TEDHAK SITEN : LANGKAH PERTAMA

TEDHAK SITEN : LANGKAH PERTAMA

 

Sebagian besar orang Indonesia, lebih-lebih orang Jawa tentu mengenal tradisi Tedhak Siten atau upacara turun tanah atau upacara menginjak bumi pertama kali. Tedhak Siten adalah perkataan Bahasa Jawa ‘tedhak’ berarti menjejak dan ‘siten’ dari kata ‘siti’ yang berarti tanah atau bumi.  

Upacara Tedhak Siten diadakan saat bayi berusia sekitar 7 bulan, ketika bayi mulai bisa duduk. Jadi upacara Tedhak Siten merupakan upacara pelepasan bayi dari buaian/gendongan ibu untuk mulai belajar berjalan dan beraktivitas mandiri. Memulai langkah pertama dan lepas dari ketergantungan kepada orang lain/orang tua.

Upacara Tedhak Siten dimulai dari mencuci kaki sebagai simbol penyucian diri/bersih diri, menjejakan kaki ke tanah untuk pertama kali, lalu dilanjutkan dengan menjejakkan kaki bayi pada jadah (juadah, uli: sejenis makanan dari ketan) tujuh warna, dilanjutkan dengan menaiki dan menuruni tujuh anak tangga terbuat dari ‘tebu wulung’ (tebu berbatang besar berwarna ungu), lalu dilanjutkan memilih mainan, mandi air bunga dan berganti busana. 

Jadah tujuh warna, yakni merah, putih, hitam, kuning, biru, merah jambu dan ungu masing-masing melambangkan keberanian, kesucian, kecerdasan, kekuatan, kesetiaan, kasih dan ketenangan. Itulah tujuh karakter seorang satria Jawa yang diharapkan menjadi karakter utama si bayi kelak ketika dewasa. Adapun upacara menaiki tangga dan menuruni tangga dimaknai sebagai kemampuan menapaki kesuksesan dan menghadapi masalah dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini disimbolkan oleh tebu yang oleh orang Jawa dalam banyak upacara termasuk pernikahan dimaknai sebagai “antebing kalbu” atau keteguhan hati. Mantap bertindak, tegas atau asertif.

Upacara selanjutnya dimaknai sebagai prediksi bakat anak itu ketika dewasa (memilih mainan), misal jika si bayi secara naluriah memilih buku diharapkan ia akan menjadi seorang intelektual dan sebaliknya apabila ia memilih obeng, mungkin orangtuanya berdoa ia akan menjadi seorang insinyur. 

Upacara selanjutnya adalah mandi bunga tujuh rupa dan berganti baju tujuh macam sebagai simbol pelepasan dari gendongan ibu kepada dunia, kepada kehidupan baru. Yang unik dari upacara ini adalah semuanya memiliki simbol tujuh atau ‘pitu’ dalam bahasa Jawa yang dimaknai sebagai pertolongan atau penolong. Dari kata ‘pitu’ sebagai kependekan dari “pitulungan” atau pertolongan.

Demikianlah makna upacara Tedhak Siten bagi seorang bayi. Doa dari para yang hadir kepada bayi agar memiliki karakter yang baik, mampu menapaki dinamika hidup dengan ketetapan hati serta bakat unik sebagai bekal (penolong) menapaki hidup.

Simbolisme dalam upacara Tedhak Siten ini masih pas dan relevan jika kita terapkan dalam kehidupan kita saat ini. Sekalipun dunia sudah modern, namun simbol-simbol yang ada dalam upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia merupakan kearifan lokal yang sarat nilai-nilai kehidupan. Jika kita bandingkan dengan pesan dari teks-teks Alkitab sebagian besar kita akan menemukan ada nasihat-nasihat dari tradisi yang dilakukan oleh nenek moyang Israel yang masih dipertahankan hingga kini. Misalnya, ada nasihat seperti tertulis pada Ulangan 31:6 [BIMK] – “Hendaklah kamu teguh hati dan berani! Jangan takut kepada mereka, sebab TUHAN Allahmu sendiri yang akan menolong kamu. Ia tidak akan mengecewakan atau meninggalkan kamu.”  Nasihat ini sangat mirip dengan nasihat yang ada dalam tradisi Thedak Siten di Jawa. Saya yakin, suku-suku lain di Indonesia juga memiliki tradisi dan adat istiadat yang demikian. Selalu ada nilai-nilai kearifan lokal, yang juga termuat dalam Alkitab, dan dapat kita jadikan bekal dalam menapaki hidup tahun demi tahun.

Memasuki tahun 2021, barangkali kita juga mengalami kegamangan seperti seorang bayi yang menjalani upacara Tedhak Siten. Melangkah dan menginjak persada bumi pertama kali. Bahkan semua orang yang ada di sekelilingnya turut mendukung satu sama lain, turut mendoakan, supaya si anak dapat melangkah mantap. Sama separti kita yang sedang menginjakan kaki di tahun 2021. Situasi tahun 2021 yang tidak menentu menjadi penyebabnya. Banyak ramalan dan prediksi kita baca dan kita dengar melalui berbagai media. Siklus Pandemi COVID -19 yang masih naik turun setiap hari. Jika sebelumnya orang-orang yang terpapar virus adalah orang-orang yang tidak kita kenal, kini orang-orang yang kita kenal mulai terpapar. Buat kita di Indonesia banyak berita optimis disampaikan oleh pemerintah, tetapi kenyataannya tahu dan tempe menghilang di hari-hari pertama tahun baru karena harga kedelai yang melonjak. Vaksin sudah ada namun entah kapan akan sampai di tangan kita. Tidak ada yang berani menjamin atau memberi kepastian tahun 2021 akan menjadi seperti apa. 

Namun seperti bayi diatas yang dibekali dengan tujuh karakter penolong, yakni tidak takut (berani), hati yang tulus (kesucian), kemampuan mengatasi masalah (kecerdasan), energi (kekuatan), kesabaran dan kesetiaan, kasih dan kekuatan pikiran/kebijakan/ketenangan untuk dapat menaiki bukit dan lembah kehidupan dengan keteguhan hati atau antebing kalbu, kita pun seyogyanya tidak ragu menapaki tahun 2021, karena di atas ke tujuh penolong tersebut kita memiliki penolong yang paling utama yakni Tuhan Allah sendiri yang berjanji dan memberi jaminan bahwa IA tidak mengecewakan dan tidak meninggalkan kita. Demikian janji-Nya bagi umat pilihan-Nya. Mari berjalan dan langkahkan kaki untuk pertama kali di tahun 2021 ini dengan antebing kalbu, dengan keteguhan jiwa dan percaya Tuhan sudah membekali kita dengan sebaik-baiknya. Selamat melangkah!


Pdt. Sri Yuliana, M.Th.