga studi paska sarjana selesai. 

Setelah menyelesaikan pendidikan magister di Amerika, Frieda kembali ke almamaternya sebagai seorang pengajar. Setelah sekitar empat tahun menerapkan ilmu, Frieda mulai bersiap untuk melanjutkan studinya. Seperti sebelumnya, Frieda berharap dapat melanjutkan studinya di luar negeri karena pengalaman yang diperolehnya akan lebih luas. Namun ternyata Tuhan punya rencana lain. Frieda kembali hamil. 

“Ini yang kami sebut Repelita-nya Tuhan. Jarak antara anak kami pertama dan kedua lima setengah tahun, demikian juga jarak anak kedua dan ketiga,”katanya. Repelita menurut Frieda bukan Rencana Pembangunan Lima tahun seperti program Orde Baru, melainkan Rencana Penyelenggaraan Tuhan. Kebetulan waktunya sama yaitu setiap lima tahun. Awalnya Frieda berpikir, ketika anak pertamanya masuk TK, ia akan punya cukup waktu untuk fokus melanjutkan studi. Rencana melanjutkan studi ke luar negeri dipertimbangkan kembali. 

Frieda menceritakan bahwa untuk bisa memiliki momongan ia dan suami mesti cukup berupaya dan berjuang. Baik saat mengupayakan hadirnya anak pertama dan kedua, ia berjuang setengah mati. Maka Pak Jati, suaminya, pernah bilang:”Ma, sudahlah cukup satu anak saja, itu juga sudah berkat Tuhan. Ngapain sih kamu menyakiti dirimu, sudah bersyukurlah bahwa kita sudah punya anak satu.”

Frieda tidak begitu saja menyerah, saat ingin memperoleh anak kedua. Ia diam-diam terus berjuang. Karakter dasar Frieda memang pantang menyerah. Selalu ingin mencoba dan berupaya. Dan ternyata Tuhan menjawab doa dan usahanya. “Pikir saya kalau nantinya tidak berhasil tidak menjadi masalah, yang penting berupaya dan berjuang dahulu.” Lima tahun berupaya dan berdoa, bukan waktu yang singkat. 

Bukan hanya soal kehamilan, suaminya Pak Jati memberikan saran,”Sudahlah, jangan mimpi-mimpi bersekolah ke luar negeri. Bersekolah di sini saja kenapa sih?” Frieda tahu, suaminya berkata demikian karena tidak siap ditinggalkan olehnya dalam waktu yang lama. Saat itu karir suaminya sudah mendekati puncak. Tantangan pekerjaannya banyak. Dia membutuhkan topangan dan dukungan istrinya. 

“Hanya dengan melihat raut mukanya saya tahu apa yang dia inginkan. Dia membutuhkan sosok saya sebagai pendamping. Saya melanjutkan studi lanjut di luar negeri, bisa dengan membawa anak-anak saya. Tapi yang berat adalah meninggalkan suami saya sendirian. Jadi baik ketika studi lanjut S2 maupun S3, saya tidak memiliki masalah soal akademik. Lebih banyak persoalannya adalah menyelaraskan dengan tugas-tugas rumah tangga.”

Setelah memiliki dua anak laki-laki, Frieda dan Jati tidak terlalu berhasrat memiliki tambahan momongan lagi. Karena untuk memperoleh dua orang anak demikian besar perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan. Baik Jati dan Frieda sudah sangat bersyukur dengan berkat Tuhan untuk keluarga mereka. 

Suatu ketika menjelang berangkat ke Amerika untuk sebuah kegiatan, Frieda mengalami pendarahan terus menerus. Awalnya didiagnosa karena pemasangan IUD (alat kontrasepsi) yang bermasalah. Pemeriksaan lanjutan dokter malah menyarankan untuk melakukan pengangkatan rahim. Meski mengejutkan bagi Frieda dan suami, hati mereka tidak terlalu mempermasalahkan, karena mereka sudah memiliki dua orang anak laki-laki. Setelah melakukan observasi lebih lanjut, ternyata Frieda juga sedang hamil. Usianya sendiri waktu itu sudah menginjak 38 tahun pada sekitar tahun 1991-an. Sempat muncul beragam kecemasan di benak Frieda, namun ia toh menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Apapun kondisinya ia menerima kehamilan ketiga yang tidak pernah diduga ini dengan penuh keyakinan kepada Tuhan. Hingga kemudian lahirlah anak ketiganya, seorang bayi perempuan yang sangat cantik dan sehat, diberikan nama Jessica Leofitri Mangunsong. Demikianlah Tuhan melengkapi keluarga Frieda dengan seorang anak perempuan. 

