Ring of Fire, Ring of Virus

Ring of Fire, Ring of Virus

 

Kita yang hidup di Indonesia sangat terbiasa dengan berita gempa bumi, banjir, angin ribut. Bahkan di awal 2021 ini negara kita dinobatkan sebagai negara paling rawan bencana. Sepanjang Januari ini, sudah lebih dari 100 bencana melanda negara kita. Bagi kebanyakan orang awam seringkali fenomena-fenomena alam ini dimaknai sebagai azab, hukuman, peringatan dari Yang Mahakuasa kepada umat-Nya. Tetapi, bagi mereka yang paham sains, fenomena-fenomena alam ini adalah konsekuensi logis dari posisi geografis negara kita.

Betapa tidak, negara kita berada pada lokasi “Ring of Fire” berupa “Lingkaran Gunung Berapi”, Circum Pasific yang melingkar mulai dari Alaska, Jepang, Filipina, Indonesia (Maluku-Papua), Selandia Baru, Amerika Selatan (Cordileras de los Andes), Amerika Utara (Rocky Mountain Range). Selain itu kita juga berada pada kawasan pegunungan Trans Himalaya yang membentang mulai dari India, Bukit Barisan di Sumatera, rangkaian gunung berapi di Jawa, Bali, Lombok, hingga Sumba. Sejarah mencatat letusan-letusan besar Gunung Toba yang membentuk Danau Toba, Krakatau (1883) serta Tambora. Kita juga berada pada pertemuan lempeng benua Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia yang menyebabkan kawasan dimana kita hidup sering mengalami gempa tektonik. Juga kita berada di kawasan Angin Muson  (Monsoon) dimana pada waktu-waktu tertentu kita mengalami angin ribut, hujan berhari-hari, hingga musim kemarau berkepanjangan. Semua ini adalah fenomena-fenomena alam sebagai konsekuensi logis posisi geografik negara kita.

Apakah gempa bumi, erupsi gunung berapi, banjir, angin ribut adalah bencana? Bukan. Kesemuanya itu adalah fenomena-fenomena alam. Fenomena-fenomena alam itu berubah menjadi bencana jika  menyebabkan adanya “orang-orang terdampak” akibat fenomena-fenomena alam tersebut. Lebih-lebih jika melibatkan orang-orang dalam jumlah banyak.

Bencana terjadi jika ada kondisi-kondisi rawan yang semakin kritis, dan pada saat yang bersamaan terjadi ketahanan yang semakin lemah lalu terjadi pemicu. Secara matematik hal tersebut dapat dituliskan dalam rumus sebagai berikut: Bencana = (kondisi rawan/ketahanan) + pemicu.

Kondisi-kondisi rawan harus diperkecil, sementara ketahanan harus ditingkatkan. Dalam konteks bencana alam, yang disebut sebagai kondisi-kondisi rawan adalah bahwa kita memang hidup di wilayah yang rawan bencana, hidup di wilayah Ring of Fire, wilayah Angin Muson, wilayah rawan banjir, wilayah rawan longsor dan sebagainya. Walaupun demikian, dengan akal-budi, kita dapat mempertinggi ketahanan dengan cara, membangun rumah tahan gempa untuk mengurangi risiko gempa bumi, meninggikan fondasi rumah untuk mengurangi risiko banjir, atau melakukan penghijauan bukit untuk mengurangi risiko banjir dan tanah longsor.

Dalam konteks Pandemi COVID-19, kondisi-kondisi rawan adalah kita memang sedang hidup dalam situasi pandemi. Kita hidup bersama virus yang mudah menular. Untuk memperkecil kondisi-kondisi rawan, kita dapat mengenakan masker, rajin mencuci tangan, menghindari kerumunan. Adapun untuk mempertinggi ketahanan, kita bisa meningkatkan imunitas tubuh dengan cara mengkonsumsi menu sehat, berolah raga, berjemur serta mengurangi stres. Sementara “Pemicu” adalah kondisi atau situasi yang tak terhindarkan. Dalam bencana alam pemicu adalah femomena alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dsb, sementara dalam kasus COVID-19 adalah tertular.

Ada pepatah dalam Bahasa Inggris, “If you can’t avoid it, live with it”,  jika kita tidak dapat menghindar dari sesuatu maka kita harus hidup dengan hal tersebut. Artinya kita memang harus hidup di wilayah yang rawan gempa bumi, rawan banjir, rawan gempa, rawan tanah longsor. Terkait COVID-19, kita mau-tidak-mau memang harus hidup dengan virus tersebut yang memang ada di sekitar kita. “Kita harus berdamai dengan COVID-19” kata Presiden Jokowi, yang artinya kita mau tidak mau memang sedang hidup berdampingan dengan COVID-19. Kita mau-tidak-mau memang harus hidup dengan kerawanan tersebut, tetapi bukan berarti kita menyerah terhadap kondisi tersebut. Kita dapat memperkecil kerawanan tersebut disamping memperbesar ketahanan kita. Itulah yang disebut sebagai mitigasi bencana atau pengurangan risiko bencana.

Dalam konteks iman, kita juga hidup dalam kerawanan. Tawaran gaya hidup/life-style: mode, pola makan, siklus kerja, bacaan, hiburan, dll. Hoaks, disinformasi, lingkungan sosial-budaya, ajaran-ajaran yang berlawanan dengan iman-kepercayaan kita. Tapi kita juga dapat mempertinggi ketahanan kita melalui rajin beribadah, membaca Firman Tuhan, mengikuti Pemahaman Alkitab/seminar-seminar teologi, membaca buku-buku yang berbobot, mengatur pola hidup kita agar iman kita sehat serta tidak terjebak dalam gaya hidup/life-style yang tidak sesuai dengan iman kita.

Berkaitan dengan mitigasi bencana, bencana apapun, Firman Tuhan menasehati kita, “Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur” [Kolose 4:2]. Ayat ini mengingatkan supaya kita tidak tercerabut dari yang empunya kuasa, selalu terhubung melalui doa, membaca Firman Tuhan, buku-buku rohani dan sebagainya, selalu waspada/berjaga-jaga, dan bersikap positif/mengucap syukur.

Kita saat ini hidup di wilayah “Ring of Fire” sekaligus juga “Ring of Virus”. Kita hidup berdampingan dengan kerawanan yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi bencana jika terpicu. Namun pada saat yang sama kita juga bisa mengurangi risiko bencana dengan kebijakan dan akal budi yang kita miliki serta selalu terhubung dengan Sang Empunya Semesta. Bencana bukanlah azab, bukan hukuman, karena kita bisa menghindari/mengurangi risikonya dengan kiat-kiat pengurangan risiko bencana sesuai akal budi yang dianugerahkan Sang Pencipta bagi kita. Memandang bencana sebagai hukuman merupakan sebuah sesat pikir (logical fallacy) karena pada kenyataannya kita sehari-hari hidup dalam kerawanan bencana dan Tuhan memberikan kemampuan kepada kita untuk mengatasinya pada batas-batas tertentu.


Pdt. Sri. Yuliana. M. Th