Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia: Terangnya Mulia dalam Karya dan Pelayanannya

Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia: Terangnya Mulia dalam Karya dan Pelayanannya

 

Jika ditanyakan kepada generasi sekarang, siapakah tokoh nasional yang menjadi Menteri Pendidikan mereka mungkin akan langsung menyebut nama Ki Hadjar Dewantara, menteri pendidikan pertama dan pendiri Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta. Atau mereka mungkin akan menjawab  Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan saat ini yang sebelumnya dikenal sebagai pendiri start up Gojek. Hanya sedikit yang mengenal Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap (selanjutnya: Mulia), salah satu tokoh kristiani, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan.

Mulia dilahirkan pada tanggal 21 Januari 1896 dan merupakan putra satu-satunya sebuah keluarga Kristen generasi kedua di Padang Sidempuan, daerah asal komunitas Angkola, Tapanuli Selatan. Perang Padri yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1837 dirasakan efeknya sampai ke Tapanuli bagian Selatan. Dan sampai lahirnya Mulia masih tersimpan segar di setiap ingatan orang-orang akan wabah penyakit kolera dan kerugian nyawa yang diakibatkan dari Perang Padri tersebut. Dari sini juga mereka pun membuat pilihan religius untuk berpindah keyakinan dari agama suku mereka. Keluarga Mulia sendiri merupakan campuran Kristen dan Muslim. 

Daerah Tapanuli bagian Selatan sebenarnya merupakan daerah mula-mula masuknya Injil ke Tanah Batak, sebelum akhirnya masuk ke Tapanuli bagian Utara. Di daerah Selatan sudah ada beberapa komunitas-komunitas Kristen yang terbentuk. Misalnya di daerah Pekantan, Mandailing diceritakan tentang dua orang bekas tentara padri, Djamandatar Lubis  dan Kalirantjak Lubis yang menjadi orang-orang pertama yang dibaptis oleh Pendeta Verhoeven.  Di daerah lainnya, yang masih masuk dalam bagian Tapanuli bagian Selatan, yakni Sipirok, ini ditandai dengan dibaptisnya Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon oleh Pendeta Gerrit van Asselt.  

Pemberitaan Injil pada akhirnya sampai ke kakek Gunung Mulia yang bernama Ephraim Sutan Gunung Tua yang sebenarnya terpaksa bermigrasi keluar dari Angkola karena penyebaran Islam yang kuat sudah menyebar di daerah Mandailing. Di Parausorat, Sipirok inilah Pdt. Gerrit van Asselt mendirikan gereja pertama di Tapanuli Selatan. Kakek dari Mulia memilih menjadi pengikut Kristus dan mengikuti pendidikan zendeling. Sutan Gunung Tua yang merupakan keturunan raja-raja Padang Lawas yang semula menganut agama suku ‘Parbegu’, dibaptis menjadi seorang Kristen Protestan pada tahun 1861 dan mendapat nama ‘Ephraim‘. 

Pendidikan yang baik membuatnya mudah mencari pekerjaan dan pencapaian terbaiknya adalah menjadi jaksa utama di Karesidenan Tapanuli. Ayah Gunung Mulia, Humala Mangaraja Hamonangan juga seorang yang berpendidikan tinggi untuk generasinya dan merupakan pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan. Peranan dan sumbangan gereja dalam kemajuan pendidikan orang Batak, yang dirintis oleh badan-badan penginjilan dari Eropa sudah umum diketahui. Mangaradja Onggang Parlindungan di dalam bukunya Tuanku Rao, menyanjung tinggi jasa salah satu orang Batak yang sudah Kristen yakni Raja Pontas Lumbantobing dalam memajukan pendidikan di tanah Batak. Raja Pontas Lumbantobing berpendirian orang-orang Batak harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman modern dengan cara bersekolah. 

Perjumpaan orang Batak dengan usaha pendidikan  dari kalangan zendeling Jerman juga disambut positif oleh raja-raja yang ada di Utara seperti misalnya Ompu Hatobang di Pansur Napitu, Kali Bonar raja di daerah Sigompulan Pahae, Ompu Batu Tahan di Balige yang menyerahkan Surat Haposan (surat Kepercayaan) kepada para zendeling untuk bekerja dan membuka sekolah disana.