Kehadiran seorang anak perempuan, ternyata ikut mengubah sosok Pak Jati, suami Frieda. Dari sebelumnya sangat kaku menjadi pribadi yang jauh lebih hangat dan lembut. Perubahan Pak Jati sering diceritakan Frieda setiap kali menyampaikan ceramah di berbagai tempat. Sering ketika Pak Jati sedang marah atau sedang menyetir sambil mengomel, putrinya Chika dari belakang memegang pundak dan memijit sang ayah. Maka kemarahan sang ayah pun langsung luluh lantak. Maka Chika pun menjadi jembatan bagi abang-abangnya dalam berkomunikasi dengan sang ayah. 

Demikianlah Frieda yang family oriented dan Jati yang achievement oriented, belajar untuk saling asah, asih dan asuh. Belajar saling melengkapi. Bagi Frieda keluarga adalah yang utama, sementara karir bisa sambil mengalir. Sementara Jati dari sejak kecil dididik untuk berorientasi pada hasil. Demikianlah maka dari suaminya Frieda belajar achievement oriented, sementara Jati yang agak kaku, yang utama karir dan prestasi, dari istrinya belajar love living interrelationship, belajar banyak bagaimana mengembangkan rasa kasih sayang. 

 

Melayani untuk Gereja dan menerima keluhan suami

Sekitar 1987, Frieda ditawari bergabung sebagai anggota Majelis (Parhalado) Pusat HKBP. Waktu itu yang menjabat sebagai Ephorus adalah Pdt. S.A.E. Nababan. Waktu itu Pdt. Nababan memiliki ide agar susunan Majelis Pusat HKBP tidak hanya didominasi orang berlatar belakang teologi semata. Untuk memajukan HKBP, ia menginginkan paling tidak ada 5 tenaga ahli dari berbagai bidang keilmuan ikut bergabung. Ada ahli pertanian, keuangan dan ekonomi, ada dari kesehatan, ahli hukum dan Frieda sendiri dari latar belakang bidang pendidikan dan mewakili kalangan perempuan. Kedudukannya sebagai tenaga ahli, wakil perempuan dan ahli pendidikan membawa Frieda mewakili HKBP berkeliling ke berbagai belahan dunia. 

Suami Frieda mendukung penuh keterlibatan istrinya dalam kegiatan pelayanan gerejawi. Sebagai pria bertipe achievement oriented, Pak Jati bangga memiliki istri yang bisa menonjol, berprestasi dan mempunyai posisi yang cukup baik di tengah masyarakat. Namun, tentu saja ada syarat yang sempat dikemukakan, yang utama anak-anak dan rumah tidak boleh telantar. Yang berikutnya, Frieda tidak boleh mengeluh sakit, kalau sakit berarti harus berhenti dari kegiatan. Pernah Frieda jatuh sakit di Jerman, dan pihak keluarga tidak ada yang berani memberitahu Pak Jati. 

Meskipun mendukung penuh kegiatan-kegiatan istrinya, pernah juga Pak Jati jengkel. Bermula dari sebuah acara kumpul keluarga besar. Orang-orang bertanya,”Istrimu ke mana?” Bagi orang Batak pertanyaan tersebut terasa aneh, membuat orang tertekan, malu dan minder. Maka kemudian Pak Jati pun meminta istrinya untuk jangan terlalu sering bepergian ke luar kota atau luar negeri. 

“Kau jangan terlalu sering pergi. Aku kan diomongin orang terus. Kau pikir enak diomongin orang? Laki-laki belanja sama anak, laki-laki antar anak ke dokter. Laki-laki datang ke acara keluarga membawa anak, tanpa istri,”keluh Pak Jati. 

