“SIAPAKAH SESAMAKU? SIAPAKAH KELUARGAKU?”

“SIAPAKAH SESAMAKU? SIAPAKAH KELUARGAKU?”

 

Akhir November, kita mulai memasuki minggu-minggu Adven yang ditandai dengan tradisi penyalaan lilin Adven. Ada 5 lilin yang dinyalakan. Ada 3 lilin ungu, 1 lilin pink dan satu lilin besar berwarna putih. Adven yang bermakna penantian kedatangan Kristus adalah awal kalender gerejawi. Kita memulai refleksi tahunan kita dalam bergereja dimulai dari Adven dan diakhiri dengan perayaan Kristus Raja pada minggu ke tiga bulan November.

Memasuki masa Adven kita diajak mempersiapkan kedatangan Kristus, dengan merenungkan  selama sebulan mengenai makna kedatangan Kristus melalui 5 Lilin Adven. Lilin pertama, ungu, mengajak kita untuk merenungkan mengenai pengharapan kedatangan Kristus dan makna pengharapan kedatangan Kristus. Pengharapan seperti apakah yang dapat kita beritakan bagi orang-orang di sekitar kita? Demikian pula dengan lilin-lilin selanjutnya. Lilin ke-2, mengajak kita merefleksikan peran pendamai/perdamaian, lilin ke-3, pink, tentang sukacita, lilin ke-4 tentang kasih dan lilin ke-5 Kristus sudah datang, Natal sudah tiba. Dengan merefleksikan ke-5 Lilin Adven itu, lengkaplah persiapan kita menyambut Natal, sekaligus juga mempersiapkan diri kita mengisi dan memberi makna kehidupan kita setahun mendatang.

Menariknya, bagi anak-anak, Adven justru bermakna coklat. Jika orang dewasa mengisi masa Adven melalui Lilin Adven, maka anak-anak saat ini cenderung mengikuti tradisi baru yang mulai populer. Sebuah kegiatan adven baik bagi anak-anak yang diadopsi dari tradisi Eropa untuk menghafal dan merenungkan sebuah ayat Alkitab dari Senin hingga Sabtu selama masa Adven. Untuk itu si anak akan mendapatkan sepotong coklat untuk setiap ayat yang berhasil dihafal. Sebuah model pengajaran nilai-nilai kekristenan yang menarik buat anak-anak, disamping melatih anak-anak untuk bersabar menantikan Natal dengan hadiah natal yang mereka impikan melalui perjuangan selama sebulan merenungkan dan menerapkan nilai-nilai Kristiani.

Dengan demikian, Adven dan Natal sesungguhnya adalah sebuah perayaan yang berintikan pada keluarga. Seluruh anggota keluarga secara bersama merenungkan makna Natal dengan mempersiapkannya selama sebulan penuh melalui Adven. Namun, sebuah pertanyaan yang lebih mendasar dalam mengisi dan memaknai masa Adven-Natal adalah: ”Siapakah keluargaku?”. Jawaban mudah, tentu saja, ayah, ibu, kakak dan adik. Lalu berkembang menjadi, kakek-nenek, paman-bibi, para sepupu dan keponakan. Sayangnya, seringkali kita lupa bahwa tetangga kiri-kanan, depan-belakang dan mereka yang tinggal di jalanan, di bawah kolong jembatan, di rumah-rumah susun, rumah singgah, panti asuhan adalah saudara-saudara kita juga. Keluarga kita. 

Narasi Matius 25: 31-46 tentang Penghakiman Terakhir, ayat 40 yang berbunyi: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” memperluas batasan makna tentang “saudara” sebagai sesama yang paling hina, paling menderita. Orang-orang yang seringkali terlupakan bahkan terabaikan oleh kita. Pernahkah Saudara bertanya dalam hati, “Bagaimana rasanya menjadi mereka?” Tatkala Saudara berjumpa dengan si “manusia silver” atau pemulung dan anak-anak jalanan yang berdiri dipinggir-pinggir jalan mencari sesuap nasi tetapi mengabaikan keselamatan mereka sendiri? Dimanakah keluarga mereka? Dimana mereka mendapatkan kasih sayang seperti keluarga yang lain? Dan pada akhirnya kita ditantang dengan sebuah pertanyaan besar, “Siapakah sesamaku? Siapakah keluargaku?”. 

Atas dasar inilah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada hari ini, Sabtu 27 November 2021, mengadakan acara live streaming selama 12 jam bertema, “Sesamaku, Keluargaku” dalam rangka memaknai arti Adven- Natal untuk berbagi dan mengasihi saudara-saudara kita, yakni anak-anak yang tinggal di panti asuhan, rumah singgah dan di kolong jembatan. Makna dibalik tema ini adalah mengajak kembali umat Tuhan yang memiliki kehidupan jauh lebih beruntung untuk melihat kembali kepada sesama kita seperti yang diajarkan Tuhan. “TUHAN yang adalah Cinta” hadir ditengah umat-Nya dan menjadi Sahabat, Saudara, juga Keluarga bagi semua orang. Yesus tidak pernah bertanya “Apa agamamu?” atau “Dari mana asalmu?”  kepada orang-orang yang diraih dan ditolong-Nya. Disinilah kita menemukan makna keluarga yang sesungguhnya. Keluarga adalah dimana kita dan sesama kita merasakan rahmat Allah dalam suka cita. Dimana ada kedamaian dan kasih sayang satu sama lain. Jika hal itu tidak kita temukan dalam hidup kita, maka kita belum dapat disebut keluarga yang sesungguhnya, sekalipun keluarga kita adalah keluarga lengkap dibawah satu atap. Sebaliknya, ketika rahmat dan cinta Allah kita temukan di bawah kolong jembatan, di panti-panti asuhan, di rumah-rumah singgah dan kita temukan wajah Allah dibalik senyuman mereka, maka kita mendapati keluarga yang sesungguhnya.

Ah, entah darimana, tiba-tiba saja terdengar alunan nada, “Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling indah adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga. Selamat pagi Emak. Selamat pagi Abah.” Ya, ini lagu pembuka serial tv “Keluarga Cemara” yang tayang sejak 1996 hingga 2003. Sebuah sinetron keluarga karya Arswendo Atmowiloto dan dibintangi oleh Adi Kurdi, dua orang Kristiani yang taat. Sinetron ini disukai oleh banyak orang karena mengandung banyak nilai-nilai kebaikan, yang secara sadar atau tidak merupakan nilai-nilai dasar Kristiani yang mendasari pembentukan sebuah keluarga yakni “Kasih dan Berbagi”. Patutlah kita ucapkan terima kasih kepada Mas Wendo dan Bang Adi Kurdi yang menyelipkan pengajaran iman mereka dalam film garapannya tanpa mengesampingkan ajaran iman yang dianut para pemain lainnya. Semoga saja mereka berdua “di sana” tersenyum membaca renungan ini. Demikian juga Saudara?

 

Pdt. Sri Yuliana