Terdorong kesadaran yang sama, Gunung Mulia juga mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk menjalani pendidikan dengan serius, dimulai dengan bersekolah di ELS (Europeeshe Lagere School). Karena kecerdasannya, di usia 15 tahun, Mulia sudah berangkat ke Belanda untuk dididik menjadi seorang Guru. Semasa sekolah di Belanda dia masuk dalam Gereja Reformasi Kristen Calvinis (Gerefomeerd) yang eksklusif, keras dan ketat yang didirikan oleh Abraham Kuyper, teolog yang juga seorang Perdana Menteri Belanda. Kebiasaannya sebagai orang Batak yang suka berkumpul dan berorganisasi terbawa juga ke Belanda dengan terlibat di dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda. Di sini Mulia berjumpa dan berkenalan dengan seorang misionaris terkenal, yaitu: Hendrik Kraemer yang pernah lama berkarya di Indonesia. Kraemer lebih tua delapan tahun dari Mulia. Pemikiran Kraemer pada akhirnya mempengaruhi banyak pemikiran intelektual Mulia. Mulia menyelesaikan pendidikannya dengan meraih gelar Diploma setelah perang Dunia I. Selanjutnya, Mulia kembali ke Indonesia menjadi guru di Bengkulu, Sipirok dan Simalungun. Tak lama kemudian ia menikahi Siti Mour br. Pohan yang adalah seorang guru sekolah menengah di Pematang Siantar. Dari pernikahan tersebut, mereka memiliki enam anak yakni: Taromar Winfried Mulia, Dr. Kartini Mulia, Rumbi Mulia, Wanda Aswita Mulia, Inneke Mulia, dan Christian Soripada Mulia. 

Awal abad ke-20 ditandai dengan meningkatnya migrasi orang Batak dari Tapanuli ke Jakarta. Mulia pun demikian juga. Pada tahun 1927 ia berangkat ke Jakarta karena diangkat menjadi direktur Sekolah Tinggi Guru. Keberadaan orang Batak Kristen di Jakarta dari tahun ke tahun memang semakin bertambah banyak, yang dimulai sejak tahun 1907. Pada tahun 1917 saja sudah ada di Jakarta lebih kurang 30 orang Batak yang beragama Kristen. Lima diantaranya sudah berkeluarga, sedangkan yang lainnya adalah pelajar di Ambachtschool (cikal bakal STM), Koningen Wilhemina School (KWS) dan Perawat di RS Salemba dan RS PGI Cikini. Salah satu lulusan tersohor dari KWS yakni Friedrich Silaban sang arsitek Masjid Istiqlal. Sebagian besar dari mereka pada saat itu tinggal di sekitar Sawah Besar. 

Pengalaman Mulia selama bergereja di Negeri Belanda menimbulkan rasa kesetiaan yang mendalam terhadap gereja reformasim sehingga saat tinggal Jakarta dia lebih memilih menjadi anggota jemaat Gereformeerde Kerk (sekarang GKI Kwitang). Di kemudian hari Gunung Mulia bergabung dengan HKBP Kernolong yang merupakan Gereja Protestan Batak pertama yang ada di Pulau Jawa. Selain Gunung Mulia, salah satu warga jemaat HKBP Kernolong yang terkenal adalah Amir Sjarifuddin Harahap, sepupu Mulia yang dikemudian hari menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia. 

Dalam 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa (Nasionalisme Minoritas Kristen), Gerry van Klinken menggambarkan Mulia sebagai orang yang religius dalam kehidupan pribadi namun sangat sekuler dalam dunia politik. Saat diangkat menjadi Volksraad (Wakil Rakyat) dan statusnya yang adalah wakil umat Kristen ia menegaskan: “Tugas saya bukan hanya membela kepentingan golongan Kristen, melainkan kepentingan seluruh rakyat”. 