 

Menyelesaikan studi doktoral di UI

Sebagai seorang yang padat dengan banyak kegiatan sekaligus: seorang dosen pengajar, di berbagai lembaga penelitian dan sosial, di gereja dan terutama sebagai ibu rumah tangga, Frieda mengakui dirinya cukup lama untuk menyelesaikan studi doktoralnya tersebut. Untung saja, suaminya selalu tak jemu-jemu mengingatkan dan seringkali sambil marah kalau Frieda dianggap kurang fokus. Tak jarang Frieda mesti keluar kota atau ke luar negeri dalam rangka berbagai kegiatan. Kalau kepergian itu tidak ada hubungannya dengan penelitian S3-nya, Jati akan sangat marah. Tidur pun sang suami akan memunggunginya, karena menganggap Frieda kurang serius. Sempat Frieda merasa, semua yang dilakukannya selalu kurang di mata sang suami, karena karakter sang suami yang perfeksionis.

Bahkan hingga hari ujian doktoral tiba, Pak Jati masih sempat memberikan kritikan kepada sang istri. “Saya baru tahu kalau penelitianmu kamu itu bersandar pada makro statistik, saya tahu kamu itu gak kuat di analisa kuantitatif. Mengapa kamu gak bilang dari awal, kan saya bisa menggembleng kamu,”katanya tajam. Untunglah Frieda sudah biasa menerima kritikan tajam suaminya. Karena memang Jati adalah orang yang paling mensupport dirinya hingga posisi tinggi. Meski demikian ia sempat jengkel juga. ”Aduh, saya duduk di mobil dalam perjalanan menuju kampus untuk promosi doktor masih saja dimarahin. Saya sepertinya selalu saja tampak kurang,”tuturnya.  

Setelah berhasil meraih gelar doktor, Frieda semakin yakin dan percaya diri. Ia menyadari bahwa ia memiliki potensi, memiliki support, kemudian sebagai pengajar di UI, Frieda merasa sangat diterima dan bisa mengembangkan talenta dan memberikan makna. Suaminya, seperti biasa, bertanya: “Sekarang apa lagi? What next?” 

Pak Jati ternyata sudah memikirkan tentang potensi Frieda untuk meraih jabatan Guru Besar (Profesor). Selain sudah meraih gelar doktor dan cukup banyak terlibat dalam jurnal penelitian, jenjan pangkat Frieda di UI cukup lancar dan tertib. Namun Pak Jati mengembalikannya lagi kepada istrinya. Sang istri diminta untuk menghitung credit point untuk mencapai Guru Besar. 

“Jadi semua itu memang lahir dari dorongan suami saya. Saya sendiri sebenarnya sudah merasa malas untuk mengejar posisi Guru Besar. Saya tahu semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi jabatan, pekerjaan dan tanggung jawab akan bertambah banyak,”tutur Frieda. “Sementara saya selalu mencoba membagi waktu dan kesempatan untuk keluarga. Bagi saya, keluarga itu nomor satu, tidak boleh kita lalaikan.” 

Frieda amat bersyukur Tuhan memberikan banyak orang yang mensupportnya hingga meraih kedudukan seperti sekarang. Perempuan Batak, seorang Profesor (Guru Besar), dan sekaligus pelayan gereja. Sejak sekitar tahun 1998, Frieda aktif melayani juga di Wahana Visi, dan menjadi salah satu pengurusnya. Frieda juga menjadi pengurus Sahabat Peduli, sebuah LSM yang didirikan dalam rangka mendampingi dan memulihkan korban-korban kerusuhan Mei 1998. Jadi ini adalah LSM yang berjuang membantu perempuan dan anak terutama korban kekerasan seksual. 


