RABU ABU

RABU ABU

Mat 6:1-6, 16-21

Doa, puasa dan sedekah. Itulah tiga keutamaan atau praktek kesalehan dalam agama Yahudi. Ketiganya adalah pilihan dan tindakan pribadi yang dijalankan secara suka-rela. Jadi, di sini Yesus tidak berbicara tentang kewajiban semua orang Yahudi (sesuai Hukum Taurat) yang berkaitan dengan ibadat resmi di Bait Allah/rumah ibadat, sumbangan wajib bagi orang miskin, dan puasa nasional di Hari Raya Pendamaian. Yesus tidak sedang mengkritisi praktek-praktek yang sudah melembaga seperti itu. Ia mengkritisi sikap-hati setiap pribadi. Pendekatan-Nya lebih personal, menukik ke inti kedalaman jiwa manusia. Bukankah dari sanalah mengalir pelbagai sifat dan tingkah-laku kita? Maka, berkaitan dengan tiga praktek kesalehan pribadi ini, berlakulah prinsip dasar: “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di Surga” (Mat 6:1).

Budaya zaman itu –yang juga masih kuat sampai sekarang- ditandai oleh mentalitas “hormat dan rasa malu”. Sikap dan tindakan pribadi diarahkan demi promosi harga diri, agar tidak memalukan  diri, keluarga dan famili. Maka, tindakan dan kegiatan publik, khususnya kebaikan yang dilakukan oleh orang kaya dan terhormat (seperti: memberi makan, menjamu, menjadi donatur, membangun patung dan monumen) adalah tindakan-tindakan yang “terhormat”, yang mendongkrak kuasa dan status sosialnya. Tatanan “kaya-miskin” pun terus dilanggengkan: harus ada tuan dan hamba, idola dan pemuja. Kaum miskin adalah klien yang dibutuhkan patron kaya untuk promosi harga-diri mereka. Yesus inginkan para pengikut-Nya menawarkan tatanan sosial yang berbeda. Dalam jemaat-Nya, kasih dan berbuat baik, seperti sedekah, seharusnya menjadi aksi yang spontan dan biasa saja, tanpa perhitungan dan pameran. Tetangga dan sahabat terdekat tidak perlu tahu, bahkan diri sendiri pun tak perlu menghitung. Dengan itu, berbuat baik bagi sesama bukanlah demi pujian dan kehormatan di mata manusia, tetapi demi relasi dengan Allah yang menciptakan semua manusia sederajad, yang berhak atas keadilan yang setara.

Prinsip yang sama berlaku juga berkaitan dengan doa dan puasa. Yesus tentu tidak membatalkan keduanya. Ia sendiri berdoa dan mengajarkan sebuah model doa. Ia sendiri berpuasa selama 40 hari sebelum berkarya. Yesus mengkritisi sikap hati: Jangan seperti kaum hipokrit yang berdoa supaya dilihat dan didengar  orang. Doa pribadi janganlah menjadi pameran kesalehan, agar dilihat dan dipuji orang. Hidup beragama janganlah menjadi drama atau sandiwara kesalehan. Doa adalah ungkapan relasi personal dengan Bapa di Surga, maka cukuplah ditujukan kepada-Nya dengan cara dan tempat yang tidak menyolok mata. Hal yang sama Yesus tegaskan berkaitan dengan puasa. Berpuasa harus sungguh menjadi ungkapan “perendahan diri” (bdk. Kol 2:18) di hadapan Allah yang maha-pemurah dan pengampun. Maka, tidak perlu mengungkapkan hal itu dengan mengubah ekpresi wajah, agar dilihat orang. Yesus justru menegaskan hal sebaliknya: minyakilah rambut dan cucilah mukamu! Puasa yang dijalankan agar dilihat orang tentu akan dihargai dan dipuji manusia. Itu saja “upah” mereka. Tidak lebih. Sebaliknya, puasa yang dijalankan secara sungguh-sungguh sebagai ungkapan ketidak-pantasan diri di hadapan Allah, pasti dilihat dan dihargai oleh Allah saja. Meneruskan tradisi para Nabi PL, Yesus juga menegaskan agar puasa jangan sampai dijalankan secara terisolir dari hidup yang konkret. Puasa yang benar harus bermuara pada tindakan  kasih dan keadilan (bdk.Yes 58:3-7, bdk. Yer 14:12; Za 7:5-7). Maka, dalam Mat 6:19-21 Yesus berbicara tentang kelekatan pada harta. Di mana hartamu, di situ hatimu berada. Artinya, dari tata-kelolah hartanya, hati seseorang dapat dinilai. Kalau harta dunia yang ditumpuk, maka hati seseorang melekat dengan keduniaan dan pandangan manusia saja. Sebaliknya, menumpuk harta di Surga berarti hati seseorang terarah pada Allah dan kehendak-Nya. Doa, sedekah dan puasa bagaikan menumpuk harta di surga: dijalankan dengan kasih, tanpa pamrih dan display. Hanya Bapa kita di Surga yang tahu. Biarkan Dia saja yang mengganjarimu, sesuai kasih dan kerahiman-Nya.

 

Hortensius F. Mandaru