// //

Rapuh? Kita Dapat Menggerakan Dunia! 

Rapuh? Kita Dapat Menggerakan Dunia! 

 

Kita semua mengenal nama Archimedes. Sejak sekolah dasar kita sudah diperkenalkan dengan Rumus Archimedes, demikian, “Setiap benda yang dimasukan ke zat cair akan mengalami gaya ke atas sebesar berat zat cair yang dipindahkan” [Law of Displacement]. Cerita guru menjadi semakin menarik ketika guru sambil menerangkan rumus tersebut bercerita, “Archimedes mendapatkan gagasan tentang rumus tersebut ketika sedang berendam di bak mandi. Ketika ia tiba-tiba mendapat pencerahan tentang rumus tersebut, ia pun langsung keluar rumah, lupa bahwa ia belum berpakaian, sambil berteriak, “Eureka! Eureka! Eureka!’’


Archimedes adalah seorang genius pada jamannya. Ia seorang matematikawan, fisikawan, penemu, insinyur dan juga seorang pakar astronomi. Selain Law of Displacement, Archimedes juga menemukan rumus tentang tuas [
lever] yang dituliskan w1.d1=w2.d2.. Pada keadaan setimbang berat benda pertama dikalikan dengan jarak benda terhadap titik tumpu sama dengan berat benda kedua dikalikan dengan jarak benda kedua terhadap titik tumpu. Berkaitan dengan rumus ini Archimedes berkata, “Berikan aku sebatang tongkat yang kuat dan cukup panjang serta sebuah titik tumpu, maka akan kupindahkan dunia.” Sebuah pernyataan yang sepertinya sombong, tapi memang demikianlah secara fisika teoretis. Dalam penerapannya, teori tentang tuas atau lever, sehari-hari, dapat kita jumpai dalam permainan jungkat-jungkit, kereta dorong, dongkrak, dsb. 

Saat ini, di puncak gelombang kedua pandemi COVID-19, sepertinya kita terpuruk dan berada pada titik kehidupan terendah. Merasa dalam kerapuhan. Perekonomian mandek. Kita menjalani rutinitas kehidupan tanpa proses-proses produktif. Walaupun demikian kita perlu bersyukur bahwa kita hidup dalam sebuah bangsa yang sangat menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial. Menurut data World Giving Index tahun 2018, Indonesia menduduki ranking 1 sebagai bangsa yang gemar memberi. Hal ini bukan bualan kosong. Ketika pandemi mulai merebak, ada banyak mahasiswa bersedia menjadi relawan non medis yang membantu penanganan pandemi. Hal ini juga bisa kita lihat di pusat-pusat vaksinasi. Kita saat ini juga bisa menyaksikan solidaritas dari kelompok-kelompok masyarakat yang membuka dapur umum untuk memasok makanan bagi keluarga-keluarga yang sedang menjalani isolasi mandiri, juga gerakan solidaritas bank obat. Dan yang paling fenomenal, ketika Rumah Sakit Apung Dr. Lie Darmawan tenggelam, atas inisiatif seorang pegiat media sosial dalam waktu dua minggu terkumpul dana lebih dari Rp 30 milyar untuk membeli kapal baru dan perlengkapan rumah sakit apung yang baru. Bukan main.

Ternyata, dengan prinsip leverage, seseorang atau sekelompok masyarakat mampu memengaruhi kelompok masyarakat yang lebih besar untuk menggerakan bangsa ini melakukan perbuatan-perbuatan yang besar. Jadi siapa bilang bangsa ini terpuruk dan rapuh karena pandemi? Tidak. Bangsa ini tidak sedang terpuruk dan rapuh. Bangsa ini sedang berjuang, bersama bahu-membahu, menggalang kekuatan, membangun leverage untuk keluar dari pandemi gelombang kedua. 

Dalam situasi seperti ini, saya teringat firman Tuhan pada Amsal 17:17 yang berbunyi, “Seorang sahabat menaruh belas kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran”. Inilah titik tumpu dalam rumus atau persamaan rumus tuas (leverage) yang mampu menggerakan dunia. Setidaknya menggerakan Indonesia untuk segera keluar dari pandemi gelombang kedua ini dan membangun kembali Indonesia pasca pandemi.

Persoalan bangsa ini bukan sekedar keluar dari pandemi, tetapi bagaimana membangun kembali perekonomian dan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. Urusan pemulihan ekonomi biarlah menjadi urusan pemerintah, tetapi sabagai anggota masyarakat bagaimana kita bisa berperan serta dalam pemulihan tatanan sosial kemasyarakatan. Ada banyak pekerjaan rumah, ada tetangga kita yang kehilangan pekerjaan/mengalami PHK, ada anak-anak yang kehilangan orang tua, ada orang tua kehilangan anak, dll. Kondisi ini membuat banyak orang seolah tak mampu berbuat apa-apa dan merasa rapuh. Saat ini dapat kita lihat banyak betebaran kata-kata bijak yang menguatkan, tetapi juga lagu-lagu dan puisi-puisi berisi syair-syair yang menggambarkan kerapuhan. Padahal kita bisa mengerakkan dunia. Bukan hanya memindahkan gunung, tapi dunia! Asalkan kita bisa ‘move on’ dari perasaan rapuh itu. Ingatlah bahwa kita memiliki kapasitas untuk bangkit, memperbaiki keadaan dan membantu mereka yang membutuhkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui gereja, komunitas, lembaga pelayanan seperti LAI, dan lain sebagainya.

Memang ada banyak tantangan, dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan semua itu, namun kita perlu ingat, sama seperti bangsa Israel yang kembali dari pembuangan di Babilonia, mereka harus membangun kembali Yerusalem, demikian juga kita. Kita bukan baru kembali dari pembuangan, melainkan baru selesai menjalani PPKM Darurat dan kita harus ikut serta dalam upaya pemulihan kembali bangsa kita, membangun leverage dengan berjejaring dan kerja sama dengan pihak-pihak lain demi bangsa ini, demi keluarga serta diri kita. Pekerjaan besar ini bukan melulu pekerjaan pemerintah melainkan perlu keterlibatan semua anak bangsa. Kita pasti bisa.

Ho-lo-pis-kun-tul-ba-rissss!”, terdengar dari ujung sana sekelompok orang sedang melakukan sebuah pembangunan rumah. Mereka meneriakan serangkaian kata tanpa arti tersebut untuk menyatukan irama, langkah gerak sehingga pada teriakan di suku kata terakhir “risss”, mereka menyatukan tenaga serempak yang menghasilkan tenaga besar untuk menegakkan tiang utama rumah. Kita perlu ber-holopis kuntul baris, menyatukan tenaga serta irama gerak membangun kembali negeri ini. Tidak ada waktu untuk mengeluh dan merasa rapuh. Dari keyakinan sebesar biji sesawi sekalipun, Tuhan memberi kita kemampuan untuk memindahkan gunung pandemi ini, mengerakkan hidup, bahkan menggerakkan dunia! 

 Pdt. Sri Yuliana