Menjadi Pelopor Perempuan Batak

Sebagai seorang perempuan yang berkarir dan melayani di berbagai posisi, Frieda sudah terbiasa berada di tengah-tengah pemimpin dan pendeta yang sebagian besar didominasi kaum laki-laki. Di masa lalu praktis hanya kaum pria yang memegang peranan sebagai pemimpin. Terlebih di kalangan Suku Batak. Dulu ada pantun ria yang menyatakan: beranak 15 beranak satu laki, beranak perempuan 15. Tetapi sekarang seiring semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi orang bukan berfokus pada gender melainkan proses pendidikan anak. Yang diutamakan bukan lagi kuantitas melainkan kualitas. Sudah semakin banyak keluarga maju yang berpikir dikaruniai anak baik laki-laki maupun perempuan sama saja, tidak ada bedanya. 

Menurut Frieda, kalangan orang tua sering memandang anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan dan menjaga orang tua di masa senja. Dengan sumber daya yang berkualitas, perempuan pun bisa membahagiakan orang tuanya. Mengubah persepsi dari umat menurut Frieda bisa dimulai dari mimbar gereja dan juga melalui ceramah-ceramah dan pembinaan keluarga. Untuk mewujudkan sumber daya perempuan tentu saja faktor pendidikan menjadi kunci penting mengangkat harkat dari perempuan. Jika pendidikan perempuan dan laki-laki sudah setara, akan muncul banyak kesempatan bagi kaum perempuan untuk memajukan dirinya atau menunjukkan eksistensinya. Sering kesempatan tersedia, namun perempuan sendiri yang tidak siap atau tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan. Bukan hanya di tempat-tempat kerja, juga di lingkungan gereja. Tak terkecuali HKBP. 

“Saya cukup beruntung, diberi banyak kesempatan pada eranya Pak S.A.E. Nababan. Pada eranya, kesempatan bagi kaum perempuan untuk ikut terlibat begitu besar. Perempuan harus memenuhi kuota 40 persen dari total kepengurusan. Kami sering mengirim delegasi-delegasi perempuan ke berbagai forum, bahkan delegasi yang dikirim kami seleksi, karena pada masa itu ada begitu banyak sumber daya manusia potensial yang tersedia,”tuturnya. 

Di masa dahulu, memang orang-orang tua sering mengatakan demikian, setinggi-tinggi pendidikan perempuan itu tempatnya di dapur. Perempuan harus membuat rumah tangganya kinclong dan berseri-seri. Perempuan sebisa mungkin tidak mencari pekerjaan di luar rumah. 

“Menurut saya lain. Di era sekarang perempuan bisa bekerja dari mana saja, termasuk dari rumah. Ini juga yang sering saya tekankan bahkan kepada orang tua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus. Supaya tetap bisa memiliki perhatian lebih kepada anaknya. Ada banyak pekerjaan yang bisa dikreasikan dari rumah. Jangan menyerahkan tanggung jawab pengasuhan kepada baby sitter,”terangnya. 

“Pandangan seperti ini bukan hanya ada di keluarga Batak. Ada mahasiswa saya yang berprestasi, suatu ketika dia menikah dengan suaminya-anak tunggal mertuanya-, beberapa waktu setelah menikah ibu mertuanya mengatakan kepada sang menantu perempuannya:”Eh, dulu aku berhenti dari semua kegiatan untuk mengasuh suamimu, sekarang menjadi tugasmu untuk mengasuh cucu saya.” 

Ternyata sang mertua tidak memperbolehkan menantu perempuannya bekerja, dan suaminya juga tidak bisa mengatakan apa-apa. 

“Saya sering menyampaikan dalam Bina Pranikah di gereja, calon pasangan harus menyepakati keluarga seperti apa yang ingin mereka bangun. Karena pilihan kehidupan yang akan kita ambil menentukan menjadi seperti apa kita ke depannya. Hidup kita sebelum dan sesudah menikah bisa jadi tidak sama, bahkan bisa berbeda total. Karena setelahnya kita tidak bisa meneruskan atau memaksakan cita-cita dan misi kita sendirian,”terang Frieda lebih lanjut. 

Frieda melihat perempuan-perempuan masa kini pantas diberikan kesempatan untuk memimpin. Ia menyebut perempuan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu dalam hal ini soft skills yang tidak dimiliki oleh laki-laki, seperti: affectionate (kasih sayang), good listener (pendengar yang baik), dan jangan dilupakan nurturing skills (kemampuan mengasuh atau memelihara) yang memiliki sifat empowering. Jika ini bisa dioptimalkan, akan muncul kepemimpinan yang mengayomi bukan menjegal. Memang, kadang-kadang untuk mencapai posisi yang layak dibanggakan tak jarang harus melewati persaingan atau kompetisi. Namun Frieda menyebut kompetisi kadang memang dibutuhkan untuk meningkatkan ketrampilan dan potensi diri kita. 