Tahun pertamanya menjadi anggota Volksraad ditandai juga dengan kesetiaanya pada Kebijakan Etis yang dirasa oleh banyak kawan pribuminya ketinggalan zaman. Kebijakan Etis ini dipercaya Mulia karena rasa kagumnya akan pemerintahan modern, kemajuan ekonomi, dinamisme kultural dan perasaan bahwa orang Indonesia masih harus banyak belajar untuk layak meraih kemerdekaan yang ujungnya adalah Negara berdemokrasi. Gerry van Klinken yang adalah seorang peneliti berkebangsaan Australia juga mengomentari lebih lanjut perihal kehadiran Mulia di Konfrensi Pekabaran Injil Internasional di Yerusalem pada 1928. Ia menjadi satu-satunya wakil dari Hindia Belanda (Indonesia-red) yang menghadiri konferensi tersebut. Keikutsertaan Gunung Mulia dalam konferensi tersebut bisa dikatakan menjadi  titik balik religius di dalam kehidupan Mulia. Setelahnya ia memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi karya Tuhan. Di dalam usaha-usahanya tersebut Mulia banyak mencurahkan hatinya di dunia pendidikan. Demi memperluas pemahaman intelektualnya, akhirnya Mulia kembali  melanjutkan sekolah di Belanda.

Mulia menimba ilmu kembali di Belanda saat memasuki usia 33 tahun dan dalam waktu empat tahun meraih gelar Doktor Antropologi di Vrijie Universiteit Amstrerdam dan sekaligus lulus Meester in de Rechten (sekolah Hukum) di Universiteit Leiden. Sekembalinya dari Belanda, Mulia bersama Kraemer mempersiapkan pembentukan sekolah yang bermutu untuk mendidik calon pendeta yang dididik bukan hanya untuk menjadi pembantu atau penolong pendeta atau zendeling Belanda. Gagasan itu akhirnya terlaksana di tahun 1934 dengan berdirinya Hoogere Theologische School yang adalah cikal dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi (STFT) Jakarta. 

“Sebuah bangsa hanya bisa maju kalau sekolah-sekolahnya bermutu. Demikian pula Gereja hanya bisa maju kalau umatnya suka membaca buku”, pendapat ini diungkapkan Mulia seperti dikutip Andar Ismail dalam bukunya Selamat Mengindonesia. Ide besarnya akhirnya juga diimplementasikan dalam sebuah lembaga penerbit guna menumbuhkan kecintaan umat dalam membaca buku, sehingga pembinaan iman terawat dengan baik. Bersama Johannes Verkuyl, Mulia membentuk Badan Penerbit Kristen di tahun 1946. Pada tahun 1971 nama penerbitannya berubah menjadi Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia untuk menghormati jasa dan karya Gunung Mulia.  

Selepas kemerdekaan, di berbagai tempat di Indonesia, antara 1946-1949, berturut-turut berdiri dewan-dewan Gereja yang mewakili Gereja-gereja di Sumatera, Gereja-gereja di Timor, dan Gereja-gereja di Indonesia pada umumnya. Mulia memandang perlunya ada satu wadah tunggal persekutuan semua gereja. Bersama dr. Johannes Leimena yang saat itu menjabat Menteri Kesehatan, ia mematangkan pembentukan Dewan Gereja Indonesia (DGI, kini bernama Persekutan Gereja di Indonesia-PGI). Dewan Gereja Indonesia akhirnya berdiri pada 25 Mei 1950. Gunung Mulia menjabat sebagai Ketua Umum DGI yang pertama, dan merupakan satu-satunya Ketua Umum yang bukan berlatar belakang pendeta. Gunung Mulia menyebut berdirinya DGI bukan hasil  usaha manusia, tetapi karunia Tuhan. Kantor DGI yang pertama di Jl. Teuku Umar 17, sebelumnya kantor lembaga zending Belanda. Sebagai Ketua Umum DGI, Gunung Mulia juga aktif terlibat dalam Dewan Gereja Dunia (WCC).

Setelah DGI terbentuk, meluas pemikiran akan perlunya sebuh lembaga pendidikan tinggi yang bisa mengakomodir pendidikan tinggi di kalangan umat gereja anggota DGI sehingga bisa turut serta berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Atas dasar itulah, DGI membentuk suatu komisi yang dipimpin oleh Prof. Dr. I.P. Simanjuntak, MA. Komisi ini bertugas membuat suatu studi kelayakan untuk mendirikan universitas yang hasilnya dilaporkan kepada DGI. Beranjak dari resolusi tersebut, maka Mulia bersama  Mr. Yap Thiam Hien, dan Benjamin Thomas Philip Sigar, atas nama gereja-gereja yang tergabung dalam DGI (sekarang PGI), mendirikan Yayasan Universitas Kristen Indonesia tanggal 18 Juli 1953 dan tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 15 Oktober 1953, diresmikanlah Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang terdiri dari Fakultas Sastra dan Filsafat, dengan Sub-fakultas: Pedagogik dan Sastra, dan Fakultas Ekonomi. 

