Suara-Mu Membuatku Damai 

Suara-Mu Membuatku Damai 

Sapaan LAI

Kapan Anda merasakan hidup dalam lembah kekelaman? Saat inikah? Atau ketika pandemi melanda kehidupan dan kita berjuang mati-matian melawan virus Covid-19? Apakah ketika kita mempertaruhkan antara hidup atau mati? Atau saat usaha yang dibangun susah payah lenyap runtuh dalam sekejap? Atau ketika kita ditinggalkan orang-orang terdekat yang kita cintai? Atau saat kita merasakan masalah silih berganti dan tak pernah berhenti?

Setiap orang mempunyai pergumulan dan kisah hidup saat berjalan dalam lembah kekelaman. Saya teringat kisah seorang ibu yang saya kenal, sebut saja namanya Ibu Maria. Ia memiliki 4 orang anak. Anak terbesarnya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Beliau mengalami titik terendah dalam kehidupan saat suami yang dikasihinya meninggal dunia. “Dunia seperti runtuh. Saya kehilangan arah,” begitu pengakuannya. Perbedaan usia ibu Maria dan suaminya cukup jauh, dua belas tahun. Tak heran jika ia begitu dimanja dan diperlakukan bak ratu oleh suaminya.  Ibu Maria juga seorang yang taat dan aktif di gereja. Peristiwa kehilangan ini sungguh membuatnya putus asa. “Apa yang bisa saya lakukan? saya tidak punya keterampilan dan pengalaman bekerja sama sekali”, katanya. Kebiasaannya setiap hari bangun pagi-pagi dan bersaat teduh bersama Tuhan terus dilakukannya. Namun yang membedakan saat ini Ibu Maria tidak bisa mengeluarkan kata-kata dalam doanya. Hanya air mata yang mengalir ganti kata-kata. Hingga suatu saat ketika hujan lebat, ia mendengar suara lembut menyapanya, “Jangan takut anak-Ku. Sebagaimana hujan lebat yang Kucurahkan, demikian berkatKu bagimu.” Suara ini membuat beban yang dirasakannya terangkat. Ia merasakan damai. Lalu ia menjawab, ”Ya Tuhan, aku percaya kepadaMu.”

Hari itu menjadi hari yang berbeda. Ibu Maria menjadi lebih bersemangat. Tuhan juga mempertemukannya dengan kenalan yang telah lama tak dijumpai. Kenalannya itu membimbing ia kembali menggeluti hobi lamanya, yaitu menjahit. Ia mulai berlatih dan setiap hari menjadi semakin terampil dalam menjahit. Akhirnya, dari keterampilannya tersebut ia bisa mendirikan konveksi daster. Hasilnya bisa menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. 

Mengalami kehadiran Tuhan di saat situasi sulit juga dialami oleh tokoh-tokoh dalam Alkitab. Seperti, Musa, pemimpin pilihan Tuhan yang menuntun Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian. Di usia 120 tahun, ia tidak bisa mengantar Israel masuk ke tanah yang dinantikannya. Tongkat estafet diteruskan kepada Yosua. Pesannya kepada Yosua, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu.”  Tiga kali pesan yang sama diulang (Ul 31:6,7 dan 23). Yosua diingatkan agar tetap kuat dan mampu bertahan dalam menghadapi situasi sesulit apapun. Teguh dalam berpendirian dan tetap mengandalkan Tuhan dalam hidupnya.  

Mari kita mengalami kehadiran-Nya melalui Firman Tuhan yang ada di tangan kita, agar kita semakin kuat dan teguh dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. (ey)