Hidup dan semangat Frieda memang dimatangkan oleh pengalaman. Pahit, getir dan manisnya kehidupan sudah bergantian ia rasakan sedari kecil. 

“Saya sudah terbiasa mengalami  hidup yang sukar dari kecil. Ayah saya guru, setiap berangkat kerja ia menaiki skuter sambil mengangkut 4 orang dari kami ke sekolah. Cukup sering peluit polisi menghentikan kami. Di rumah kami terbiasa mengalami kesulitan belajar, karena tamu yang datang berdatangan silih berganti. Mental kami sudah biasa terasah. Hal yang berbeda dialami suami saya yang dari kecil hidupnya serba cukup. Konsentrasi utamanya hanya meraih prestasi tertinggi. Maka ketika masalah datang ia mudah stress dan tekanan darahnya naik,”tuturnya. “Dalam kamus saya tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Kalau masalah datang ya kita terima saja, dan berusaha memperbaikinya, meskipun kadang perbaikannya tidak mencapai 100 persen. Sejak kecil kami dibiasakan untuk tidak boleh bilang give up atau mengatakan tidak mau. Semua hal bisa dipelajari.”

Maka dalam perjalanan hidup Frieda, ia tidak pernah mengenal apa yang dinamakan kegagalan. Baginya semua baik dan buruk adalah bagian dari pengalaman hidup. Kita belajar bukan dari kegagalan, tidak ada kegagalan. Yang ada adalah pengalaman. 

“Kita semestinya jangan pernah berpikiran negatif terhadap apa yang kita alami dalam hidup. Semua adalah bagian dari pematangan dan pendewasaan. Seperti pensil yang diraut, dan kemudian bisa kita pergunakan untuk membuat tulisan yang indah. Sebelumnya pensil tersebut harus mengalami betapa sakitnya diasah dan diraut,”tuturnya. 

Membangun Religiositas dalam Keluarga

Dari awal perkawinan Jati dan Frieda menyepakati beberapa hal mendasar, di antaranya: setiap hari ada momen doa bersama dan membaca Alkitab bersama. Sedari kecil anak-anak mereka biasakan untuk secara bergiliran memimpin doa, membaca Kitab Suci, membacakan renungan. Anak-anak juga dari kecil terbiasa melihat orang tua mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan gereja. Ketika mereka tinggal di Amerika, mereka secara rutin berjemaat dan terlibat di kegiatan gereja di sana. Sedari balita misalnya, anak pertama mereka Nathaniel melihat bahwa orang tuanya berbaur dan ikut berbagai kegiatan gereja. Baik itu ketika masih di Amerika maupun ketika sudah kembali ke Indonesia. Berbagai teladan tersebut menjadikan anak-anak mereka teguh dalam iman dan terdorong untuk ikut aktif seperti orang tua dalam kegiatan berjemaat. 

Frieda dan Jati juga menyepakati dan meyakini, seperti nasihat dari Kitab Suci, untuk tidak memperpanjang pertengkaran sampai matahari terbenam. Mereka berusaha menyelesaikan dan mengkomunikasikan setiap perbedaan pandangan di antara mereka secepatnya. 

Di sisi lain, sebagai seorang perfeksionis, tak jarang Pak Jati menuntut prestasi dari anak-anaknya. Anak-anaknya tak jarang khawatir ditanya ayahnya jika nilai mereka sampai turun. Pada titik ini Frieda sebagai ibu membantu menjembatani antara harapan sang ayah dan perjuangan anak-anak mencapai prestasi yang baik dalam pendidikan. Daripada membebani anak-anaknya dengan target semester atau tahunan yang panjang, ia lebih suka menolong anak-anaknya berjuang tahap demi tahap. Selangkah demi selangkah. Artinya mencapai prestasi dalam potongan-potongan pendek. 