Jejaknya Gunung Mulia dalam dunia pelayanan tidak hanya sampai di situ. Gunung Mulia bersama para tokoh Kristen nasional memandang pentingnya kemandirian dalam pengadaan dan penyebaran Alkitab.  Mulai tahun 1951, Gunung Mulia aktif memprakarsai pendirian Lembaga Alkitab nasional yang mandiri. Pada 9 Februari 1954, LAI secara resmi berdiri dengan Gunung Mulia menjabat Ketua Umum LAI yang pertama dan Giok Pwee Khouw sebagai Sekretaris Umumnya. Kantor pertama LAI di Jl. Teuku Umar 34, Jakarta merupakan hibah dari Lembaga Alkitab Belandar (NBG), berhadapan dengan kantor DGI. 

Sebagai Ketua Umum, Gunung Mulia berperan serta mempersiapkan peralihan tanggung jawab pelayanan dari NBG. Pada masa awal berdirinya, LAI baru menangani masalah administrasi dan penyebaran Alkitab. Tanggung jawab penerjemahan masih di bawah Lembaga Alkitab Belanda. Di bawah pimpinan Gunung Mulia, pengurus mesti menata kantor kecil di Jl. Teuku Umur agar bisa dimanfaatkan maksimal. Sebagai pusat koordinasi, gudang Alkitab sekaligus tempat tinggal Sekum LAI, dan tempat bekerjanya Tim Penerjamahan.

Akhir 1950-an, hubungan politik RI-Belanda memburuk karena persoalan Irian Barat. Tanggung jawab penerjemahan Alkitab di Indonesia diserahkan kepada LAI. Badan Pengurus di bawah Gunung Mulia memikirkan dengan serius peralihan tanggung jawab tersebut. Dan membentuk Komisi Penerjemahan yang baru. Kegiatan penerjemahan berpusat di Bogor, di sebuah tempat yang bernama Kampoeng Alkitab. 

Pada masa-masa awal LAI, Alkitab bahasa Indonesia dicetak di luar negeri, yaitu di Inggris, Amerika dan di Jepang melalui dana pampasan perang.  Gunung Mulia dan GP Khouw sejak jauh hari sudah memikirkan perlunya memiliki Percetakan Alkitab sendiri. Maka ketika pada 1963 Pemerintah di bawah Presiden Soekarno melarang impor buku-buku berbahasa Indonesia, termasuk Alkitab, keputusan untuk memiliki Percetakan menjadi sebuah keharusan. 

Pada 1963, Pengurus LAI mengadakan kunjungan ke Percetakan San Siedo di Jepang untuk studi banding. Tak lama kemudian pembangunan Percetakan LAI dimulai. Pada hari Rabu, 9 Februari 1966, pukul 9 pagi, percetakan LAI di Ciluar, Bogor akhirnya diresmikan. Pengguntingan pita dilakukan Ny. Hartini Soekarno. Dilanjutkan pidato pembukaan oleh Ketua Umum LAI, Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia dan sambutan oleh Wakil Perdana Menteri Leimena.. Peresmian dihadiri Chairman UBS Pdt. Arrowsmith, yang merupakan Sekum LA Australia. Berdirinya Percetakan LAI, yang merupakan percetakan milik lembaga Alkitab yang pertama di dunia, tak lepas dari pendekatan pengurus LAI kepada UBS, para donatur dan pemerintah.

Sumbangsih Gunung Mulia yang begitu luas dan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang terpantau sampai mancanegara, sehingga di tahun 1966, di usianya yang ke 70 Gunung Mulia  dianugerahi Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Theologia oleh Vrije Universiteit, di Amsterdam, Belanda. Gunung Mulia wafat 11 November 1966 di Amsterdam dan dikebumikan di Jakarta.

Benarlah Firman Tuhan yang menyatakan Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal 1:7). Mulia menghargai setiap didikan yang dia terima sedari kecil dan menikmati ajaran hikmat dari kasih kakeknya yang pertama-tama menerima terang Injil di antara keluarga besarnya. Dan Mulia tidak menyimpan terang itu sendirian namun juga membagikan terang itu melalui karya-karyanya sebagai tanda ucapan syukur dan pengabdiannya kepada Tuhan yang dia imani.

 

Perlando. Panjaitan