“Papanya menuntut ujungnya, hasil akhirnya. Sementara saya membimbing dan menanyakan kesulitan-kesulitan yang dialami anak-anak. Mendampingi anak-anak sesuai karakter dan tipe mereka masing-masing. Meski saya juga tak kalah sibuk dibanding suami, saya usahakan memberi waktu untuk terus memantau dan melekatkan diri pada anak-anak,”katanya. 

Sebagai ibu, ia mencoba penuh pengertian dan memberi contoh teladan bahwa hidup ini harus memiliki tujuan yang jelas. Frieda selalu menekankan bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, jadi do your best, give meaningful to other people. 

Sebagai orang yang begitu sibuk dengan berbagai kegiatan akademis, sosial maupun gerejawi, Frieda memang dari awal harus mengorbankan waktu senggang untuk dirinya. Sejak dulu, ia hanya memiliki waktu yang sangat minim untuk merebahkan diri dan tidur. Rata-rata sekitar 4 jam sehari. Sering malahan ia baru tidur sekitar jam 3 atau 4 dinihari. Maka sekarang ia mengaku, satu tahun belakangan sering mengantuk kalau mengajar atau melihat presentasi mahasiswa lewat kuliah online. 

Frieda menyebut kunci kesuksesannya lebih banyak diperoleh melalui ketekunan dan kerja keras. Ia mengaku dirinya bukan termasuk golongan orang yang jenius atau brilian. Namun, ia dari awal menyadari kelebihannya yaitu memiliki keinginan mengejar (pursuing), gigih dan tidak pernah mudah menyerah. Ia mengibaratkan jika orang lain cukup mengerjakan sebuah tugas dalam dua jam, ia butuh waktu empat jam. Di sisi lain ia memiliki kelebihan sebagai orang yang simple, mengalir saja dan tidak pernah menyimpan masalah bertumpuk-tumpuk. Ini menjadikan hidupnya menjadi lebih ringan dan “sehat”. Tuhan memberikannya mentally health

Selain menjaga keseimbangan mental, Frieda begitu memperhatikan keseimbangan asupan gizi. Karena waktu tidur yang terbatas, ia tidak pernah lupa untuk menambah asupan vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya. 

“Jangan lupakan juga suasana hati. Saya termasuk tipe orang yang belajar ikhlas dan pasrah. Ini saya lakoni sejak saya menikah,”katanya. Sebelumnya ketika masih kecil dan remaja, orang tuanya senantiasa mengajarkan untuk memiliki kerelaan berbagi dan memberi. Maka rumah orang tuanya senantiasa membuka pintu bagi saudara dan teman yang ingin berkunjung bahkan menumpang tinggal. 

“Ayah saya selalu mengajarkan demikian: berikan lebih banyak bagi kalian yang bisa memberi. Yang hanya memiliki sedikit pun tidak boleh tidak memberi. Kalian harus memberi sesuai kemampuan kalian,”tuturnya mengenang ajaran ayahnya. “Ibu saya juga memberikan nasihat demikian: hidupmu itu bukan buat kamu sendiri, tapi buat keluargamu. Jadi saya hidup dengan prioritas dengan keluarga yang bahagia. Keluarga saya harus maju berkembang bersama-sama tidak maju sendirian. Tapi memang harus ada yg dikorbankan,”lanjutnya.  

Sekitar tahun 2018, suaminya, Pak Jati mengalami serangan stroke yang ketiga. Saat serangan itu datang, Frieda sedang tidak ada di tempat. Akhirnya Pak Jati terlambat dibawa ke rumah sakit. Lebih dari tujuh jam baru masuk rumah sakit. Selama masa itu fungsi otaknya terus menurun. 

“Waktu serangan pertama dan kedua, saya ada di dekatnya, belum ada satu jam saya sudah antar ke rumah sakit. Ia selamat. Yang ketiga agak parah. Mungkin ini kehendak Tuhan. Karena apa yang saya raih saat ini juga atas peran dan dukungannya. Kini tiba waktunya bagi saya untuk ganti memberikan support dan dukungan penuh kepadanya,”katanya dengan yakin. 

Memberi Makna Pada Hidup Orang Lain

Segenap karya pelayanan dan kehidupan Frieda berfokus dan berprioritas pada dua hal, kebahagiaan keluarga dan juga memberi makna pada hidup orang lain. Ia mengingat dengan jelas pesan Kitab Suci dalam Kolose 3:23,” “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ini membuatnya tidak pernah mengerjakan sesuatu dengan setengah hati. Ia senantiasa mengerjakannya dengan penuh ketekunan, penuh ketulusan sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Tuhan. 

Dalam dunia yang berputar dan berubah cepat, tidak ada kata berhenti untuk belajar. Bagi Frieda belajar adalah proses seumur hidup. Belajar membuat kita sadar bahwa kita selalu memiliki keterbatasan dan perlu terus meningkatkan kemampuan dasar kita dalam upaya mengatasi dan menjawab tantangan zaman. Terus belajar juga wujud Frieda menghormati kesempatan yang telah Tuhan berikan kepadanya. 

“Tidak setiap orang beroleh kesempatan melakukan banyak hal seperti saya. Maka saya selalu berusaha melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Kepuasan, kebahagiaan, pemberian makna, itu menjadi sesuatu yang akan membuat lingkungan kita bahagia. Jadi saya tidak akan pernah bisa bahagia kalau lingkungan saya tidak bahagia. Itu mungkin yang menjadi kelemahan saya. Kelemahan yang sekaligus menjadi kekuatan saya. Karena orang lain dan suami saya juga melihat kalau saya ini lebih mementingkan orang lain daripada diri saya sendiri,”lanjutnya.  

Memberi makna dalam hidup orang lain senantiasa menjadi visi hidup Frieda Mangunsong. Sebagai pengajar special education belakangan ini saya dirinya  menaruh perhatian dan penelitian studi bagi anak berkebutuhan khusus dan juga remaja-remaja yang mengalami tekanan batin atau trauma. Dengan mereka-mereka yang usianya lebih patut menjadi cucunya tersebut, Frieda mencoba merangkul dan menjadi sahabat bagi mereka. Mendengarkan keluh kesah mereka dan menawarkan solusi-solusi bagi pergumulan mereka. 

“Mimpi saya dulu ingin mempunyai kompleks bagi anak-anak berkebutuhan khusus di mana mereka bebas berkarya seumur hidup di dalamnya. Sehingga orangtua mereka ikhlas ketika mereka meninggal mereka tidak gundah gulana dan bingung. Tentu saja tempat seperti ini memerlukan biaya besar. Namun, saya memiliki harapan. Karena saya mengenal beberapa orang yang memiliki resouces maupun dana, punya fasilitas tapi tidak tahu mau dimanfaatkan untuk apa,”tuturnya. 

“Hingga saat ini di Indonesia memang belum tersedia tempat bagi mereka yang berkebutuhan khusus untuk  tempat untuk bagi orang berkebutuhan khusus melanjutkan longlive educationnya itu, kepada ketrampilan hidup mandiri tapi di lingkungan  yang terproteksi, dengan tenaga ahli dan profesional yang mendampingi mereka sampai akhir hayat,”lanjutnya. Sebuah impian yang mulia. Seperti biasa Frieda menyerahkan hidupnya senantiasa dalam kepasrahan dan keikhalasan kepada tuntunan Tuhan. Namun, seiring dengan itu ia senantiasa tidak pernah menyerah, tekun, gigih dan dalam diam berjuang mewujudkan impiannya. Karena seperti itulah yang selama ini dijalaninya. 

Hidup di dunia ini hanya sementara, seperti kata pepatah Jawa: urip kuwi mung mampir ngombe (hidup hanya laksana menumpang minum). Jadi do your best, give meaningful to other people. Sehingga, di akhir perjalanan nanti Sang Tuan dengan penuh sukacita menyambut kita,”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. (Matius 25:23). 

Setiap orang tidak pernah dituntut menjadi juara atau menghasilkan karya yang luar biasa. Hanya satu yang dikehendaki Sang Tuan, supaya setiap hamba-Nya setia. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong br Siahaan, M.Ed.